Jumat, 21 Desember 2018

Madrasah Ramah Lingkungan



Madrasah Ramah Lingkungan

Sepanjang pengetahuan saya,  belum ada buku yang berjudul "Madrasah Ramah Lingkungan". Akan tetapi pembahasan tentang topik ini sesungguhnya bertebaran dalam sekian banyak jurnal ilmiah. 

Isu mengenai lingkungan memang tidak terlalu populer jika dibandingkan dengam isu politik, ekonomi,  toleransi,  terorisme , dan isu lainnya. Perhatian mengenai lingkungan baru mencuat ke permukaan manakala terjadi bencana alam.  Salah satu upaya untuk mengatasi persoalan lingkungan yang semakin krisis adalah melalui integrasi lembaga pendidikan Islam (Madrasah)  dan lingkungan.  

Bagaimana konsep dan aktualisasinya? Semuanya telah tertuang di dalam buku ini. 

Penulis: Dedi Sahputra Napitupulu,  M. Pd
Editor: Oda Kinanta Banurea,  M. Pd
Penerbit: CV.  Widya Puspita
Cetakan Pertama: Oktober,  2018
ISBN: 978-602-52819-6-9

Jumat, 02 Februari 2018

GURU BUDI DAN KARTU KUNING PAK JOKOWI



Sejak kemarin sampai hari ini, media massa dibanjiri atau lebih tepatnya didominasi oleh dua topik pemberitaan yang menggemparkan sekaligus berhasil mengerutkan dahi banyak orang.

Berita pertama datang dari Universitas Indonesia (UI), Peristiwa tak terduga tersebut datang pada saat Presiden Jokowi memberikan pidato di acara Dies Natalis UI ke-68. Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa mengacungkan kartu kuning kepada Pak Presiden. Walaupun Presiden tidak merasa tersinggung atas insiden tersebut, tetapi yang bersangkutan kini telah diamankan oleh Paspampres.

Adalah Ahmad Budi Cahyono, seorang Guru Seni Rupa di SMA Negeri 1 Torjun, Kabupaten Sampang, Madura meninggal dunia karena diduga telah dianiaya oleh muridnya sendiri. Kejadian berawal ketika proses belajar mengajar di ruang kelas XI materi seni lukis. Alih-alih fokus mengikuti pelajaran, pelaku justeru mengganggu dan mencoret lukisan teman-temannya. melihat kejadian itu, Pak Budi menegur pelaku namun karena tidak terima, pelaku memukul korban. Hingga akhirnya meninggal dunia.

Menuduh kemudian menghakimi siapa yang salah merupakan bagian yang paling tidak enak. Apalagi hanya melihat kasus ini secara parsial. Ada lebih dari 1001 komentar yang berkeliaran. Banyak yang salut atas keberanian para pelaku, ada yang mengkritik, tapi tidak sedikit pula yang menghujat.

Untuk kasus di UI, banyak yang memuji aksi ketua BEM tersebut. Sangking ekstrimnya ada pula yang menganggap hal tersebut sebagai resiko dari sebuah Negara Demokrasi. Walaupun dari sudut etika dan sopan santun tetap saja melanggar.

Adapun kasus guru Budi, kelihatannya mayoritas, untuk tidak mengatakan semua komentar bernada membully dan menghujat HI sebagai pelaku. Bagaimana mungkin seorang guru yang konon gajinya hanya 600 ribu harus meregang nyawa di tangan siswanya sendiri.

Lepas dari itu semua, mari kita mencari titik temu dari dua kasus ini. Secara personal, saya melihat kasus ini sebagai sebuah peringatan keras bagi dunia Demokrasi dan Pendidikan kita.

Dalam dunia sepak bola, kartu kuning diberikan oleh wasit kepada pemain yang melakukan pelanggaran. Jika pelanggaran tersebut lebih serius, atau dilakukan dua kali dalam kadar yang sama, maka yang bersangkutan akan diberikan kartu merah dan itu artinya pemain harus rela meninggalkan lapangan permainan.

Untuk tidak mengatakan bahwa pemerintahan kita telah melakukan pelanggaran, kelihatannya sinyal itu mulai tertangkap. Kesenjangan ekonomi, pemberantasan korupsi dan ketidak adilan lainnya menjadi indikasi bahwa pemerintah sebenarya sedang mendapat peringatan keras.

Sebagai seorang guru, tentu saya juga ikut merasa sedih, bahkan mengutuk keras peristiwa pemukulan guru yang berujung pada maut tersebut. Tetapi untuk tidak melihat pada satu sisi saja, nampaknya tragedi ini juga harus menjadi peringatan keras bagi para guru. Sifat arogan, merasa paling pintar dan berkuasa dalam segala hal dan ketidakmampuannya mengelola kelas serta merencanakan pembelajaran dengan baik perlu menjadi perhatian. “Boleh jadi” apa yang terjadi semalam merupakan koreksi bagi guru yang kurang cakap dalam menjalankan tugasnya.

Sama sekali tidak ada maksud untuk membela pelaku, tetapi marilah kita berpikir jernih tanpa emosi.

Analisa sederhana ini hanyalah satu kemungkinan dari banyak kemungkinan lainnya. Mudah-mudahan kita semua bisa lebih baik kedepannya.


