Selasa, 28 Februari 2017

Memetik Hiikmah Dari Kunjungan Raja Salman





Ahlan wa sahlan wa marhaban
            Raja Salman, Penguasa dua kota suci Mekkah dan Madinah akhirnya tiba di Indonesia siang ini. Rencananya beliau dan 1500 delegasi lainnya akan berada di bumi pertiwi selama Sembilan hari kedepan. 3 hari akan dihabiskan untuk urusan diplomasi di Jakarta, sedangkan sisanya akan mereka gunakan untuk berlibur di Bali. Dalam lawatannya ini, Raja Salman juga membawa 10 orang Menteri dan 25 pangeran yang sempat viral di media sosial.

            Jauh sebelumnya, pemerintah sibuk menyiapkan pengamanan dan berbagai fasilitas mewah untuk menyambut kedatangan raja Arab itu, beragam respon yang muncul. Ada yang menilai bahwa sambutan yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berlebihan, ada juga yang menganggap memang sudah seharusnya menyambut tamu Negara seperti itu. Semalam, dilakukan wawancara oleh salah satu stasiun televisi swasta beberapa warga Jakarta ada juga yang tidak tau perihal kedatangan Raja Salman.

            Paling tidak ada tiga agenda yang akan dilakukan dari kunjungan Raja Salman. Pertama, menjalin kerjasama bilateral pada sektor perdagangan dan investasi. Kabarnya sekitar 300 T yang akan di investasikan di Indonesia. Kedua, masalah perlindungan TKI juga akan menjadi fokus pembicaraan. Terakhir, penambahan kuota haji bagi Indonesia yang merupakan Negara berpenduduk muslim terbesar didunia yang menurut data terakhir bahwa waiting list (daftar tunggu) haji nya sampai 17 tahun.

            Saya tidak akan mengupas lebih dalam lagi perihal kedatangan Raja Salman. Biarlah itu menjadi urusan orang-orang yang mempunyai kapasitas lebih. Tetapi saya mau kita menangkap sedikit hikmah atau katakanlah semacam ibrah dari kunjungan Raja Tersebut.

            Bagi saya hanya satu, Raja Salman merupakan simbol penguasa Negeri Muslim yang kaya raya. Hal itu juga telah mendapat pengakuan oleh para pemimpin dunia lainnya. Seperti yang dilansir oleh Forbes total kekayaan Raja Salman adalah US$ 18 miliar atau setara dengan  Rp 240 triliun. Luar biasa bukan?. Selain kaya, Raja Salman juga gemar menghibahkan kekayaannya untuk urusan amal.

            Ditengah kesenjangan ekonomi yang hari ini kian nyata, ummat Islam Indonesia perlu berkaca dari kemakmuran Negara Arab Saudi. Ya, kita perlu dan harus menguasai posisi strategis di pemerintahan, begitu juga dengan penguasaan di bidang ekonomi. Kalau mau maju, kalu tidak, silahkan lah berleha-leha dengan meng up date status yang gak penting di berbagai media sosial yang kita punya. Saat ini, semangat bekerja keras dan berkarya kita, terutama generasi Muslim sangat kurang. Liahat saja fakta dilapangan.

            Sepertinya kita lupa bahwa Nabi Muhammad Saw yang kita sebut setiap kali shalat adalah penguasa yang kaya raya. Ketika usia Muhammad 25 Tahun ia sudah mampu memiliki 40 unta dan 80 kuda. Lalu ia pinang Khadijah seorang janda sekaligus bisnis women dengan 20 ekor unta terbaik. Sehebat-hebat kendaraan waktu itu adalah unta. Mungkin, sekarang harga pinangan itu setara dengan mobil Alphard atau Ferari. Baca lagi sejarah.

            Saya tidak ingin mengajarkan kita untuk terlalu cinta pada dunia. Tetapi kerja keras dan semangat berkarya itu penting dan memposisikan zuhud secara proporsional.

Semoga kunjungan Raja Salman ini menyadarkan kita betapa pentingnya sektor ekonomi dan kekuasaan pemerintahan yang harus kita rebut dan kuasai.

Kamis, 23 Februari 2017

Dosa dan Dampaknya



"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang membersihkan dirinya". (Q.S. Al- Baqarah [2]: 222)

"Setiap Anak Adam Berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang segera sadar dan bertobat". (Al-Hadis)

Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Terlepas dari besar kecil, atau banyak sedikitnya kadar dosa tersebut. Yang pasti Redaksi hadis diatas menggunakan istilah "Bani Adam" (anak/keturunan Adam). Jika demikian, maka tidak satupun manusia yg lepas dari dosa dan kesalahan. Termasuk nabi Adam pun dahulu pernah melakukan kesalahan yang mengakibatkan dirinya terusir dari Surga.

Dalam terminologi Alquran banyak sekali padanan kata yang bersinonim dengan dosa. Jumlahnya tidak kurang dari 15 kata. Silahkan lah ditelusuri lebih lanjut ke buku-buku yang terkait.

