Rabu, 27 Desember 2017

Menakar Kualitas Khatib Jum'at

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana akan melakukan Standarisasi bagi para Khatib Jum'at, standarisasi adalah salah satu nama saja dari beberapa nama lain yang sempat ditawarkan seperti sertifikasi dan kode etik bagi para penyambung lidah Tuhan dimuka bumi itu. Terlepas dari apapun namanya, yang pasti wacana ini tengah menjadi  perbincangan hangat bagi banyak orang akhir-akhir ini.

Khutbah Jum'at yang seharusnya menyampaikan wasiat taqwa, mengajak kepada kebaikan sekaligus melarang orang melakukan kemaksiatan, rupanya mulai beralih menjadi sarana kampanye, menebar kebencian dan mengkritik pemerintahan. Fatalnya, hal tersebut disampaikan secara profokatif. Walaupun kondisi ini tidak bisa serta merta kita generalkan kepada semua masjid yang ada. Tapi paling tidak, pemerintah dan sebagian masyarakat nampaknya mulai resah.

Langkah sertifikasi ini dianggap sangat tepat untuk meningkatkan mutu dan kompetensi para Khatib Jum'at. Pada saat yang sama, kebijakan ini juga dianggap menjadi penghambat dan pembatasan ruang gerak bagi para Khatib Jum'at. Inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang yang belum kunjung selesai hingga hari ini.

Saya khawatir jika ini terjadi, bagaimana dengan nasib para Pendeta dan Biksu serta pemuka agama lainnya? Karena mereka juga bagian dari penduduk Negeri ini. Apakah juga akan diberlakukan hal yang sama?. Wah, nampaknya akan semakin rumit dan akan menambah pekerjaan bagi pemerintah. Bagaimana pula dengan tunjangan sertifikasi guru-guru yang selama ini sering tertunda?. Pastinya kebijakan ini akan memakan biaya yang tidak sedikit.

Hemat saya, semua kita sepakat bahwa peningkatan kompetensi dan kualifikasi Khatib Jum'at merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas ummat. Tentu tidak hanya materi khutbahnya saja, tetapi metode penyampaiannya juga harus diperhatikan.

Pemerintah perlu mengajak duduk bersama para pemeimpin ormas Islam dan MUI untuk merumuskan bersama bagaimana konsep yang akan dibuat. Pro dan kontra yang terjadi hari ini saya kira karena kurangnya komunikasi.

Disamping itu, para khatib juga hendaknya setiap saat melakukan peningkatan kualitas diri mereka melalui membaca dan menggali lebih dalam lagi mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Sehingga mereka bisa menyusun kerangka fikir Khutbah yang lebih kontekstual.

Melihat Sisi Lain dari Perayaan Maulid Nabi

Melihat Sisi Lain dari Perayaan Maulid Nabi

Minggu-minggu yang lalu hingga beberapa hari ke depan, umat Islam akan sedikit lebih serius mengenang historis kelahiran Nabi Muhammad saw. Tidak hanya itu, momentum Maulid juga biasanya dijadikan sebagai sarana nostalgia bagi peradaban Islam masa lalu. Sedemikian seriusnya sehingga terkadang lupa, terhadap realitas kehidupan kontemporer yang sedang berlangsung. Suka tak suka, menyibak kembali kenangan manis merupakan naluri manusia. Tetapi jika terlalu hanyut dalam buaian arus sejarah, kita khawatir umat ini akan jadi penghayal 'level akut'.

Sebagai Ustadz, Panitia/BKM Masjid, masyarakat biasa hingga teknisi sound system dan penyedia jasa catering, akan ikut kecipratan berkah bulan maulid. Terlepas dari kapasitas dan otoritas masing-masing dalam perayaan tersebut, paling tidak Maulid mampu memberikan banyak edukasi pada semua strata.

Salah satu pelajaran yang bisa kita gali dari Maulid adalah sosok Nabi Muhammad saw. yang menjadi satu-satunya model ideal bagi umat yang sudah mulai kehilangan arah ini.

