Rabu, 12 April 2023

Puasa dan Kesalehan Sosial

 


Puasa merupakan ibadah yang sangat rahasia. Sangking rahasianya Allah mengatakan dalam Hadis Qudsinya bahwa: "Puasa untukku dan Aku yang akan membalasnya". Selain rahasia, puasa juga merupakan ibadah yang sangat individual, karena hanya seorang hamba dan Allah saja yang tahu.

Tetapi, di balik kesalehan individual yang diharapkan dari puasa, ada banyak nilai-nilai kesalehan sosial dari serangkaian ibadah puasa itu. Misalnya, ketika berbuka puasa, dianjurkan untuk membagi bukaan puasa kepada jiran tetangga, atau orang-orang yang membutuhkan. Sehingga, ada Hadis populer yang dapat dijadikan sandaran dalam hal ini, bahwa Nabi pernah berkata pahala orang yang memberikan makanan bukaan puasa sama dengan pahala orang yang berpuasa. Tentu kadar kesamaan pahala di sini masih perlu diperdebatkan. Tetapi intinya, anjuran berbagi sebagai bentuk kesalehan sosial sangat dikehendaki dari kasus ini.

Berikutnya, pelanggaran terhadap syariat puasa akan dikenakan denda dengan memerdekakan Hamba Sahaya atau puasa selama dua bulan berturut-turut lamanya, atau jika tidak sanggup dapat dengan memberikan makan orang 60 orang miskin. Dari tiga denda ini, dua di antaranya bersifat sosial.

Bagi orang-tertentu yang tidak bisa melaksanakan puasa, misalnya sangat tua renta, atau para pekerja berat yang berhalangan melaksanakan puasa, dapat diganti dengan fidyah dengan memberi makan fakir miskin. Ini pun alternatif yang sangat mulia dan sifatnya sosial.

Sampailah pada penghujung Ramadan, menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri, ada satu ibadah sosial yang wajib dikerjakan setiap muslim yang masih hidup, yaitu zakat fitrah. Memberikan 2,5 atau 2,7 kg makan pokok kepada panitia pengumpul zakat, untuk kemudian dibagi kepada delapan asnab (fakir, miskin, petugas zakat (‘Amil), mualaf, orang-orang yang berhutang (gharim), hamba sahaya (budak), mereka yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah) dan musafir kelana dengan tujuan yang positif (Ibnu Sabil).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa puncak dari ibadah puasa yang sifatnya individual, akan melahirkan ibadah atau amalan-amalan yang berdampak pada aspek sosial.

Tentu lah, tidak hanya zakat fitrah saja, masih ada zakat harta (maal), ada juga infak, sedekah dan wakaf yang banyak orang melakukannya selama bulan Ramadan karena mengharap berkah dan pahala yang berlipat ganda. Itu semua dilakukan dalam rangka mewujudkan ibadah sosial yang manfaatnya bisa dirasakan secara langsung oleh orang banyak.

Selasa, 11 April 2023

Ramadan Bulan Bersyukur

 


Setidaknya ada dua hal yang perlu disyukuri saat seseorang sedang berpuasa. Pertama, puasa yang dikerjakan itu sebentar. Lebih kurang 13 jam saja. Berbeda dengan negara-negara lain yang bahkan sampai 18 jam. Tidak itu saja, cuacanya juga ekstrim, kalau tidak terlalu dingin, kelewat panas.

Dibandingkan dengan umat terdahulu, ada di antara mereka yang puasanya 40 hari 40 malam, tanpa ada jeda waktu. Ada yang satu hari berpuasa, satu hari berbuka. Ada pula yang puasa khusus tidak berbicara, dan masih banyak lagi.

Kebanyakan dari orang yang berpuasa itu, setelah melampaui 13 jam lebih kurang, mereka akan makan seperti biasa, bahkan frekuensinya melebihi dari biasa. Artinya, puasa yang dilakukan hanya perlu menahan untuk beberapa waktu saja. Setelah itu, bebas mau makan apa pun yang diinginkan.

Jauh di sana ada saudara-saudara kita yang relatif sama pola makannya baik saat puasa maupun di luar puasa, mereka hanya makan dua atau satu kali saja, sederhana, ala kadarnya. Kalau melihat ini, pantaslah kita bersyukur.

Yang kedua, cobalah renungkan: apa yang tidak dikasi Tuhan untuk kita?. Rasanya semua yang pernah diminta sudah diberi. Kalau pun ada yang belum diberi, mungkin belum pantas kita miliki, atau masih ditunda Allah. Mungkin sebentar lagi juga akan datang.

Melalui perenungan yang mendalam, puasa ini menyadarkan kita, ada semacam bisikan batin yang menegur betapa kita harus bersyukur sebanyak-banyaknya. Sebab, nikmat Tuhan mana lagi yang belum kita nikmati?.

Minggu, 09 April 2023

Ramadan Bulan Berdoa

 


Ada dua situasi yang akan Allah kabulkan doa seorang hamba: ketika terzalimi dan saat berpuasa. Hati-hati saat menzalimi orang, kalau bisa jangan pernah berniat apalagi melakukannya. Sekalipun orang yang dizalimi itu tidak membalas, tapi hatinya mengutuk, menyumpah serapah dan besar kemungkinan doanya akan didengar Allah.