Semoga.

Rabu, 24 Januari 2018

Tipologi Anak Dalam Pandangan Alquran


            Seseorang datang kepadaku dan mengeluh, karena pada usia pernikahannya yang terbilang cukup lama tetapi belum juga dikaruniai anak. Tidak lama kemudian seorang ibu yang kebetulan adalah tetanggaku datang dan mengeluh karena kehabisan cara untuk mendidik anaknya yang konon kabarnya memiliki tingkat kenakalan di atas rata-rata.

Ada orang yang sudah lama menikah namun belum mempunyai anak, ada juga orang yang belum menikah tapi sudah di beri anak sebagai akibat dari perbuatan kejinya. Ada orang yang sangat kepingin sekali punya anak, ada juga orang yang sudah punya anak namun tega membunuhnya. Ada orang yang menanti-nantikan kehadiran seorang anak, ada orang yang mengeluh ketika sudah diberi anak karena susah mendidiknya. Demikian seterusnya dengan dengan berbagai variabel lainnya. Bahwa persoalan anak memang sangat pelik dan berliku.

Sebagai kitab suci yang universal, Alquran menerangkan tentang bagaimana sesungguhnya konsep anak. Kadang kala anak bisa menjadi ujian, suatu saat anak juga merupakan perhiasan, pada kondisi tertentu anak juga dapat menjadi penyejuk mata, dan tidak jarang juga beberapa anak yang malah menjadi musuh kedua orang tuanya. Setiadaknya ada empat ayat yang menerangkan tentang posisi dan tipologi anak yang tersebar dalam variasi surah yang berbeda.

Anak terkadang dapat menjadi fitnah (ujian), anak akan menjadi ujian yang nyata bagi kedua orang tuanya, kedua orang tuanya baru dikatakan lulus ujian manakala dia berhasil mendidik anaknya menjadi baik, mapan secara intlektual dan kaya dalam urusan spiritual. Berapa banyak orang tua yang stress akibat ulah anak-anaknya, orang tua harus mengerutkan dahi disebabkan pusing memikirkan bagaimana cara mendidiknya, demikian juga berapa banyak orang tua yang harus menanggung malu akibat perbuatan anaknya. Sekali lagi, anak memamang merupakan anugerah namun pada saat yang sama dia bisa menjadi ujian bagi orang tuaya. Di dalam Alquran telah dijelaskan:

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. (Q.S. Al-Anfal/8: 28).

Kelak suatu saat anak juga akan menjadi perhiasan hidup bagi kedua orang tuanya. Layaknya seperti perhiasan, anak akan memancarkan cahaya kemilauan,  karenanya dia akan menjadi harta kesayangan yang paling berharga bagi kedua orang tuanya. Anak-anak seperti ini adalah mereka-mereka yang saleh/shaleha dan berhasil mengukir prestasi dalam berbagai bidang serta selalu menjaga nama baik keluarganya dimanapun ia berada. Di dalam Alquran telah dijelaskan:

 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”. (Q.S. Al-Kahfi/18: 46).

Pada kondisi tertentu anak akan menjadi penyejuk mata bagi orang tuanya dan bagi siapa saja yang melihatnya. Bukankah semua orang suka melihat anak bayi yang lucu nan cantik?. Ketika kedua orang tuanya seharian bekerja, lalu pada sore atau malam hari mereka pulang dengan perasaan lelah, semua beban itu akan sirna ketika melihat sang buah hati yang berlari menyambut kedatangannya. Alquran juga telah menjelaskan hal ini, sebagaimana disela-sela doa yang selalu kita panjatkan:
“Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Furqan/25: 74).

Tetapi tidak jarang pula anak itu akan menjadi musuh bagi kedua orang tuanya, belakangan ini sangat banyak sekali kasus pembunuhan yang dilakukan oleh anak kepada orang tuanya hanya karena hasrat ingin menguasai harta yang sebenarnya tidaklah seberapa. Anak akan menjadi musuh bagi kedua orang tua sebagai akibat dari kelalaian dalam mendidiknya. Alquran secara tegas sebenarnya telah mengingatkan kita:

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. At-Taghabun/64: 14).

Bukankah catatan sejarah telah memperingatkan kita tentang anak yang menjadi musuh bagi orang tuanya? Anak nabi Nuh as., si Kan’an namanya, dengan sifat arogan tidak mau mengikuti perintah ayahnya untuk beriman kepada Allah swt. Dia juga tidak mau ikut naik kapal bersama ayahnya padahal tanda-tanda musibah banjir sudah terlihat.

Demikianlah beberapa uraianan penting Alquran mengenai tipologi anak, jika kita cermati ternyata Alquran sangat netral dalam mengklasifikasikan anak, dua dalam bentuk yang positif (sebagai perhiasan dan penyejuk mata), sementara dua yang satu lagi dalam bentuk negatif (sebagai ujian dan musuh). Ini berarti bahwa sifat anak itu sangat fleksibel tergantung kelihaian orang tua dalam mendidiknya. Allah memberikan kita kebebasan untuk membentuk karakter anak kita masing-masing. Terserah. Mau dijadikan ujian, musuh, perhiasan atau penyejuk mata.