Ada teori sederhana yang sering dikemukakan oleh pakar
manajemen: “Berhasil merencanakan, berarti merencanakan keberhasilan. Gagal merencanakan,
berarti merencanakan kegagalan”. Pesan penting yang ingin disampaikan dari dua premis
tersebut adalah pentingnya planning. Fungsi
pertama manajemen adalah perencanaan. Itulah mengapa di banyak instansi ada
satu bidang yang mengurusi bagian perencanaan, bidang inilah kemudian yang
mengatur seluruh program kerja, target, pencapaian dan lain sebagainya. Pada
skala yang lebih kecil, setiap orang juga sebenarnya menggunakan prinsip
perencanaan yang lebih detail. Hanya saja tidak tercatat dan tidak serumit
seperti praktik yang ada pada sebuah instansi.
Penulis sendiri banyak menemukan orang-orang yang bahkan
sejak jauh-jauh hari sudah membuat rencana untuk meliburkan semua aktivitas
keduniawian saat Ramadan tiba, mereka hanya fokus beribadah saja. Sebagian besar
diantara mereka biasanya adalah para Pedagang Rumah Makan. Terlalu ekstrem
memang, tetapi semangatnya itu perlu diacungi jempol.
Yang lebih nyata dari itu, coba perhatikan anak-anak,
biasanya pada level SD, setiap malam Ramadan mereka membawa buku catatan amal. Isinya
adalah rekaman ibadah salat dan Qiyamullail
lengkap dengan judul, sedikit inti sari dan tanda tangan ustaznya. Di bawahnya
ada tanda tangan orang tua dan diperiksa oleh guru agamanya di sekolah. Meskipun
kelihatannya amatiran, tetapi sebagai sarana pembelajaran dan manjemen waktu
beribadah, kebiasaan tersebut sangat baik dan perlu diapresiasi.
Apa kaitan antara manajemen dan bulan suci Ramadan. Jelas ada.
Banyak yang sudah menyusun rencana sebulan kedepan akan melakukan apa. Macam-macam
bentuknya, sesuai dengan profesi masing-masing. Ada orang yang berniat ingin
mengkhatamkan Al-Qur’an setidaknya satu kali dalam sebulan ini. Ada juga yang
berniat melaksanakan tarawih setiap malamnya di masjid. Ada pula yang sudah
berencana berinfak dengan nominal tertentu selama sebulan kedepan, sedekah
makanan dan lain sebagainya.
Rencana-rencana tersebut tentu sangat baik, setidaknya akan
menjadi guidance dalam beramal,
konsisten sekaligus terukur. Dalam bahasa agama, perencanaan identik dengan
niat. Nabi berpesan bahwa: “Semua amal tergantung kepada niatnya, dan orang
akan mendapatkan seperti apa yang ia niatkan”. Tidak satupun rukun ibadah yang
tidak didahului dengan niat. Artinya, nawaitu
menjadi sangat signifikan dalam keberterimaan amal di sisi Tuhan.
Dalam konteks puasa, jelas sekali niat menjadi salah satu
rukun setelah berupaya menjaga dari hal-hal yang membatalkan puasa sejak dari
terbit fajar sampai tenggelam matahari. Bahkan Nabi juga berpesan: “Man shama ramadhana imanan wahtisaban
ghufira lahuma taqaddama min dzambih”. Siapa yang berpuasa Ramadan dengan
penuh keimanan dan perhitungan yang baik, akan diampunkan dosa-dosanya yang
telah lalu. Penulis cenderung memahami kata ihtisab
pada Hadis tersebut dengan manajemen. Jadi kira-kira maknanya, siapa yang
berpuasa dengan penuh keyakinan dan manajemen puasa yang baiklah yang akan
mendapatkan nilai dari puasa yang ia kerjakan.
Pastilah ini hanya pemaknaan reflektif semata. Tetapi yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana orang yang berpuasa untuk tidak hanya
sekadar berpuasa. Tetapi lebih dari itu, punya schedule amal yang jelas, punya
manajemen ibadah yang terukur.
Semoga.
Masya allah sangat menambah motivasi pak
BalasHapus