Banyak-banyak lah berdoa ketika berpuasa, terutama saat berbuka. Jangan berhenti pada lafal Allahumma laka sumtu..., tambah lagi, minta sebanyak-banyaknya. Sekiranya ada hal penting atau hajat yang belum kesampaian, fokuskan doanya, tingkatkan frekuensinya. Insyallah.

Memang, cara Allah mengabulkan doa bermacam-macam. Ada yang langsung diberi, cash. Sebab yang memintanya sangat butuh. Ada pula yang lama baru diberi, sebab sipeminta belum layak menerimanya.

Ada juga yang ditunda sampai ke akhirat kelak, di dunia ini sama sekali tidak dikabulkan. Tetapi siapa sangka, doa-doa yang tertunda itu akan dikonversi menjadi pahala kebaikan yang akan dipanen oleh seorang hamba itu. Sehingga nanti, di akhirat kelak ada seorang yang merasa heran dengan amalannya yang sangat banyak, jauh dari perkiraannya. Semula ia menduga pastilah ia akan masuk neraka, oleh karena selama di dunia kejahatan yang dilakukan lebih banyak dari kebaikan.

Tetapi, saat hari penentuan itu tiba, Allah menakdirkannya masuk ke dalam surga. Tahu mengapa? Sebab ia sabar menanti doanya, kesabarannya itu kemudian diakumulasi menjadi pahala yang tak terhingga dan menyebabkannya masuk surga.

Ramadhan ini bulan memperbanyak doa, minta lah apa saja, jangan lupa minta sesuai skala prioritas, sesuai dengan kebutuhan. Semakin sering didoakan, semakin besar peluangnya dikabulkan.

Jumat, 07 April 2023

Pesan Nuzul Qur'an

 


Ayat pertama yang dibawa Jibril kepada Nabi Muhammad saw. adalah surah al-‘Alq/96: 1-5. Iqra' (membaca) merupakan sebuah perintah penting yang menandai permulaan turunnya kitab suci umat Islam.

Ada yang aneh saat perintah membaca diwahyukan. Sepakat para Sejarawan bahwa Muhammad saw. adalah seorang yang ummi, tidak bisa baca tulis. Tentu hal ini harus dipahami dengan konteks dahulu, dimana tradisi Arab pra Islam adalah tradisi lisan dan hafalan. Kecerdasan seseorang diukur bukan berdasarkan kemampuan baca tulis, melainkan kemampuan hafalan.

Kalau begitu, apa sebenarnya makna terpenting dari perintah membaca itu?. Sambungan ayat itu menjelaskan bahwa membaca dengan nama Tuhanmu (bismi rabbik). Artinya, membaca itu tidak hanya yang tersurat, tetapi juga yang tersirat. Kalau mau pakai istilah mantan Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin, bahwa ada satu lagi, membaca yang tersuruk. Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas ada hal lain yang penting dibaca dari sekadar membaca tekstual. Banyak konteks yang perlu disingkap untuk menggali makna lebih jauh.

‘Ala kulli hal, dengan turunnya perintah membaca sejak empat belas abad yang lalu, menandai perubahan peradaban Islam dari tradisi lisan menuju tradisi tulisan. Apa pula yang mau dibaca kalau naskahnya (tulisannya) tidak ada?. Nampaknya, saat ini ada pergeseran peradaban di dunia Islam, bahwa ukuran kepintaran, katakan lah di dunia akademik, tidak lagi sekadar mengandalkan hafalan semata, melainkan kemampuan menulis dan mempublikasikannya. Pada saat yang sama, sekarang ini juga sedang menjamur rumah Tahfiz Al-Qur'an yang ingin menghidupkan tradisi menghafal, begitu juga dengan pesantren-pesantren tradisional yang masih membudayakan menghafal sebagai tanda bahwa seorang santri mempunyai kompetensi. Dua-duanya ini baik, hafalan dan tulisan seyogyanya harus membudaya bagi generasi muslim.

Rabu, 05 April 2023

Ramadan Bulan Evaluasi

 


Saat dalam keadaan lapar, biasanya seseorang mudah berempati, berusaha merasakan apa yang dirasakan orang lain. Dalam keadaan inilah pengalaman spiritual seseorang sampai pada tingkatan tertinggi. Maka, puasa sebenarnya menghantarkan manusia pada level paling puncak baik secara sosial sekaligus spiritual.

Dalam pada itu, manusia biasanya suka merenung,  berpikir sambil mengevaluasi diri. Apa sebenarnya yang sudah dilakukan?, Bagaimana hasilnya? Apa yang belum maksimal? Apa pula langkah ke depannya?. Dan seterusnya.

Puasa merupakan bulan refleksi diri, artinya perenungan yang datang justru lebih di dominasi dari dalam diri. Akan timbul kesadaran dari dalam diri. Karena itu, sebagian kecil pakar ada yang berpendapat bahwa banyaknya ceramah-ceramah atau tausiyah di bulan Ramadan justru tidak terlalu signifikan dampaknya terhadap kesadaran umat dalam beragama (Islam). Jangan-jangan orang malah bosan kalau tidak mau mengatakan muak. Hal terpenting yang harus didorong kepada umat ini adalah bagaimana merefleksi diri. Itikaf merupakan cara yang diajarkan dalam syariat terutama menjelang akhir-akhir Ramadan.

