Sabtu, 05 Maret 2016

BELAJAR DARI NEGARA TETANGGA




Dahulu kita pernah belajar peribahasa “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”. Paling tidak pribahasa ini mempunyai dua makna: yang pertama adalah aturan disuatu daerah bisa berbeda dengan daerah lain. Yang kedua setiap negeri atau bangsa berlainan adat kebiasaannya. Perbedaan itu bisa pada budaya akademik, kedisiplinan, tertib menunggu antrian, kuliner dan lain-lain.
Memang benar demikin, bahwa disetiap daerah aturan dan adat kebiasaan yang berlaku sangat berbeda-beda. Misalnya, budaya akademik di Malaysia terlihat lebih baik dari Indonesia. Di Malaysia mahasiswa sangat memanfaatkan perpustakaan sebagai tempat nongkrong favorit untuk membaca buku hingga tengah malam. Jika libur smester digunakan untuk melakukan riset dan pengabdian masyarakat, atau  PKL/magang, tidak ada istilah pulang kampung. Jika memperoleh nilai mata kuliah yang tidak sesuai dengan espektasi mereka akan menyesal, bahkan ada yang sampai bunuh diri. Buang sampah sembarangan dan merokok dikampus adalah hal yang sangat pantang.
Syarat untuk memperoleh gelar guru besar di Malaysia harus melakukan penelitian dan dipublikasikan di jurnal Internasional sebanyak 20 kali. Sangat jauh dari Indonesia yang cukup hanya satu kali saja. Maka wajar, tunjangan gaji professor di Malaysia lebih besar dari Indonesia.
Jika telah menikah namun belum memiliki penghasilan tetap, kerajaan memberikan subsidi tempat tinggal secara Cuma-Cuma selama lima tahun. Pemandangan yang terlihat pada saat macet di jalan raya hampir tidak terdengar suara klakson mobil, mereka antri tertib. Karena  membunyikan klakson termasuk polusi suara.

Lain hal dengan Negara Thailand yang sangat mementingkan ketepatan waktu. Ketika membuat janji atau pertemuan mereka lebih spesifik dan jelas dalam menyertakan waktunya misalkan pukul 08.32  mereka akan datang tepat pada waktunya. Tahiland merupakan Negara yang selalu menjaga dan mempertahankan tradisi dan kebudayaaan lokal seperti busana, bahasa, tulisan huruf alphabet sebagai identitas bangsa. Karena mayoritas beragama budha, maka biksu sangat dimuliakan dan dihormati.
Di Thailand, sinetron remaja tidak selebay di Indonesia, anak-anak sekolah berpakaian wajar, tidak ada kesan norak dari rambut gondrong ala koboi junior disekolah. Rok wanita berada dibawah lutut sedangkan seragam pria dimasukkan. Konflik dalam serial rama di Thailand tentang persahabatan, impian atau cinta remaja dengan konteks penyelesaian yang wajar.
Begitu pula soal makanan yang halal, sangat mudah membedakannya, tertulis jelas muslim food, atau halal food. Sajian makanan banyak menggunakan bahan mentah sebagai menu tambahan, kangkung, daun ubi, kol, kacang panjang dan manga muda sering disandingkan dengan menu makanan lainnya sebagai lalapan. Terasa aneh namun inilah kuliner yang jamak terlihat.
Tidak ada musim durian di Thailand, setiap bulan telah disetting ladang yang akan memproduksi  durian, tentu dengan menggunakan teknologi pertanian yang canggih. Jadi kapan saja jika kepingin makan durian pasti ada.

Saya tidak akan perpanjang lagi, tidak ada maksud untuk membandingkan apalagi merendahkan bangsa sendiri. Ini hanya catatan kecil yang saya peroleh dari kunjungan ke Malasyia dan Thailand beberapa waktu yang lalu. Paling tidak kita dapat belajar hal positif yang mungkin bisa diterapkan.
Semoga.