QURBAN DALAM
KONTEKS KEKINIAN
Oleh: Dedi
Sahputra Napitupulu, S. Pd.I
(Disampaikan
pada Khutbah Idul Adha 12 September 2016 M/10 Dzulhijjah 1437 M
di Masjid
Istiqlal Kabanjahe)
Assalamu’alaikum
wr. wb
Nabi
Ibrahim as. telah lama menginginkan seorang anak, tahukah saudara bahwa
Nabi Ibrahim menanti putera kesayangannya Ismail as. selama 86
tahun, selama itu pula Ibrahim selalu berdoa
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (Tuhan, karuniakanlah kepada ku anak
yang shaleh). Kalau kita mau mengambil pelajaran dari sini bahwa seorang Nabi
sekelas Ibrahim pun tidak serta merta di kabulkan Allah doanya, padahal beliau
dikenal dengan Khalilullah (kekasih
Allah) apatah lagi kita manusia biasa seperti kita-kita ini yang penuh dengan
salah dan dosa?. Jadi untuk mendapatkan impian, cita-cita tidak lah semudah
membalikkan telapak tangan, butuh restu dari Allah dan tentunya usaha yang kita
lakukan harus maksimal.
Nabi Ibrahim diperkirakan hidup pada
tahun 1686 SM, jika dihitung sampai hari ini, 1686 ditambah 2016 maka genap lah
3702 tahun. Jadi peristiwa Ibrahim mengorban kan anak nya Ismail bukan sehari
dua hari, tapi sudah ribuan tahun yang lalu. Hari ini Allah tidak meminta anak
kita, Allah Cuma meminta anak kambing kita. Allah tidak meminta untuk
menyembelih anak kita, Allah hanya minta menyembelih kambing atau lembu kongsi
untuk tujuh orang.
Suatu ketika Nabi Ibrahim
menyembelih 100 ekor unta untuk menjamu makan tetangganya, lebihnya dibagikan
kepada saudara-saudaranya. Melihat kedermawanan Ibrahim ini ada orang yang
memuji kebaikannya, ketika itu berkatalah Ibrahim; “Cintaku kepada Allah melebihi segala yang kumiliki. Rahmat yang
diberikan Allah belum sebanding dengan yang kulakukan ini. Jangankan unta-unta
ini, anak pun kalau aku punya disuruh sembelih akan ku sembelih kata Ibrahim”.
Akhirnya setelah lama menanti, Allah
mengaruniakan Ismail putra yang tampan dan shaleh kepadanya. Tapi tatkala
Ismail sedang lucu-lucunya, Nabi Ibrahim bermimpi pada malam ke-8 Dzulhijjah,
dalam mimpinya beliau mendengar; “Hai
Ibrahim, tunaikan Nazarmu!...”. Pada pagi harinya Nabi Ibrahim merenung
tentang kebenaran mimpi itu, apakah benar dari Allah atau hanya bisikan setan.
Dari sini kemudian dikenal tanggal 8 Dzulhijjah dengan hari Tarwiyah (hari berfikir-fikir). Esok malamnya beliau bermimpi sama
seperti mimpi sebelumnya, pagi harinya barulah dia mengetahui bahwa mimpi itu
memang benar-benar dari Allah. dari sinilah kemudian dikenal pada tanggal 9
Dzulhijjah adalah hari Arafah
(mengetahui). Disunnahkan bagi kita untuk melaksanakan puasa pada tanggal 8 dan
9 Dzulhijjah.
Pada malam berikutnya Nabi Ibrahim juga
bermimpi sama sebagaimana pada malam sebelumya, akan tetapi pada mimpi itu ada
seruan dari Allah agar Ibrahim menyembelih putranya Ismail. Keesokan harinya
tanggal 10 Dzulhijjah barulah beliau melaksanakan perintah Allah yaitu menyembelih
Ismail hingga Ismail diganti dengan seekor kibas. Dari sini kemudian dikenal dengan nama Yaumun Nahar (Hari penyembelihan).
Sebelum melakukan penyembelihan,
Nabi Ibrahim terlebih dahulu berdiskusi dengan anaknya untuk meminta pendapat.
Didalam Al-Qur’an surah Ash-shafaat:102 dijelaskan:
يَابُنَيَّ
إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ
يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ
الصَّابِرِينَ
Artinya: "Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah
apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar".
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita selaku anak, bahwa ketaatan
kepada orang tua wajib meskipun diluar akal. Sayangnya hari ini perintah orang
tua yang masuk akal sekalipun sering dibantah oleh anak-anak kita. ada apa
dengan dua orang yang berakal hari ini? anak-anak kita susah sekali diatur.
Sebagai orang tua kita diajarkan untuk selalu berdiskusi dengan anak. tanyakan
pada mereka belajar apa tadi disekolah nak? bagaimana perkembangan pelajaran
disekolah, cek sholatnya, penuh atau bolong-bolong?.
Dengan demikian anak kita akan merasa bahwa kita orang tua peduli
dengan mereka dan senantiasa selalu berada dibawah pengawasan kita.
Saya tidak akan melanjutkan lagi bagaimana kisah Nabi Ibrahim ini,
karena bisa kita baca masing-masing dibuku
Qashasul Anbiya misalnya.
Ada dua sifat
Nabi Ibrahim yang perlu kita teladani, dalam Alquran surah Ali-Imran: 67
dijelaskan:
مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيًّا
وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَكِنْ كَانَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
Artinya: Ibrahim bukan
seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia
termasuk golongan orang-orang musyrik.
Dua sifat Nabi Ibrahim itu adalah Hanifan dan Musliman.
Hanif berarti condong, cenderung. Nabi Ibrahim condong kepada perintah Allah,
oleh karena itu apapun yang diperintahkan Allah dia siap melaksanakannya.
Sedangkan Musliman memiliki makna berserah diri. Inilah dua sifat yang hendak
kita tiru dari Nabi Ibrahim.
Terakhir, melalui
semangat berqurban mari kita saling berbagi, perlu kita evaluasi lagi bagaimana
mekanisme pendistribusian daging qurban yang sebentar lagi akan kita
laksanakan. Jangan sor sendiri, kalau
di komplek ini sudah cukup, salurkan kedaerah lain yang memang membutuhkan.
Kasihan mereka, mereka juga kepingin merasakan olahan daging qurban itu. Bukan
dibagi rata, tapi perhatikan sesuai jumlah mereka.
Mudah-mudahan kita dapat meneladani
sifat Nabi Ibrahim dan Ismail as. semoga Allah memberikan kesempatan kepada
kita, meluaskan rejeki kita, sehingga dapat melaksanakan Ibadah Haji pada tahun
yang akan datang dan bisa melaksanakan Qurban. Amin
Wassalamu’alaikum wr. wb