Niat tulus dan ikhlas orang yang berpuasa akan melahirkan semangat mengevaluasi diri. Entah bagaimana prosesnya, yang jelas Allah swt. mendesain dalam suasana yang amat sangat lapar itu, ada bisikan dari dalam hati, entah itu merencanakan sesuatu, melaksanakannya, atau juga mengevaluasinya. Percaya atau tidak, cobalah dirasakan.

Selasa, 04 April 2023

Investasi Pahala

 


Sesungguhnya orang beriman apabila melakukan suatu dosa, akan terlahir bintik hitam di dalam hatinya. jika dia bertaubat, melepaskan diri dari dosa dan memohon ampun, maka bersihlah hatinya. jika bertambah dosanya, maka bertambah banyak titik noda hitam hingga menutup hatinya” (HR. Tirmizi).

Salah satu penyebab mengapa seseorang malas beribadah adalah karena konsep pahala dan dosa dalam Islam sangat abstrak. Artinya, tidak nampak secara materi, hanya bisa dirasakan oleh orang-orang beriman saja. Sehingga, orang yang salat lima waktu, secara materi tidak ada bedanya dengan mereka yang tidak salat. Bahkan dari sisi materi, mungkin saja lebih banyak dari orang yang salat, mereka itu berkecukupan hidupnya, bahkan lebih dari cukup.

Sekiranya setiap kali selesai salat, di depan pintu masjid telah ada petugas yang membagi seratus ribu misalnya, pasti masjid-masjid akan penuh sesak. Demikian juga, sekiranya setiap kali seseorang lalai mengerjakan salat ada tanda benjolan di wajahnya, tentulah banyak orang yang akan malu.

Demikian seterusnya, bahwa sekali lagi konsep pahala dan dosa itu sangat abstrak, ngak nampak. Hanya saja Hadis di atas menjelaskan bahwa ada titik hitam yang akan muncul di dalam hati seseorang manakala ia melakukan dosa, itu pun siapa yang tahu?. Akumulasi dari titi-titik hitam itu lah yang kemudian akan menjadi penyakit hati (qalbun marid), hati yang tertutup, hati yang menolak kebenaran dan nasehat-nasehat oleh karena terlalu banyak titik hitam dalam hatinya.

Karena abstraknya pahala dan dosa itu, di dunia ini hampir tidak memberikan bekas apa-apa, tentu ini ukurannya sangat materialis. Barulah kemudian pahala dan dosa itu akan nampak dan terasa ketika seseorang diantarkan ke dalam kuburan. Ketika semua orang telah pergi meninggalkannya di dalam kuburan, datanglah dua malaikat yang akan menanyainya. Pada saat itu, barulah terasa pentingnya tabungan pahala. Menyesal tiada berguna, mau Kembali ke dunia juga tidak bisa.

Sebagai muslim yang baik, kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa pasti ada kehidupan setelah kematian yang lebih kekal dan abadi. Karena itu, dari sekarang perlu berinvestasi pahala sebanyak-banyaknya.

Senin, 03 April 2023

Mengkampanyekan Kebaikan

 


Manusia mempunyai dua kecenderungan: kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat jahat. Dua potensi ini setiap hari bertarung dalam diri kita, mana yang kemudian lebih mendominasi akan muncul sebagai sifat dan kepribadian seseorang. Orang yang dominan sifat berani dalam dirinya akan disebut sebagai pemberani, demikian sebaliknya. demikian seterusnya, orang yang dalam dirinya dominan dengan kebaikan maka ia akan disebut sebagai orang baik.

Di dalam Al-Qur'an surah asy-Syams/91: 7-8 dijelaskan bahwa: " 7) Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya. 8) Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya".

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah sebenarnya memberikan pilihan kepada manusia untuk menjadi orang baik atau menjadi orang jahat. Dua jalan tersebut telah disiapkan Allah, manusia juga disiapkan sarana untuk mempertimbangkannya melalui potensi akal pikiran yang dimilikinya.

Menurut Prof. Quraish Shihab, bahwa sebenarnya manusia lebih cenderung kepada kebaikan. Akan tetapi daya tarik untuk melakukan kejahatan jauh lebih besar daripada daya tarik melakukan kebaikan. Inilah yang menjadi masalah sesungguhnya. Iklan kejahatan lebih massif dilakukan dibungkus dengan strategi marketing yang luar biasa. Sementara iklan kebaikan belum banyak memberikan tawaran-tawaran menarik. Sifatnya hanya sukarela dan sangat individualistik.

Antara mencuri dan memberi, jelas mencuri lebih memberi daya tarik tersendiri, karena secara psikologis seseorang telah diiming-imingi mendapatkan materi dalam jumlah banyak tanpa perlu bekerja keras.  Sementara memberi, secara matematis jelas mengurangi materi yang dimiliki. Adapun soal pahalanya, sangat abstrak sekali, hanya mungkin dirasakan oleh orang-orang yang beriman Saja.

Salat tarawih dengan nongkrong, secara pragmatis, jelas lebih enak nongkrong. bisa menikmati aneka makanan sambil ngobrol kesana kemari. Tarawih lama, capek dan monoton.