Pertanyaannya adalah mengapa orang termotivasi untuk melakukan dosa?. Saya kira ada dua penyebabnya:

Pertama, karena pemahaman terhadap definisi dosa itu sangat dangkal.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Dosa diartikan sebagai setiap perbuatan yang melanggar perintah Tuhan/Agama.
Menurut hadis Rasulullah Saw: " Dosa adalah sesuatu yang mengganjal dihati dan engkau tidak mau kalau orang lain mengetahuinya".

Dari dua definisi diatas, terlihat jelas bahwa ruang lingkup dari dosa itu sangat lah luas. Pendek kata, setiap perilaku yang melanggar perintah Tuhan, hati kita merasa tidak nyaman melakukannya dan takut kalau orang lain mengetahuinya. Itulah dosa.

Kedua, karena balasan dari melakukan dosa itu tidak kontan diberikan Allah. Jika setiap kali orang berbuat dosa lalu mendapat balasan yang konkret, misalnya tanda hitam atau jerawat di wajah. Maka kita tidak bisa bayangkan akan bagaimana malunya kita ketika bertemu dengan orang lain. Tapi dengan sifat Ar Rahman dan Ar RahimNya Allah itu tidak terjadi walau segudang penuh dosa yang telah kita lakukan setiap hari.

Sebenarnya, dosa itu walaupun secara lahiriyah tidak nyata balasannya. Tetapi secara batiniya sangat berdampak pada Psikologi manusia.

Menurut Imam Ja'far As-Shadiq bahwa dampak dari terlalu sering melakukan dosa adalah pelakunya diliputi oleh kesedihan yang tiada berakhir, Angan-angan yang tidak tercapai dan Harapan yang tak kunjung datang.
Dalam beberapa hadis Rasulullah menyatakan bahwa dampak dari keseringan melakukan dosa adalah tertutupnya pintu rizki dan dapat menimbulkan penyakit.

Sesungguhnya penyakit yang kita derita, merupakan konsekuensi dari akumulasi dosa-dosa yang telah kita lakukan. Jadi ketika kita sakit, cobalah koreksi kembali, mana tau ada dosa dan kesilapan yang terlanjur kita kerjakan.

Lalu bagaimana cara kita agar terhindar dari dosa? sekali lagi, tidak ada orang yang tidak berdosa diatas bumi Tuhan ini, saya dan kita semua pasti pernah dan akan melakukan dosa, tetapi bagaimana cara kita mengurangi kadar dosa tersebut yang kira-kira bisa dimaklumi orang banyak, dan frekwensi kita melakukannya bisa ditekan dan ditahan semaksimal mungki.

Dengan menyibukkan diri kita mengerjakan hal-hal yang positif, mudah-mudahan kita terhindar dari perbuatan yang tercela. Berada ditempat yang baik dan bergaul dengan orang-orang yang baik akan menutup celah dari kemungkinan seseorang melakukan dosa.

