Sabtu, 10 September 2016

QURBAN DALAM KONTEKS KEKINIAN



QURBAN DALAM KONTEKS KEKINIAN
Oleh: Dedi Sahputra Napitupulu, S. Pd.I

(Disampaikan pada Khutbah Idul Adha 12 September 2016 M/10 Dzulhijjah 1437 M
di Masjid Istiqlal Kabanjahe)




Assalamu’alaikum wr. wb

            Nabi  Ibrahim as. telah lama menginginkan seorang anak, tahukah saudara bahwa Nabi Ibrahim  menanti  putera kesayangannya Ismail as. selama 86 tahun, selama itu pula Ibrahim selalu berdoa  رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (Tuhan, karuniakanlah kepada ku anak yang shaleh). Kalau kita mau mengambil pelajaran dari sini bahwa seorang Nabi sekelas Ibrahim pun tidak serta merta di kabulkan Allah doanya, padahal beliau dikenal dengan Khalilullah (kekasih Allah) apatah lagi kita manusia biasa seperti kita-kita ini yang penuh dengan salah dan dosa?. Jadi untuk mendapatkan impian, cita-cita tidak lah semudah membalikkan telapak tangan, butuh restu dari Allah dan tentunya usaha yang kita lakukan harus maksimal. 


            Nabi Ibrahim diperkirakan hidup pada tahun 1686 SM, jika dihitung sampai hari ini, 1686 ditambah 2016 maka genap lah 3702 tahun. Jadi peristiwa Ibrahim mengorban kan anak nya Ismail bukan sehari dua hari, tapi sudah ribuan tahun yang lalu. Hari ini Allah tidak meminta anak kita, Allah Cuma meminta anak kambing kita. Allah tidak meminta untuk menyembelih anak kita, Allah hanya minta menyembelih kambing atau lembu kongsi untuk tujuh orang.


            Suatu ketika Nabi Ibrahim menyembelih 100 ekor unta untuk menjamu makan tetangganya, lebihnya dibagikan kepada saudara-saudaranya. Melihat kedermawanan Ibrahim ini ada orang yang memuji kebaikannya, ketika itu berkatalah Ibrahim; “Cintaku kepada Allah melebihi segala yang kumiliki. Rahmat yang diberikan Allah belum sebanding dengan yang kulakukan ini. Jangankan unta-unta ini, anak pun kalau aku punya disuruh sembelih akan ku sembelih kata Ibrahim”. 


            Akhirnya setelah lama menanti, Allah mengaruniakan Ismail putra yang tampan dan shaleh kepadanya. Tapi tatkala Ismail sedang lucu-lucunya, Nabi Ibrahim bermimpi pada malam ke-8 Dzulhijjah, dalam mimpinya beliau mendengar; “Hai Ibrahim, tunaikan Nazarmu!...”. Pada pagi harinya Nabi Ibrahim merenung tentang kebenaran mimpi itu, apakah benar dari Allah atau hanya bisikan setan. Dari sini kemudian dikenal tanggal 8 Dzulhijjah dengan hari Tarwiyah (hari berfikir-fikir). Esok malamnya beliau bermimpi sama seperti mimpi sebelumnya, pagi harinya barulah dia mengetahui bahwa mimpi itu memang benar-benar dari Allah. dari sinilah kemudian dikenal pada tanggal 9 Dzulhijjah adalah hari Arafah (mengetahui). Disunnahkan bagi kita untuk melaksanakan puasa pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. 


 Pada malam berikutnya Nabi Ibrahim juga bermimpi sama sebagaimana pada malam sebelumya, akan tetapi pada mimpi itu ada seruan dari Allah agar Ibrahim menyembelih putranya Ismail. Keesokan harinya tanggal 10 Dzulhijjah barulah beliau melaksanakan perintah Allah yaitu menyembelih Ismail hingga Ismail diganti dengan seekor kibas. Dari sini kemudian dikenal dengan nama Yaumun Nahar (Hari penyembelihan).


            Sebelum melakukan penyembelihan, Nabi Ibrahim terlebih dahulu berdiskusi dengan anaknya untuk meminta pendapat. Didalam Al-Qur’an surah Ash-shafaat:102 dijelaskan:


يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ


Artinya: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".


Ayat ini mengisyaratkan kepada kita selaku anak, bahwa ketaatan kepada orang tua wajib meskipun diluar akal. Sayangnya hari ini perintah orang tua yang masuk akal sekalipun sering dibantah oleh anak-anak kita. ada apa dengan dua orang yang berakal hari ini? anak-anak kita susah sekali diatur. Sebagai orang tua kita diajarkan untuk selalu berdiskusi dengan anak. tanyakan pada mereka belajar apa tadi disekolah nak? bagaimana perkembangan pelajaran disekolah, cek sholatnya, penuh atau bolong-bolong?.
Dengan demikian anak kita akan merasa bahwa kita orang tua peduli dengan mereka dan senantiasa selalu berada dibawah pengawasan kita.


Saya tidak akan melanjutkan lagi bagaimana kisah Nabi Ibrahim ini, karena bisa kita baca masing-masing dibuku Qashasul Anbiya misalnya. 


            Ada dua sifat Nabi Ibrahim yang perlu kita teladani, dalam Alquran surah Ali-Imran: 67 dijelaskan:


مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ


Artinya: Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.


Dua sifat Nabi Ibrahim itu adalah Hanifan dan Musliman. Hanif berarti condong, cenderung. Nabi Ibrahim condong kepada perintah Allah, oleh karena itu apapun yang diperintahkan Allah dia siap melaksanakannya. Sedangkan Musliman memiliki makna berserah diri. Inilah dua sifat yang hendak kita tiru dari Nabi Ibrahim.


            Terakhir, melalui semangat berqurban mari kita saling berbagi, perlu kita evaluasi lagi bagaimana mekanisme pendistribusian daging qurban yang sebentar lagi akan kita laksanakan. Jangan sor sendiri, kalau di komplek ini sudah cukup, salurkan kedaerah lain yang memang membutuhkan. Kasihan mereka, mereka juga kepingin merasakan olahan daging qurban itu. Bukan dibagi rata, tapi perhatikan sesuai jumlah mereka.


            Mudah-mudahan kita dapat meneladani sifat Nabi Ibrahim dan Ismail as. semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita, meluaskan rejeki kita, sehingga dapat melaksanakan Ibadah Haji pada tahun yang akan datang dan bisa melaksanakan Qurban. Amin


Wassalamu’alaikum wr. wb