Rabu, 31 Mei 2017

KEMBALIKAN MAKNA PANCASILA






Selama ini di depan kami
Terus kalian singkat-singkat pancasila
Karena kalian takut ketauan

Sila-sila yang kalian maksud
Sila-sila yang kalian anut
Tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
Kepentiangan-kepentingan sempit sesaat
Telah terlalu jauh menyeret kalian

Makna pancasila kalian pun selama ini adalah:
KESESATAN YANG MAHA PERKASA
KEBINATANGAN YANG DEGIL DAN BERADAB
PERSETERUAN INDONESIA
KEKUASAAN YANG DIPIMPIN OLEH NIKMAT KEPENTINGAN
DALAM KEKERABATAN/PERKAWANAN
KELALIMAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Dan sorga kamipun menjadi neraka

Di depan dunia
Ibu pertiwi menangis memilukan
Merah putihnya di cabik-cabik
Anak-anaknya sendiri bagai serigala
Menjarah dan memperkosanya

O, Gusti kebiadaban apa ini?
O, azab apa ini?

Gusti,
Sampai memohon ampun kepada Mu pun kami tak berani lagi

(K.H.A. Mustofa Bisri, 1998)


            Adalah sangat disayangkan bahwa belakangan ini banyak kelompok-kelompok yang tidak bertanggugjawab ingin mengganti ideologi pancasila dengan konsep lain. Mereka berdalih bahwa selama tujuh puluh tahun lebih Indonesia merdeka, dan sudah setua itu pula pancasila dijadikan dasar Negara belum mampu menyahuti keadilan bagi seluruh masyarakat, bahkan keadilan itu sendiri di injak-injak. Kalau kita kembali kepada sejarah, ini bukanlah hal yang aneh dan sesuatu yang baru, sehari setelah pancasila selesai di konsep, maka dari sekelompok orang memprotes kesepakatan tersebut agar di rubah menjadi lebih pluralis dan bisa mewakili semua suku bangsa yang ada di tanah air. Akhirnya dengan kearifan para founding fathers Bangsa ini bisa mengakomodir berbagai perbedaan-perbedaan tersebut.

            Pancasila sebenarnya merupakan konsep yang ideal sesuai dengan tipologi orang Indonesia dan telah pula menjadi dasar Negara yang baku, karenanya tidak pantas jika ada yang berkenan merubahnya. Tetapi kita harus akui juga bahwa masih banyak sila yang dikangkangi secara terang-terangan, masalah keadilan misalnya, yang hanya tajam kebawah tapi tumpul keatas, lengkapnya masalah-masalah yang dimaksud ada pada bait-bait puisi diatas. Jadi bukan pancasilanya yang salah dan harus di rubah, tetapi orang yang berwenag menerapkan pancasila itu yang harus di rubah dan berubah.

            Sama halnya dengan puasa, pada tataran ideal puasa seharusnya mampu menjadi benteng, menahan diri dari berbagai tindakan-tindakan yang tidak dan kurang terpuji, tetapi pada tataran faktual banyak juga kita saksikan bahwa puasanya tersebut tidak berdampak apa-apa, justru malah menjadikannya modus untuk melakukan kejahatan. Hadir kemesjid dengan tujuan mencuri misalnya. Jadi sekali lagi, bukan puasanya yang salah, tetapi orang yang melaksanakannya yang kurang memahami esensi dari puasa itu.



Selasa, 30 Mei 2017

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Yang Harus Bagaimana





             
Silahkan baca salah satu puisi terbaik karya KH. Mustofa Bisri di bawah ini dengan seksama. Hayati, pahami kemudian renungkan.


Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihku untuk segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Kau suruh aku maju, aku maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja, kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum,kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memangil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusaknya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternaatif kau bilang aku mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaiman



                                                                        Gus Mus
                                                                        -1987-



            Saya jadi teringat dengan ungkapan Abdullah Quilliam, beliau sering disebut sebagai Muslim pertama di Inggris dan Dialah yang sangat getol menyebarkan Islam di markas Liverpool, kira-kira begini ungkapannya: “sebagian orang terlalu banyak omong. Apa yang diceramahkannya satu jam jauh lebih banyak dari apa yang ia telah amalkan sepanjang hidupnya”. Sebagai seorang Da’i, jujur saja saya ikut tersinggung. Tetapi bila di renungkan lebih jauh, maka ungkapan diatas ada benarnya juga. Bahwa budaya oral selama ini jauh lebih di minati dan kita nikmati daripada budaya tulis-menulis apalagi untuk sampai kepada budaya kerja nyata. Puisi diatas ingin mengingatkan kepada kita bahwa, apa yang kita katakan idealnya sesuai dengan apa yang kita lakukan. Alquran juga telah mengecam kepada siapa saja yang hanya pandai mengatakan tapi tidak mau melakukan (QS. 61:2).