Analogi itu memang terkesan jauh dari rasa spiritual atau keimanan. Tetapi, poinnya adalah bagaimana kita mampu mendesain aktivitas keberagamaan kita agar lebih menarik lagi, sehingga kampanye kejahatan di luar sana dapat diimbangi. Ini tentu saja bagi mereka-mereka yang belum mempunyai rasa spiritual yang tinggi. Sehingga, harus dibantu dengan pernak-pernik lain sebagai pendukung.

Barang kali, apa yang telah dilakukan oleh masjid kita: dengan menciptakakan suasana ruangan yang sejuk, pembagian makanan gratis, kemudian penyediaan bantuan kepada yang membutuhkan adalah merupakan satu di antara banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengajak orang cenderung kepada kebaikan. Kita berharap hal yang serupa bisa dilakukan di tempat-tempat lain.

Kamis, 30 Maret 2023

Bekerja Juga Ibadah

 


Bekerjalah kamu. Maka Allah dan Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taubah/9: 105).

Selama bulan Ramadan ini, aktivitas beribadah umat Islam terasa sangat meningkat. Masjid-masjid selalu ramai setiap masuk waktu salat, bacaan Al-Qur'an terdengar jelas, hampir tidak pernah sepi, kecenderungan manusia juga sangat dominan pada kebaikan. Ada perubahan jam kerja di hampir semua instansi, umumnya durasi waktunya dipercepat. Tidak hanya itu menjelang penghujung Ramadan nanti, setiap instansi biasanya memberikan uang tambahan (THR) sebagai bonus. Ini semua adalah berkah dari bulan suci Ramadan.

Bagi orang-orang yang telah terikat dengan suatu pekerjaan, tentu saja intensitas beribadah seperti membaca Al-Qur'an dan itikaf di masjid tidak bisa maksimal. Jangan bersedih. Bekerja juga adalah bagian dari ibadah yang tidak kalah pentingnya.

Seorang guru ibadahnya adalah bersungguh-sungguh mencerdaskan peserta didik, seorang pegawai kerjanya adalah memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Demikian pula ibadah bagi seorang pedagang adalah berjualan dengan jujur dan tertib soal takaran/timbangan.

Bermalas-malasan dalam bekerja, memberikan pelayanan yang buruk, bermuka masam, atau curang dalam takaran adalah bentuk penghianatan terhadap tugas. Lebih dari sekadar itu adalah dosa. Alih-alih mendapatkan nilai pahala dalam bekerja, yang tersisa hanya dosa.

Di atas segalanya, bagi yang tidak mempunyai waktu mengisi ibadah di bulan Ramadan, maksimal lah dalam bekerja. Karna serius dalam bekerja juga merupakan bagian dari ibadah dan sekaligus merupakan perwujudan dari sikap takwa.

Rabu, 29 Maret 2023

Puasa Ibadah Rahasia

 


Ada Hadis Qudsi yang menyatakan bahwa: “Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Muslim). Hadis ini mengisyaratkan betapa keutamaan puasa Ramadan sangat besar. Sebab, secara langsung dan khusus dipersembahkan untuk Alla swt. dan mendapat ganjaran langsung dari-Nya.

Tidak juga berarti bahwa Allah perlu dengan puasa yang kita lakukan. Ada sekitar 2 milliar lebih kurang orang Islam di dunia ini, sekiranya satupun di antara mereka tidak melaksanakan puasa, Allah akan tetap menjadi Allah tanpa berkurang sedikitpun kekuasaannya. Andaikan di dunia ini tidak ada lagi satupun orang yang salat, Allah tetap Allah. Lebih jauh lagi, sekiranya tidak ada lagi manusia yang beriman dan mau menyembah Allah maka tidak akan mempengaruhi eksistensi dan legalitas-Nya sebagai Tuhan.

Kembali ke judul, bahwa puasa menjadi ibadah yang sangat istimewa sebab sifatnya sangat rahasia. Hanya seorang hamba dan Allah saja yang tahu. Kalau ingin bersandiwara, puasalah ibadah yang paling memungkinkan. Syahadat, jelas diucapkan dan ada ikrar yang keluar dari lisan. Salat juga demikian bagaimana mungkin berpura-pura salat, gerakannya jelas, rukun-rukunya juga jelas. Zakat pun demikian ada sejumlah harta yang disisihkan untuk didistribusikan kepada yang berhak menerimanya. Haji apalagi, jelas waktu dan tempat pelaksanaannya. Adapun puasa, rukunnya hanya dua: niat dan imsak (menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa). Niat letaknya dalam hati dan sangat tersembunyi. Sedangkan menahan, sifatnya sangat individual.

Bisa saja, atau sangatlah gampang kita diam-diam minum air saat mengambil wudhu’, apalah susahnya mengambil makanan di dalam kulkas kemudian mengunci kamar dan menghabiskannya di sana. Soal penampilan, bisa saja diatur dengan berpura-pura lemas, bibir dilap kering, bicara dengan nada pelan dan lain sebagainya. Pendeknya, gampang sekali dimanipulasi. Tetapi mengapa tidak kita lakukan?. Sekalipun peluang itu ada, tetapi iman kita menolak melakukannya. Itulah kekuatan puasa.

