Selasa, 15 Maret 2016

Tasawuf: Dekat dengan Allah




Tasawuf: Dekat dengan Allah

Mari sejenak kita berilustrasi,  

“Andai kita dekat dengan lurah, maka semua urusan administratif dikelurahan akan gampang, e-KTP, Kartu Keluarga dalam hitungan menit bisa selesai ditempat.heheh… bukan mengada-ada ini fakta. Andai kita dekat dengan Walikota, maka semua urusan yang berkaitan ditingkat kota akan mudah terselesaikan, bahkan tak hanya itu saja sejumlah program dan proyek kita akan ikut ‘kecipratan’. Lebih jauh lagi, andai kita kenal dekat dengan bapak presiden Jokowi, mungkin kita sudah diangkat jadi menteri, walau tidak terlalu memiliki kualifikasi yang memadai”.

 Sudahlah tak perlu diteruskan lagi. Saya hanya ingin sampaikan bahwa betapa pentingnya kedekatan dengan seseorang, membangun relasi dan menjaga pertemanan dengan tulus ikhlas.

Untuk bisa dekat dengan manusia tentu kita harus menjaga silaturrahim secara intensif, sering ketemu dan saling membantu atau melakukan hal-hal yang memungkinkan menarik simpati manusia.

Lalau bagaimana agar dekat dengan Allah?

Menurut kaum sufi, langkah awal untuk dapat dekat dengan Allah adalah mensucikan jiwa dengan cara menguasai dan mengontrol hawa nafsu. Bahkan dalam salah satu pendapat yang ekstrim hamwa nafsu itu harus ditekan sampai titik terrendah, bila memungkinkan mematikan hawa nafsu itu sama sekali. Terlalu berat memang. Tetapi kita bisa berlatih melalui tahapan-tahapan berikut:

1.      Mengosongkan diri dari segala sifat tercela, Dosa dan kemaksiatan (Takhalli)
2.      Menghiasi diri dengan sifat terpuji (Tahalli)
3.      Merasakan kedekatan dengan Allah dengan sebenar-benarnya (Tajalli)

Hal ini dapat diibaratkan ketika kita hendak menanam padi di sawah, maka langkah pertama yang harus kita lkukan adalah membersihkan lahan terlebih dahulu dari segala rumput dan hama yang dapat mengganggu pertumbuhan padi yang akan kita tanam, setelah lahan bersih barulah kita bisa menanam dengan benih/bibit yang terbaik, untuk kemudian memetik hasilnya pada waktu yang tepat.

Memang sangat sulit melalui latihan ini, lebih sulit dari latihan militer. Tetapi kalau kita berusaha dan konsisten pasti bisa. Dekat dengan manusia (yang kita kasihi) saja butuh proses dan pengorbanan yang panjang,bahkan waktu yang cukup lama. Apa lagi dekat dengan Allah. Tentu class nya berbeda.

Kalau dekat dengan manusia saja dapat menjadikan hati kita senang dan urusan serba gampang, konon lagi dekat dengan Allah yang maha segalanya. Tinggal bilang, mau apa?. Pasti diberi. Kadang walau tak rasional dan tak mungkin pasti akan di berikan Allah, dengan syarat kita harus betul-betul dekat denganNya.   

PUBLIKASI ILMIAH





PUBLIKASI ILMIAH*
Oleh: Dedi Sahputra Napitupulu**


Selain membaca 300 halaman perhari, mahasiswa sebenarnya dituntut untuk melakukan penelitian ilmiah paling tidak dalam skala kecil (mini research) dan mempublishnya di jurnal Lokal, Nasional dan Internasional. Meneliti merupakan pekerjaan yang menyenangkan dan seharusnya akrab dikalangan para ilmuan khususnya bagi mahasiswa. Jika perpustakaan merupakan jantungnya Perguruan Tinggi maka Riset merupakan darahnya. Itulah mengapa muncul surat edaran dikti No. 152/E/T/2012 tentang wajib menulis dijurnal ilmiah, bagi yang akan lulus S1 harus membuat makalah di jurnal ilmiah, S2 wajib membuat publikasi ilmiah di Jurnal Nasional yang ter akreditasi. Sedangkan untuk lulus S3 harus membuat karya Ilmiah pada Jurnal Internasional.