Sabtu, 18 Februari 2017

Tidak Semua Bisa Dibeli






            Pada akhirnya, uanglah yang akan  berbicara[1].  Sebelum terlalu jauh, saya tidak ingin pembaca mengangap saya sebagai pendukung Trump, saya juga tidak ada urusan dengan kemenangannya sebagai presiden USA. Terlepas dari berbagai respon tentang dirinya, yang jelas sebagai orang yang mengemban amanah  itelektual, critical book report perlu kita lakukan yang tujuan akhirnya adalah klarifikasi ilmiah lalu dapat disampaikan dengan tujuan dakwah. Ya, itu saja.
 Ungkapan diatas saya temukan di salah satu buku terjemaha karya Donal Trump beberapa hari yang lalu.  Pada satu sisi ungakapan ini bisa jadi benar, tapi pada sisi yang lain mungkin juga salah karena memang tidak semuanya bisa dihargai dengan uang.
Uang bisa membeli tempat tidur, tapi uang tidak bisa membeli tidur. Saya kira untuk mendapatkan tidur yang nyenyak dengan aneka mimpi yang indah tidak bisa kita pesan dan bayar. Tidur di hotel berbintang lima diatas spring bed tidak lantas menjamin tidur seseorang nyenyak, sementara itu berapa banyak orang yang tidur mendengkur diatas tikar, atau katakanlah orang yang tidur hanya beralaskan ambal masjid tapi mereka sangat menikmati tidurnya. Banyak  ‘abang becak’ yang tertidur pulas diatas becaknya sambil menunggu penumpang datang, atau gelandangan setengah gila yang sering kita jumpai di teras-teras ruko yang kelihatan sangat menikmati tidurnya mereka tidak akan bangun jika tidak diusir oleh pemilik toko.  Dahulu saya ketika aktif di Pramuka, sering kemah tidur di hutan hanya beralaskan matras beratapkan tenda parasut yang sangat tipis, rasanya jauh lebih menyenangkan dibandingkan tidur di kamar sendiri. Cukuplah ini menjadi bukti bahwa tidur tidak bisa dibeli.
Kita teruskan ke contoh lain. Uang hanya bisa membeli makanan, tapi tidak bisa membeli selera. Berapa banyak saudara  kita yang sanggup belanja makanan yang lezat tapi terhambat oleh kolestrol atau darah tinggi yang sedang dideritanya. Banyak yang mapu membeli durian atau kari kambing misalnya, tapi tidak semua bisa menikmati dua makanan lezat itu karena alasan tadi ‘menjaga kesehatan’. Jika demikian adanya, nampaknya beberapa orang yang berduit harus tahan selera. Diantara beberapa restoran yang pernah saya singgahi ternyata cita rasa yang saya temukan tidaklah senikmat rumah makan  yang ada dipinggir-pinggir jalan. Sushi yang di claim sebagai makanan lezat khas dari Jepang ternyata oleh sebahagian orang tidak lah melebihi rasa nasi goreng kampung.  Sekali lagi, ini soal selera dan rasa bukan soal kemampuan kita untuk membelinya.
Ini mungkin contoh terakhir dalam tulisan ini. Uang, hanya bisa membeli obat, tapi tidak bisa membeli sehat. Setahu saya tidak ada dokter yang bisa menjamin bahwa obat x dapat menyembuhkan penyakit y, pun demikian seorang Apoteker juga tidak bisa menjamin bahwa seseorang yang mengkonsumsi obat tertentu bisa  bisa menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya. Betapapun obat yang sangat mahal harganya, akan dikejar orang demi kesehatan. Tapi tidak ada yang bisa dan berani bertransaksi dengan kesehatan. 
Demikianlah seterusnya, ternyata tidak semu hal bisa kita beli dengan materi yang kita punya. Cinta dan iman yang dimiliki oleh setiap orang juga tidak dapat di perdagangkan dan di transaksikan. Karenanya, dia merupkan harta yang paling berharga yang kita punya.


[1] Doanal J. Trump, Seni Bernegosiasi, Jakarta: PT Mitra Media, 2007. h. 47

Kamis, 09 Februari 2017

Menakar Kualifikasi Khatib Jum'at

Menakar Kualifikasi Khatib Jum'at

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana akan melakukan Standarisasi bagi para Khatib Jum'at, standarisasi adalah salah satu nama saja dari beberapa nama lain yang sempat ditawarkan seperti sertifikasi dan kode etik bagi para penyambung lidah Tuhan dimuka bumi itu. Terlepas dari apapun namanya, yang pasti wacana ini tengah menjadi  perbincangan hangat bagi banyak orang akhir-akhir ini.


Khutbah Jum'at yang seharusnya menyampaikan wasiat taqwa, mengajak kepada kebaikan sekaligus melarang orang melakukan kemaksiatan, rupanya mulai beralih menjadi sarana kampanye, menebar kebencian dan mengkritik pemerintahan. Fatalnya, hal tersebut disampaikan secara profokatif. Walaupun kondisi ini tidak bisa serta merta kita generalkan kepada semua masjid yang ada. Tapi paling tidak, pemerintah dan sebagian masyarakat nampaknya mulai resah.


Langkah sertifikasi ini dianggap sangat tepat untuk meningkatkan mutu dan kompetensi para Khatib Jum'at. Pada saat yang sama, kebijakan ini juga dianggap menjadi penghambat dan pembatasan ruang gerak bagi para Khatib Jum'at. Inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang yang belum kunjung selesai hingga hari ini.


Saya khawatir jika ini terjadi, bagaimana dengan nasib para Pendeta dan Biksu serta pemuka agama lainnya? Karena mereka juga bagian dari penduduk Negeri ini. Apakah juga akan diberlakukan hal yang sama?. Wah, nampaknya akan semakin rumit dan akan menambah pekerjaan bagi pemerintah. Bagaimana pula dengan tunjangan sertifikasi guru-guru yang selama ini sering tertunda?. Pastinya kebijakan ini akan memakan biaya yang tidak sedikit.


Hemat saya, semua kita sepakat bahwa peningkatan kompetensi dan kualifikasi Khatib Jum'at merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas ummat. Tentu tidak hanya materi khutbahnya saja, tetapi metode penyampaiannya juga harus diperhatikan.


Pemerintah perlu mengajak duduk bersama para pemeimpin ormas Islam dan MUI untuk merumuskan bersama bagaimana konsep yang akan dibuat. Pro dan kontra yang terjadi hari ini saya kira karena kurangnya komunikasi.


Disamping itu, para khatib juga hendaknya setiap saat melakukan peningkatan kualitas diri mereka melalui membaca dan menggali lebih dalam lagi mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Sehingga mereka bisa menyusun kerangka fikir Khutbah yang lebih kontekstual.