Kira-kira awal
atau pertengahan, mungkin juga penghujung tahun 1995 seorang penyair kenamaan
WS Rendra pernah menulis puisi yang judulnya persis dengan judul tulisan diatas
“Doa Orang Lapar”. Begini puisinya:
Kelaparan
adalah burung gagak
yang licik dan
hitam
jutaan
burung-burung gagak
bagai awan
hitam
***
Allah !
burung gagak
menakutkan
dan kelaparan
adalah burung gagak
selalu
menakutkan
kelaparan
adalah pemberontakan
adalah
penggerak gaib
dari pisau-pisau
pembunuh
yang dianyutkan
oleh tangan orang-orang miskin
***
kelaparan
adalah batu-batu karang
di bawah wajah
laut yang tidur
adalah mata air
penipu
adalah
penghianatan kehormatan
***
seorang pemuda
yang gagah akan menagis tersedu
melihat
bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya
ditanah
karena
kelaparan
kelaparan
adalah iblis
kelaparan
adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
***
Allah !
kelaparan
adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan
segenggam tawas
kedalam perut
para miskin
***
Allah !
kami berlutut
mata kami
adalah mata Mu
ini juga mulut
Mu
ini juga hati
Mu
dan ini juga
perutmu
perut Mu lapar,
ya Allah
perut Mu
menggenggam tawas
dan
pecahan-pecahan gelas kaca
***
Allah !
betapa indahnya
sepiring nasi panas
semangkuk sop
dan segelas kopi hitam
***
Allah !
kelaparan
adalah burung gagak
jutaan burung
gagak
bagai awan yang
hitam
menghalang
pandanganku
ke sorga Mu
Sebagai orang yang
tidak terlalu menggeluti dunia perpuisian, aku hanya bisa menerka
saja bahwa puisi diatas bercerita tentang bagaimana penderitaan yang di rasakan
oleh orang-orang miskin yang lapar serta berbagai kecenderungan dan kemungkinan
tindakan yang akan dilakukan oleh orang lapar. Kelaparan di anggap sebagai
sebuah burung gagak yang menjadi simbol kelicikan, lapar itu menakutkan, laparan
itu pemberontakan, lapar itu penghianatan kehormatan, kelaparan menawarkan
ketidaknyamanan dan menuntut agar hasrat terpuaskan. Begitu seterusnya, jika
kita menyelami puisi ini lebih dalam lagi kita akan tenggelam dalam perasaan
religius spiritual yang mengharukan.
Salah satu esensi
dari puasa adalah ‘menahan diri’ dari lapar dan haus serta segala hal yang
dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai tenggelam mata hari.
Puasa menuntut kita untuk merasakan sekaligus mengalami langsung bagaimana
susahnya berada pada kondisi lapar. Tentu puisi diatas baru dan akan lebih
terhayati ketika kita membacanya dalam kondisi berpuasa dan pada saat waktu
tengah hari yang terik misalnya, atau menit-menit akhir menjelang berbuka.
Adalah sesuatu yang mustahil, mengharapkan kita bisa ikut merasakan penderitaan
orang lapar sementara kita sendiri berada dalam kondisi perut yang kenyang, sama
saja, tidak akan berhasil seminar penanggulangan kemiskinan tetapi acaranya di
hotel mewah berbintang, kecuali hanya sebatas formalitas belaka.
Agaknya puasa ingin
mengajarkan kita untuk ikut terlibat langsung merasakan penderitaan orang-orang
yang lapar selama lebih kurang tiga belas jam saja setiap hari selama bulan
Ramadan. Setelah berbuka mungkin kita akan lupa lagi. Lebih jauh dari itu,
puasa ingin mengajarkan kita betapa kesalehan individual juga harus di barengi
dengan kesalehan sosial.