Secara filosofi dan psikologi, orang yang hoby meneliti memiliki prinsip dan kepribadian yang lebi baik dari lainnya. Mengapa?. Meneliti akan menjadikan seseorang selektif terhadap berita/kabar  yang sedang beredar.  Orang yang suka melakukan penelitian tidak akan cepat termakan isu, atau tidak mudah terprovokasi oleh kabar burung. Jika ada suatu berita, maka bagi seorang peneliti sejati akan mengumpulkan data dan fakta terlebih dahulu baru mengambil kesimpulan untuk kemudian menentukan sikap.  Saya kira ini lah yang kurang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi saat ini. akibatnya, banyak demo-demo yang tujuannya untuk kepentingan sepihak saja, disampaikan berbalut anarkis dengan menggunakan bahasa yang kurang santun dalam menyampaikan aspirasinya.

Menurut data SCImago Journal and Rank (SJR) dari 239 Negara Indonesia berada di posisi ke-61 dengan jumlah publikasi ilmiah 25.481. kalah jauh dari Negara tetangga  ASEAN seperti Malaysia yang menempati  urutan ke-37 dengan jumlah publikasi karya  ilmiah 125.084, Singapura yang berada di  peringkat ke-32 dengan jumlah publikasi  171.037, dan Thailand pada peringkat ke-43 dengan jumlah publikasi 95.690. Tiga Negara  paling produktif menerbitkan karya-karya  ilmiah, yaitu untuk peringat ke-1 diduduki  oleh Amerika Serikat dengan jumlah publikasi  karya ilmiah 7.846.972, peringkat ke-2  adalah Tiongkok (China) dengan jumlah  publikasi 3.129.719, dan peringkat ke-3 yakni Inggris dengan jumlah publikasi 2.141.375.

Gambaran tersebut secara tidak langsung menunjukkan seberapa maju suatu negara karena karya ilmiah berbanding lurus dengan penemuan, inovasi dan pembaruan dalam berbagai khazanah baik ilmu pengetahuan itu sendiri, keperluan industri informasi dan teknologi serta bahasa dan sosial budaya yang mendorong daya saing, kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa. Melimpahnya kekayaan alam suatu negara tiada artinya tanpa ada penelitian ilmiah untuk merekayasa dan menciptakan produk bernilai tambah. Faktor-faktor tersebut menciptakan  ketidak mandirian negara-negara yang kontribusi ilmuwannya rendah.

Sangat sulit untuk mengurai apa penyebab dari minimnya publikasi ilmiah di Indonesia. Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar ahli di bidang penelitian, Minimnya penghargaan bagi para peneliti yang mampu lolos ke jurnal Internasional, Dana riset yang mahal dan fasilitas yang belum memadai serta kemampuan berbahasa Inggris yang baik, ditambah lagi dengan perguruan tinggi yang lebih cenderung sekedar mengajar, ujian dan lulus (teaching university) tanpa mempertimbangkan output kualitas mahasiswa dan kualitas hasil karya ilmiah. Penelitian hanya menjadi syarat kelulusan ala kadarnya belum menjadi persyaratan yang serius. Saya kira sudah cukup menjadi faktor penyebabnya.

Jalan keluarnya adalah memulainya dengan menerapkan dan memaksimalkan output belajar yang sebenarnya sudah harus dimulai dari tingkat Sekolah Menengah Atas terlebih lagi bagi Perguruan Tinggi yaitu: setiap kali belajar harus menghasilkan mini research, critical book report, merekayasa ide dan goal yang paling penting adalah bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang bernuansa kejujuran. Kemudian membuat resume menggunakan bahasa sendiri (esay) serta berusaha mempublikasikannya. Untuk tahap awal boleh saja di media yang sederhana seperti Koran, majalah kampus, atau blog pribadi.
Semoga



* Disampaikan Pada Diskusi Publikasi  Ilmiah HMJ PAI UIN Sumatera Utara Medan. Selasa, 15 Maret 2016
**  Pemateri adalah Mahasiswa Sem. VIII PAI-1