Pertama, Kita mungkin pernah, bahkan sering membaca Alquran dari pangkal hingga ke ujung secara reguler. Temuan yang cukup mengejutkan adalah nama Muhammad sebagai penerima wahyu, tidak lebih hanya empat kali disebut dalam Alquran (Ali-Imran: 144, Al-Ahzab: 40, Muhammad: 2 dan Al-Fath: 29). Anda boleh cek kembali dan kita bisa saja berdebat soal data-data ini.

Sebagai orang yang memiliki rasa kepingin tahu yang lebih, tentu hal ini bisa menjadi sebuah pertanyaan yang cukup besar dan berkelas.
Mengapa? Sebagai orang yang dipercaya menerima wahyu justru namanya tidak banyak disebut?. Tidak sebanyak Nabi Adam apalagi Nabi Isa misalnya.

Jika kita berada pada posisi Nabi Muhammad, mungkin sudah sejak lama kita akan menggugat Tuhan dengan berbagai tuduhan yang bukan-bukan dengan harapan kiranya Tuhan mau menyelipkan nama kita lebih banyak lagi dalam kitab kumpulan KalamNya itu.

Di sinilah letak istimewanya Muhammad sebagai model ideal bagi manusia seru sekalian alam. Bahwa orang hebat sesungguhnya, tidak perlu dan tidak harus mendapat pengakuan dari orang lain. Orang hebat juga tidak berkurang kehebatannya hanya karena tidak disebut jasa-jasanya oleh orang lain.

Inilah yang saya kira cukup  menjadi perhatian serius bagi kita yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad. Sekali lagi, orang hebat yang sesungguhnya tudak membutuhkan pengakuan dari orang apatah lagi menepuk dada sendiri dan dengan lantang mengatakan "Aku lah yang paling hebat".

Kedua, yang saya kira juga cukup menjadi perhatian adalah Nabi Muhammad saw. Sepertinya terkesan dibiarkan oleh Allah hidup dan dibesarkan dalam kondisi yatim piyatu tiada ayah dan ibu.

Adalah manusiawi jika kita menganggap bahwa tidak layak jika seorang pemimpin besar, sebagai Nabi dan Rasul pula dibiarkan hidup tanpa bimbingan dan kasih sayang orang tua.

Justru di sini lah letak hikmah muta'aliyah, mengapa Muhammad saw. Dibesarkan tanpa bimbingan ayah dan ibu. Alasan rasionalnya adalah agar yang mendidik beliau langsung Allah swt. dan para Malaikat. Dan terbukti benar bahwa, tidak ada akhlak manusia yang paling mulia selain akhlak Muhammad saw. karena dalam proses pembentukan akhlaknya dicampuri langsung oleh yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Sebagai manusia biasa, tentu kita juga berharap bisa meniru Muhammad saw. dalam percaturan hidup di bumi yang semakin tak jelas ini. Paling tidak dua hal yang patut kita contoh adalah ke tawadu'-an serta Kegigihan Nabi dalam proses pembentukan akhlaknya. Beliau telah berhasil ditempa dengan berbagai macam persoalan sampai benar-benar layak mendapat gelar manusia terbaik.

Semoga

Jejak Awal Masuknya Islam di Nusantara

Jejak Awal Masuknya Islam di Nusantara

Banyak pihak yang menggugat dengan sedikit nada marah ketika Presiden Jokowi meresmikan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara. Keputusan sepihak tersebut mengundang sejumlah asumsi negatif, bahkan sampai ada yang beranggapan bahwa penetapan Barus sebagai tempat awal masuknya Islam bukanlah berdasarkan fakta sejarah, melainkan karena kuatnya hasutan dari para pembisik istana.

Untuk tidak bermaksud ikut-ikutan menggugat persoalan yang sebenarnya sudah sejak lama di perdebatkan, hari ini (27/12/2017) aku berkesempatan mengunjungi, menyaksikan dan mengklarifikasi langsung ke makam Sultan Malik As-Saleh di Gampong Bringin, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.

Berdasarkan keterangan dari Juru kunci sekaligus penjaga makam ditambah dengan beberapa literatur primer, kusimpulkan bahwa kerajaan Samudara Pasai telah dimulai sejak paruh pertama abad ke-7 H/13 M. Hal ini diperkuat dengan penemuan tiga buah batu nisan yang menunjukkan data yang sama.