Dengan niat yang kuat, orang yang terlambat sahur, bisa tahan lebih kurang 13 jam tidak makan, tidak minum, biasa saja. Tidak ada keluhan penyakit atau sejenisnya. Beda dengan hari biasanya, orang yang sudah sarapan pagi, lalu kebetulan terlambat sedikit waktu makan siang, terasa sekali ada yang kurang bahkan bagi orang tertentu secara langsung berdampak bagi kesehatannya. Sekali lagi, itulah kekuatan puasa.

Puasa adalah ibadah rahasia yang berhasil ditahan seharian, tetapi menjadi tidak rahasia (riya) saat berbuka dengan menampakkan hidangan mewah baik secara langsung maupun melalui perantara status di media sosial. Tidak lagi menjadi rahasia, ketika menampakkan ibadah tarawih dengan maksud mendapat pujian misalnya, baik sebagai audiens ataupun sebagai ustaznya.

Selasa, 28 Maret 2023

Ramadan Bulan Panen Pahala

 


Salah satu keutamaan bulan Ramadan adalah dilipatgandakannya pahala amalan seorang Muslim. Amalan-amalan sunnah nilainya setara dengan amalan wajib, sedangkan amalan wajib dibalas dengan pahala yang tak terhingga. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw. “Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah pada bulan Ramadan, samalah ia dengan orang yang menunaikan suatu ibadah wajib di bulan yang lain. Dan barang siapa yang menunaikan suatu amalan wajib, samalah ia dengan oraang-orang yang mengerjakan tujuh puluh amalan wajib di bulan yang lain. Ramadan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya surga”.

Keistimewaan umat Nabi Muhammad, meskipun usianya tidak selama usia umat terdahulu, tetapi peluang untuk beramal dan nilai dari amal tersebut jauh melampaui usia umat terdahulu. Di bulan ini juga, ada satu malam yang jika dikonversi nilai ibadahnya setara dengan 83 tahun (malam lailatul qadr). Bisa dibayangkan, jika seorang sejak ia baligh berpuasa, katakanlah sejak 13 tahun, lalu ia secara konsisten beramal di bulan Ramadan selama hidupnya (katakanlah mengikuti usia Nabi Muhammad, 63 tahun), berarti ia sudah melewati 50 kali malam lailatul qadar. Anggap saja, yang setengahnya berhasil. Berarti ada 25 kali dan itu setara dengan 2075 tahun. Dahsyat, angka ini bahkan melampaui usia Nabi Adam as.

Dalam rangka memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan ini, maka perlu pelaksanaan ibadah sunnah, terutama salat sunnah yang lebih banyak lagi, artinya kuantitasnya perlu ditambah. Untuk yang wajib sudah lah, barangkali kualitasnya perlu diperbaiki. Peluang yang dapat diambil adalah pelaksanaan salat sunnah qabliyah dan ba’diyah (2 rakaat sebelum subuh, 2 rakaat sebelum dan sesudah zuhur, 2 rakaat sebelum asar, 2 rakaat sesudah magrib, 2 rakaat sebelum dan sesudah isya), tarawih, witir, tahajjud, dan duha. Tentu tidak ada yang susah, hanya perlu pembiasaan saja. Dan ajaibnya, di bulan ini kita seperti terbiasa dengan kecenderungan ibadah yang lebih dari bulan-bulan biasanya.

Tarawih dan witir sudah satu paket kita laksanakan setiap malamnya. Adapun tahajjud menjelang sahur, sebelum makan sahur kita sempatkan minimal 2 rakaat, paginya di sela-sela kesibukan kita masing-masing, sempatkanlah dua rakat untuk duha. Kalau ini bisa dilakukan, maka tidak terhitung jumlah pahala yang akan diperoleh. Yang lebih penting dari sekadar itu adalah kita berharap di luar Ramadan, kebiasaan baik ini akan bisa terus dilaksanakan. Amin.  

Senin, 27 Maret 2023

Ramadan Bulan Tadabbur Al-Qur’an

 


Ramadan identik dengan bulan Al-Qur’an. Karena memang Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada tanggal 17 Ramadan dan setiap tahunnya diperingati dengan peristiwa Nuzul Qur’an. Di bulan ini, semangat orang-orang yang berpuasa untuk membaca Al-Qur’an sangat tinggi. Masjid-masjid bahkan sampai tengah malam tidak sepi dari bacaan Al-Qur’an, sebagaian masjid lainnya bahkan ada yang melanjutkan setelah subuh sampai menjelang duha. Kebiasaan ini tentu baik dan tidak salah.

Membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan sangat dianjurkan. Sebab, pahalanya akan dilipatgandakan. Karenanya, banyak orang yang mengejar kuantitas dengan berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur’an. Konon, kata Imam Syafi’i bahwa hak dari Al-Qur’an untuk dikhatamkan adalah sejumlah umur dari seorang Muslim. Dengan demikian, Muslim yang baik adalah mereka yang mengkhatamkan Al-Qur’an setidaknya setahun sekali, dan momentum yang paling tepat adalah saat Ramadan seperti ini.

Selain mengkhatamkan Al-Qur’an, ada pula sebagian kecil di antara mereka yang berupaya memperbaiki kualitas bacaan Al-Qur’annya dengan cara bertadarus. Sebagian kecil lagi, berupaya membaca Al-Qur’an dengan terjemahannya bahkan sampai kepada tafsirnya. Ada pula yang secara serius melakukan penelitian Al-Qur’an kemudian menuliskannya.