            Bulan Ramadhan merupakan bulan tausiyah, hampir semua stasiun televisi menyiarkan ceramah dan siraman rohani. Di berbagai masjid juga hampir setiap malam menyuguhkan acara yang sama. Agaknya profesi Ustadz menjadi sedikit populer selama sebulan ini. Terlepas dari berbagai gaya penyampaian masing-masing, saya kira tujuan dari tausiyah adalah agar ummat Islam bisa menjalankan puasa dengan baik dan meraih predikat taqwa. Tetapi sangat disayangkan bilamana ceramah-ceramah tersebut disampaikan hanya sebatas pengulangan-pengulangan kajian yang stagnan. Lebih parah lagi, jika ceramah hanya disampaikan untuk mengundang tawa para jama’ah semata. Para ustadz seharusnya mampu memberikan nuansa baru, dengan memodifikasi sedikit materi ceramah mereka yang sesuai dengan konteks zaman hari ini.
           
           

Senin, 29 Mei 2017

Ramadhan Penghapus Dosa





Api Suci


Selama nafas masih mengalun
Selama jantung masih memukul
Wahai api bakarlah jiwaku

Biar mengaduh biar mengeluh
Seperti wajah merah membara
Dalam bakaran api nyala
Biar jiwaku habis terlebur
Dalam kobaran nyala raya

Sesak resak desak rasa dikalbu
Gelisah liar mata memandang
Dimana duduk rasa dikejar

Demikian rahmat tumpahkan selalu
Nikmat rasa api menghangus
Nyanyian semata bunyi jeritku

                        STA


            Tidak diketahui secara pasti kapan puisi “Api Suci” karya Sultan Takdir Ali Sjahbana ini dibuat. Aku tertarik mengutipnya karena judul dan isinya memiliki korelasi dengan judul tulisan kali ini. Beliau adalah budayawan kelahiran Natal, Sumatera Utara. Selain sebagai sastrawan beliau juga dikenal sebagai ahli  tata bahasa Indonesia. Setumpuk karyanya telah ikut serta menghiasi dan mengisi khazanah pegetahuan kesusastraan. Agaknya, akumulasi dari karya tersebut berkontribusi sangat besar pada perkembangan dunia sastra di tanah air. Diantara karya populer yang membuat namanya meroket adalah Novel “Layar Terkemabang”, sebuah novel yang menceritakan perjuangan dan segala permasalahan yang di hadapi oleh dua kakak beradik yang memiliki karakter berbeda.

            Salah satu makna Ramadhan adalah (ramda) yang berarti panas, karena sedemikian panasnya maka dia dapat membakar, yang dibakar adalah dosa-dosa orang berpuasa dengan api lapar dan haus. Kita tentu tidak asing lagi dengan ungkapan Rasulullah dalam hadisnya :  Barang siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan perhitungan, niscaya akan diampukan dosa-dosanya yang telah lalu”. Tanpa kita sadari sebenarnya setiap hari pertarungan antara pahala dan dosa selalu kita hadapi. Kadang, pahala bisa lebih unggul namun tidak jarang pula bahwa dosa lah yang menjadi pemenangnya. Melalui ibadah puasa Ramadhan kita berharap agar segala dosa yang dulu pernah terlanjur dikerjakan bisa di maafkan. Sekalipun tidak demikian, minimal puasa kita bisa menjadi rem penghambat dosa selama ramadhan. Untungnya bisa bertahan pasca Ramadhan.

            Berbagai fakta ilmiah juga telah menunjukkan bahwa tidak hanya sekedar membakar dosa, bahwa puasa Ramadahan juga dapat membakar lemak jahat yang ada di dalam tubuh kita. Sehingga tidak berlebihan jika metode diet yang paling ampuh adalah melalui puasa. Singkat kata, bahwa ramadhan sangat baik untuk membakar dosa-dosa dan penyakit yang mungkin ada pada diri kita. Karenanya mari kita laksanakan dengan sebenar-benarnya.

Minggu, 28 Mei 2017

SAJAK RAMADHAN II: "AKU"



            Sekali lagi ku katakan, aku adalah tipe lelaki yang tidak terlalu suka dengan puisi. Tapi entah mengapa sejak kemarin aku menjadi tertarik, apalagi ketika mengungkap makna yang ada di balik bait-bait puisi dan mencoba mencari relevansinya dengan bulan Ramadhan saat ini sedang kita lalui. Dalam kapasitas ku yang bukan ahli syair, tentu aku hanya mencoba menafsirkannya secara bebas dengan menggunakan pendekatan  sosio-religius.