Singkat kata, diam-diam kuberanikan untuk menanya bagaimana respon masyarakat soal penetapan Barus sebagai tempat awal masuknya Islam di Nusantara, dari enam orang informan, masing-masing merasa tidak setuju dan protes dengan nada agak marah.

Aceh sebenarnya kalah cepat meloby pemerintah untuk segera menetapkan Pasai sebagai tempat awal masuknya Islam. Selain kalah cepat, Aceh nampaknya kurang peduli terhadap situs-situs sejarah Islam. Alih-alih melakukan penelitian, untuk merawat peninggalan sejarah saja susah. Begitu kesanku ketika mengunjungi Pasai Sore tadi.

Begitulah sejarah, sering kali dimanipulasi oleh pengusa, sehingga hal yang sesungguhnya fakta menjadi kabur, bahkan binasa tanpa sisa.

Jumat, 14 Juli 2017

Manusia Puak Labu





            Secara tidak sengaja semalam terbaca oleh ku buku “Jejak Tinju Pak Kyai”  karangan Emha Ainun Najib, seorang Budayawan kelas berat di negeri ini. Menariknya, beliau menulis bahawa manusia itu beragam berdasarkan apa yang diucapkannya. “Ada orang yang mengucapkan sesuatu dan melakukannya, ada orang mengucapkan tapi tak melakukan. Ada yang melakukan tapi tak mengucapkan, ada yang yang tak mengucapkan dan tak melakukan…, dengan berbagai variabelnya”. Sambungan dari tulisan ini masih terlalu panjang, banyak varian manusia selanjutnya yang beliau jelaskan, lain waktu akan saya coba mengurainya satu demi satu.

            Paling tidak ada empat kelompok manusia menurut apa yang mereka ucapkan. Ucapan tersebut kemudian diikuti oleh tindakan nyata sesuai apa yang mereka lakukan. Untuk tidak berpura-pura sebagai seorang Antropolog, saya coba melihatnya berdasarkan perspektif dan analisa kecil-kecilan saja.

            Kelompok manusia pertama adalah, orang yang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Kualitas seseorang selalu dinilai dari ucapannya, ia akan dicap sebagai manusia yang memiliki komitmen tinggi manakala apa yang telah ia ucapkan diikuti oleh perbuatan yang selaras dengan ucapannya. Agaknya manusia tipe ini adalah manusia terbaik, tapi untuk ukuran saat ini sangat langka dan susah ditemukan.

            Kelompok kedua adalah kelompok orang yang mengucapkan tapi tak melakukan. Orang-orang dengan tipe ini adalah orang yang tercela. Rasa-rasanya tidak satu pun diantara kita yang suka dengan tabiat orang semacam ini. Jangankan kita sebagai manusia biasa, Tuhan pun benci kepada orang yang hanya mengatakan tapi tidak mau mewujudkan apa yang ia katakan. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. (Q.S. Ash-Shaff/61:2-3). Ayat ini selalu menjadi tamparan telak bagi para Da’i, Ustadz, Guru dan profesi sejenisnya. Kadang, karena terlalu seriusnya menyampaikan nasehat kepada orang lain, ia sampai lupa diri. Lupa bahwa dirinya juga manusia biasa yang hidup dan terhimpit di ketiak zaman gila ini. namun pada saat yang bersamaan nasehat yang disampaikan sudah kadung memakai bahasa langit yang sebenarnya hanya cocok di sampaikan buat para penghuni langit saja (malaikat).

            Kelompok selanjutnya adalah orang yang melakukan tapi tak mengucapkan. Ingat tag line sebuah iklan di tv? “Talk less do more” sedikit bicara banyak berbuat. Orang dengan tipe seperti ini memiliki prinsip “Sebuah karya lebih berharga daripada sejuta kata”. Anehnya, kadang orang sampai tidak memperhitungkannya, tidak dianggap dan tidak dipedulikan sama-sekali. Malangnya jadi manusia tipe ini adalah eksistensinya sering tidak diakui apalagi dihargai padahal dia punya karya. Berkarkarya memang perlu tetapi bersuara juga penting, karena sebuah karya betapapun hebatnya jika tidak terpublikasi akan hilang ditelan masa.