Memang umat Islam perlu serius memperbaiki kualitas bacaan Al-Qur’an mereka tidak hanya dari sisi tajwid dan fasahah saja. Tetapi bagaimana umat Islam bisa memahami apa yang mereka baca untuk kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Masjid-masjid kita perlu membuat program khusus selain dari tadarus Al-Qur’an juga bagaimana membuat kajian-kajian khusus  tafsir Al-Qur’an. Para akademisi dan intelektual Muslim juga perlu melakukan kajian-kajian serius tentang bagaimana Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai inspirasi kehidupan.

Minggu, 26 Maret 2023

Kebahagiaan Orang Berpuasa

 


Di antara Hadis yang cukup populer saat Ramadan adalah: “Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan yang ia rasakan. Pertama, kebahagiaan ketika berbuka puasa, dan kedua, Bahagia ketika bertemu dengan Tuhan-Nya”.

Memang senang rasanya ketika sampai waktu berbuka puasa. Haus yang ditahan seharian dapat segera sirna, demikian juga dengan rasa lapar yang sejak lama terasa segera akan hilang. Kebahagian itu juga terasa bahkan menjelang berbuka. Mulai dari belanja bukaan puasa, sampai menunggu detik-detik menjelang magrib semua dilalui dengan perasaan gembira. Pendeknya, psikologi orang lapar pasti gembira menunggu waktu makan tiba.

Lebih dari itu, Hadis di atas menyatakan bahwa ada kegembiraan yang lebih besar dari sekadar menunggu waktu berbuka. Kegembiraan itu adalah ketika bertemu dengan Allah swt. Memang, hal ini abstrak/gaib dan sulit dijelaskan. Sebab hanya beberapa Nabi dan Rasul saja yang pernah bertemu langsung dengan Allah. Untuk mengkonfirmasinya pun hampir tidak mungkin. Kita hanya bisa meyakini ayat atau Hadis yang menjelaskan bagaimana rasa bahagianya saat bertemu dengan Allah.

Mungkin saja dapat diumpamakan dengan seorang anak yang sudah lama tidak bertemu dengan orang tuanya, baik karena merantau, atau karena hal lain yang harus memisahkan mereka. Meluapkan rasa rindu saat bertemu dengan anak, orang tua atau bisa juga dengan istri tentu tidak akan terlukiskan betapa bahagianya. Bagaimana pula dengan Allah swt. Yang sejak dalam kandungan kita semua telah bersaksi bahwa Ia merupakan Tuhan, selama hidup kita menyembah-Nya. Tidakkah kita penasaran bagaimana bentuk-Nya?. Ini semua akan terjawab nanti di hari kemudian, tentu bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan keikhlasan.

Soal apakah Allah dapat dilihat wujudnya ataukah hanya nur-Nya saja? Sampai hari ini masih menjadi perdebatan ahli kalam. Tetapi yang jelas, bertemu dengan orang yang kita sembah selama hidup kita, yang menjadi Tuhan sekalian alam adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai.

Kalau hanya makan dan minum, berapa banyak yang sanggup dimakan oleh manusia? Dua, tiga piring pasti sudah kenyang. Bahkan akan merasa muak melihat makanan itu. Demikian juga dengan minum, berapa banyak yang sanggup diminum oleh manusia? Dua, tiga gelas sudah cukup.

Ada teori kebutuhan dasar manusia, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Sigmun Freud bahwa kebutuhan pokok manusia itu adalah makan, minum, tidur dan berhubungan suami istri. Makan dan minum sudah dijelaskan di atas, seberapa banyak yang sanggup dimakan dan diminum oleh manusia, sangat terbatas. Tidur, seberapa lama manusia sanggup tidur? Tidak lama. Antara delapan hingga sepuluh jam saja. Kalau lewat, pasti badan akan terasa capai. Demikian pula dengan berhubungan biologis antara suami dan istri, waktunya juga terbatas. Artinya, kebahagiaan dan kenikmatan dunia ini hanya sebentar saja.  

Apa yang ingin disampaikan, poinnya adalah jika kebahagiaan itu hanya ada dua, dan yang satu tadi sudah dijelaskan sifatnya hanya sementara, maka kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika bertemu dengan Allah swt. nanti di surga-Nya. InsyaAllah.

Sabtu, 25 Maret 2023

Waktu Imsak dan Berbuka



Persoalan waktu dalam ibadah puasa penting untuk diperhatikan. Sebab, di antara tujuan melaksanakan ibadah puasa adalah menjadi orang yang disiplin atau tepat waktu. Terasa sekali bahwa saat Ramadan tiba, orang-orang yang berpuasa akan lebih cenderung disiplin dalam pelaksanaan ibadah. Masjid-masjid ramai setiap kali masuk waktu salat, terutama saat isya dan subuh. Lebih dari itu, orang-orang yang berpuasa juga cenderung disiplin waktu makan dan minum (saat sahur dan berbuka).

Kapan sebenarnya waktu berbuka?. Jawabannya ada di dalam selebaran jadwal-jadwal imsakiyah. Di sana tertera waktu yang akurat. Jadi, kalau ingin mendapatkan waktu berbuka ideal ikuti jadwal imsakiyah. Kekeliruan yang sering dilakukan sebagian orang-orang yang berpuasa adalah menunggu waktu azan di masjid. Sementara muazzin tentulah membatalkan puasanya terlebih dahulu. Sudah pasti ada rentang waktu antara muazzin membatalkan puasanya sampai ia mengumandangkan azan.