            Salah satu puisi Chairil Anwar yang terkenal dan berhasil membuat namanya melambung adalah “Aku”, puisi ini di buat sekitar tahun 1943 dua tahun sebelum Indonesia merdeka.Sebagai orang yang sama-sama pernah tinggal dari Medan, aku merasa gaya penulisan puisi ini mirip-mirip dengan karakter orang Medan asli yaitustraightto the point, tegas, lugas, berwibawa dan cenderung kasar. Apa pun itu, namanya sastra tentu mempunyai maksud tertentu. Begini kira-kira bunyi puisinya:

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi



Paling tidak ada tiga catatan yang perlu kita garis bawahi dari rangkaian bait-bait puisi diatas. Pertama, kematian bukan lah sesuatu yang menakutkan, dan memang sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Mengapa? Semua juga akan mati kok, dahulupun kita tidak ada, kemudian Allah menghadirkan kita di bumi ini dan suatu saat kita harus meninggalkannya. Ku duga seseorang takut mati merupakan indikasi dari tidak adanya persiapan, pada sisi lain bekal amal juga tidak terhimpun dengan baik, pada saat yang sama dosa-dosa semakin hari semakin bertambah. Anda mungkin bisa saja berkata “ah itu kan teori saja, siapa pulak yang mau mati sekarang”. Itu lah sebabnya mengapa batas akhir usia itu di rahasiakan agar kita bisa bersiap-siap. Ramadhan ini merupakan moment yang sangat tepat untuk mempersiapkan bekal kematian.

Makna Kedua yang bisa kita ambil dari puisi diatas adalah bahwa sesungguhnya manusia ini merupakan makhluk yang sangat hina (Binatang Jalang). Karenanya keangkuhan adalah sebuah sifat yang tidak pantas untuk di lakukan. Puasa sejatinya mengajarkan kita utuk senantiasa bersifat rendah hati dan jauh dari keangkuhan. Lagian, siapa pula yang sanggup menampakkan sifat angkuhnya dalam kondisi perut lapar dan badan lemas?. Jika demikian, maka puasa secara otomatis meredam sikap angkuh. Tetapi apakah situasi ini masih bertahan pasca berbuka?. Wallahu A’lam.

Terakhir, namun tak kalah penting adalah puasa mengajarkan kita untuk berterus terang terhadap kemungkinan kondisi yang sedang kita rasakan. “Biar peluru menembus kulitku, Aku tetap meradang menerjang”. Kebenaran memang pahit, bahkan untuk sekedar mengatakan nya saja sudah pahit konon lagi melakukan dalam tindakan nyata. Ketika sedang berpuasa kita berada pada kondisi alamiah yang selalu berhati-hati dalam berkata apalagi bertindak. Kesadaran kita terhadap pengawasan malaikat sedemikian sadarnya, sehingga kita kadang lupa diri dan merasa seolah-olah menjadi malaikat.



Jumat, 26 Mei 2017

DOA ORANG LAPAR





            Kira-kira awal atau pertengahan, mungkin juga penghujung tahun 1995 seorang penyair kenamaan WS Rendra pernah menulis puisi yang judulnya persis dengan judul tulisan diatas “Doa Orang Lapar”. Begini puisinya:

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan hitam
***

Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuh
yang dianyutkan oleh tangan orang-orang miskin
***

kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipu
adalah penghianatan kehormatan
***

seorang pemuda yang gagah akan menagis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya ditanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
***

Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
kedalam perut para miskin
***

Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perutmu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
***

Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
***

Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandanganku
ke sorga Mu

            Sebagai orang yang tidak terlalu menggeluti dunia perpuisian, aku hanya bisa menerka saja bahwa puisi diatas bercerita tentang bagaimana penderitaan yang di rasakan oleh orang-orang miskin yang lapar serta berbagai kecenderungan dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan oleh orang lapar. Kelaparan di anggap sebagai sebuah burung gagak yang menjadi simbol kelicikan, lapar itu menakutkan, laparan itu pemberontakan, lapar itu penghianatan kehormatan, kelaparan menawarkan ketidaknyamanan dan menuntut agar hasrat terpuaskan. Begitu seterusnya, jika kita menyelami puisi ini lebih dalam lagi kita akan tenggelam dalam perasaan religius spiritual yang mengharukan.

            Salah satu esensi dari puasa adalah ‘menahan diri’ dari lapar dan haus serta segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai tenggelam mata hari. Puasa menuntut kita untuk merasakan sekaligus mengalami langsung bagaimana susahnya berada pada kondisi lapar. Tentu puisi diatas baru dan akan lebih terhayati ketika kita membacanya dalam kondisi berpuasa dan pada saat waktu tengah hari yang terik misalnya, atau menit-menit akhir menjelang berbuka. Adalah sesuatu yang mustahil, mengharapkan kita bisa ikut merasakan penderitaan orang lapar sementara kita sendiri berada dalam kondisi perut yang kenyang, sama saja, tidak akan berhasil seminar penanggulangan kemiskinan tetapi acaranya di hotel mewah berbintang, kecuali hanya sebatas formalitas belaka.

            Agaknya puasa ingin mengajarkan kita untuk ikut terlibat langsung merasakan penderitaan orang-orang yang lapar selama lebih kurang tiga belas jam saja setiap hari selama bulan Ramadan. Setelah berbuka mungkin kita akan lupa lagi. Lebih jauh dari itu, puasa ingin mengajarkan kita betapa kesalehan individual juga harus di barengi dengan kesalehan sosial.