Para muazzin sebaiknya ikhlas untuk menunda mencicipi bukaan puasa. Idealnya mereka membaca bismillah, kemudian meminum air putih dua atau tiga tegukan, selanjutnya mengumandangkan azan. Setelah azan selesai barulah ia berdoa ditambah dengan doa berbuka puasa. Setelah itu, silahkan menyantap bukaan puasa yang tersedia, lalu iqamat dan melanjutkan dengan salat magrib berjamaah. Beberapa masjid memang telah membiasakan hal baik ini.

Tetapi, masih banyak juga masjid yang muazinnya ikut berbuka puasa mencicipi hidangan yang ada, waktu yang dibutuhkan lebih kurang lima sampai tujuh menit. Setelah itu, barulah muazzin mengumandangkan azan dan langsung iqamat. Tentu ini tidak salah. Tetapi, jika ada orang yang menunggu waktu azan baru mulai berbuka puasa, maka pasti waktunya akan kelewatan dan ini makruh hukumnya sampai ada yang mengatakan haram. Indikasinya bisa kita saksikan, mengapa saat azan magrib hampir tidak ada masjid yang sama waktunya.

Ada cara yang dilakukan oleh beberapa masjid untuk mengakomodir masalah di atas, di kampung-kampung untuk menandakan masuk waktu magrib atau berbuka puasa adalah dengan memukul beduk. Di kota-kota besar, sebagian kecil menggunakan alaram atau sirine sebagai penanda waktu. Setelah beduk ditabuh atau sirine dibunyikan, masuklah waktu. Ada yang langsung azan ada juga yang menyantap hidangan lebih dulu.

Dalam hal berbuka, mana yang dilakukan lebih dulu, membaca doa atau membatalkan puasa?. Sebaiknya ucapkan bismillah, kemudian batalkan puasa dengan cara meminun air atau makan kurma, lalu membaca alhamdulillah dan berdoa. Jadi, puasanya dibatalkan dulu baru berdoa. Tidak seperti iklan yang ada di televisi yang menampilkan berdoa terlebih dahulu kemudian membatalkan puasa, terbalik. Alasannya sederhana, lihatlah terjemahan doa berbuka puasa (Allahumma laka sumtu… atau dzahaba zama’u…) semuanya dalam bentuk past tense atau menggunakan kata kerja lampau. Artinya, berdoa dilakukan setelah berbuka puasa, bukan sebelum puasa.

Adapun waktu imsak, atau mengakhirkan waktu sahur, waktu yang tertera di dalam jadwal imsakiyah merupakan waktu ideal, tetapi tidak mutlak diikuti. Sebab antara azan subuh dengan waktu imsak selisih sepuluh menit. Waktu ini dipergunakan Nabi Muhammad saw. untuk membaca Al-Qur’an sekitar 50 ayat. Jadi Nabi saw. mengakhirkan waktu sahurnya dengan membaca Al-Qur’an 50 ayat dan jika dikonversi waktunya sekitar 10 menit. Waktu imsak merupakan waktu hati-hati, dalam kondisi normal. Tetapi, jika kebetulan bangunnya telat, sudah lewat waktu imsak, maka batas akhirnya adalah sampai azan subuh. 

Dengan demikian, waktu berbuka sebaiknya mengikuti waktu magrib bukan menunggu waktu azan. Sedangkan waktu sahur idealnya mengikuti waktu imsak, jika tidak memungkinkan maka batas akhirnya adalah sampai pada azan subuh. Wallahu’alam.


Jumat, 24 Maret 2023

Puasa Bukan Memindahkan Waktu Makan

 


Banyak literatur Fikih yang menjelaskan bahwa definisi puasa adalah “imsak”, atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya “menahan”. Menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa sejak dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa esensi dari puasa sebenarnya adalah menahan. Jadi, yang hasil yang diinginkan dari puasa yang sesuangguhnya adalah kemampuan seorang Muslim menahan diri dari sikap yang berlebih-lebihan. Karena jujur saja, di luar bulan Ramadan sering kali manusia tidak bisa menahan dirinya, baik itu dari makan dan minum secara berlebihan, menahan pembicaraan untuk sekadar berbicara yang penting, atau menahan ambisi yang meluap-luap untuk mendapatkan sesuatu.

Ramadan ini sesungguhnya mengajari kita untuk mampu menahan diri, terutama dari makan dan minum yang tidak sesuai pada porsinya. Sehingga, lebih kurang 13 jam kita ditahan oleh puasa untuk bisa berhenti dari makan dan minum. Tetapi sayangnya, satu detik setelah waktu magrib tiba, banyak yang balas dendam, melampiaskan semua keinginan untuk menyantap hidangan apa saja yang ada dihadapannya. Kalau sudah demikian, maka puasa yang dilakukan sesungguhnya hanya sekadar memindahkan jam makan saja.

Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa pengeluaran rumah tangga justru naik drastis saat Ramadan tiba. Padahal secara kuantitas, waktu makan lebih sedikit dari hari-hari biasa. Tentu saja, biasanya makan itu normalnya dilakukan tiga kali sehari, sementara di bulan Ramadan hanya dua kali saja (waktu berbuka dan sahur). Tetapi jangan salah, porsi yang disiapkan untuk hidangan berbuka mungkin jauh lebih banyak baik kuantitas, maupun kualitas makanan yang disajikan. Jadi, memang benar bahwa meskipun waktu makannya hanya dua kali, tetapi cost yang dikeluarkan di atas tiga kali, mungkin saja lebih.

Betapapun demikian, Ramadan tetap dinanti dan hampir tidak ada keluhan yang berarti. Meskipun uang keluar semakin banyak, orang-orang teta saja gembira. Semua orang senang dengan hadirnya Ramadan, tidak hanya orang Islam, akan tetapi agama lain juga merasa gembira. Betapa tidak, para penyedia bahan mentah untuk diolah menjadi makanan adalah kebanyakan dari mereka yang tidak beragama Islam. Tentu saja mereka kebanjiran orderan saat Ramadan tiba.

Kembali lagi ke awal, bahwa puasa yang sebenarnya adalah kemampuan seorang Muslim menahan diri saat dan ketika selesai puasa. Tentu tidak hanya soal makanan, tetapi juga soal perilaku. Kalau ini dapat dilakukan, dapatlah dikatakan bahwa puasa yang dilakukan berhasil meraih predikat takwa. Lebih jauh lagi, bahwa nilai-nilai ketakwaan itu terlaksana pasca Ramadhan.

Kamis, 23 Maret 2023

Antara Hisab dan Ru'yatul Hilal

 


Di antara hal yang patut disyukuri adalah pada tahun ini awal puasa umat Islam di Indonesia dimulai pada waktu yang sama (23 Maret 2023). Meskipun sebagian kecil umat Islam (jamaah Naqsyabandiyah) telah memulai puasa sebelumnya.

Kesyukuran berikutnya adalah bahwa belakangan ini, perbedaan awal penentuan Ramadan dan Syawal sudah tidak menjadi polemik yang serius di kalangan umat Islam. Umat Islam semakin dewasa, terbiasa memahami dan menerima perbedaan. Sebagaimana perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan dan sekaligus merupakan rahmat dari Tuhan.

 Perbedaan metode (Hisab dan Ru'yah) dalam penentuan awal Ramadan dan bulan Islam lainnya secara langsung akan berdampak pada perbedaan awal pelaksanaan ibadah. Dalam konteks Fikih, hal ini tentu memiliki dampak yang serius, karna salah satu syarat sah melakukan suatu amal (salat, puasa, zakat fitrah dan haji) adalah telah sampai pada waktunya.

 Berulang kali orang-orang yang cerdik pandai menyarankan agar antara Hisab dan Ru'yah dapat dikompromikan atau dimusyawarahkan, supaya perbedaan yang berpotensi menimbulkan keresahan itu bisa dihindari. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Dua metode tersebut mempunyai dalil masing-masing yang sama kuatnya. Sebagaimana kuatnya alasan dua ditambah delapan sama dengan sepuluh dengan tiga ditambah tujuh juga sama dengan sepuluh, dan seterusnya. Jadi kedua-duanya benar, dan rasanya tidak mungkin menyeragamkannya.

 Jika ingin membuat analogi sederhana antara Hisab dan Ru'yah, ini mungkin ini bisa menenangkan kita. “Untuk mengetahui sisa beras yang ada di dalam tempat penyimpanan, kita tidak perlu melihatnya langsung, tetapi bisa menghitungnya/”menerkanya” (Hisab). Caranya, kita tentu bisa menghitung jumlah yang setiap hari digunakan untuk dimasak, katakan lah sehari satu kilogram. Berarti untuk ukuran beras 30 Kg, dalam sebulan sebulan tentu akan habis. Kita memang tidak harus melihatnya langsung, sebab bisa dihitung. Tetapi, untuk mengkonfirmasi apakah benar-benar telah habis, kita juga perlu mengeceknya langsung (Ru'yah).  Di sini lah peran penting dari metode Ru'yah sebagaimana pentingnya peran Hisab.

 Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama telah berupaya mengakomodir kedua metode ini, dengan mempertimbangkan metode Hisab dan mengkonfirmasinya denga Ru'yah. Keputusannya kemudian dimufakatkan melalui Sidang Isbat.

 Bagi kita yang tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang ilmu Hisab atau Ilmu Falak, atau juga tidak mempunyai alat yang canggih untuk melihat bulan secara langsung, seperti teropong bintang misalnya, sikap yang paling aman adalah bersabar menunggu dan mengikuti keputusan Menteri Agama.

Ala kulli hal, umat ini juga perlu dicerdaskan, dengan terbiasa menerima perbedaan. Perbedaan terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Sehingga, kalaupun nanti di penghujung Ramadan atau saat penentuan 1  Syawal ada perbedaan umat ini bisa memahami, tidak gaduh dan saling menghargai. Jangan lagi ada istilah seperti yang pernah ditulis oleh Almarhum Prof. Dja'far Siddik "Gara-gara setitik hilal, rusak lontong sebelanga". Karena ketidakmampuan menerima perbedaan, akhirnya malah menguras tenaga dan menimbulkan kerugian.