            Kelompok manusia terakhir adalah orang yang tak mengucapkan, tak pula melakukan. Pasif, kaku dan stagnan. Jika kelompok pertama adalah kelompok yang terbaik, maka kelompok terakhir ini adalah kelompok terbalik dan terburuk dalam strata sosial. Berkarya tidak, bersuara pun tidak, sama sekali tidak memiliki kontribusi apa-apa. Celakanya, keberadaannya malah menjadi sumber masalah dan beban bagi orang lain.

            Suka tak suka, salah satu dari empat jenis manusia diatas kita mungkin termasuk didalamnya. Namun kadang kala kita juga berpindah dari patron yang ada menyesuaikan dengan kondisi. Bukan karena tidak konsisten, tetapi keadaan lah yang memaksa kita untuk tidak konsisten. Boleh jadi kita harus mengatakan yang kita sendiri pun belum tentu sanggup mengerjakannya. Pada saat yang sama kita harus terus berupaya dan berkarya atau jika sampai masanya kita juga harus diam dan tak bisa berbuat apa-apa.

Jumat, 07 Juli 2017

RAGAM RESPON TERHADAP KEBERADAAN KITA


Beberapa tahun yang lalu, seorang budayawan kenamaan Emha Ainun Najib pernah membagi-bagi kelompok manusia, menurutnya ada lima tipologi manusia berdasarkan respon komunitas terhadap keberadaannya. Menarik, dari klasifikasi tersebut Cak Nun membuat analogi yang persis dengan rumusan Hukum Taklifi (Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah, dan Haram).

            Kelompok manusia yang terbaik adalah kelompok manusia wajib, yaitu manusia yang keberadaannya dinilai sangat vital sehingga harus diupayakan. Ditengah masyarakat kita sering melihat ada manusia yang memang memainkan peranan yang sangat strategis, sehingga keberadaannya sangat dinantikan sekaligus dirindukan. Berbagai kegiatan tidak akan berjalan sesuai harapan tanpa kehadirannya. Saya kira, merupakan kebahagian sekaligus sebagai sebuah kehormatan manakala kita bisa mencapai kelas ini.

            Kelompok berikutnya adalah kelompok manusia Sunnah, yaitu keberadaannya yang lebih membawa kebermanfaatan daripada ketiadaannya. Meskipun bukan sebagai central dan penentu, tetapi saya kira menjadi orang pada level ini baik juga, karena kontribusinya yang banyak bagi masyarakat, sehingga menyebabkan kehadirannya selalu dinanti-nantikan.

            Jenis manusia selanjutnya adalah manusia Mubah, yaitu manusia yang keberadaannya sama dengan ketiadaannya (wujuduhu ka ‘adamihi). Menjadi netral memang anjuran agama tetapi dalam konteks ini menjadi manusia mubah adalah sesuatu kehampaan yang sangat merugikan. Betapa tidak, dalam pergaulan sosial keberadaan kita sama sekali tidak memberi pengaruh apa-apa. Sebenarnya menjadi orang semacam ini bukanlah harapan setiap orang, walaupun dilapangan sering juga kita temukan. Biasanya manusia tipe ini selalu mendapat bagian sebagai “pelengkap penderita” saja.

            Tipe manusia berikutnya adalah manuusia Makruh, yaitu ketiadaannya lebih menguntungkan daripada keberadaannya (‘adamuhu khairun min wujudihi). Sebagian orang memang memiliki tabiat lucu, mereka adalah manusia-manusia pengacau dan perusak suasana sehingga orang lain selalu berharap bahwa manusia tipe seperti ini tidak diharapkan kehadiran dan keterlibatannya dalam perkara apapun, karena jika dia diikut sertakan keberadaannya hanya akan memperkeruh keadaan.

            Kelompok manusia terahir ini adalah kelompok yang paling buruk, siapa lagi kalau bukan manusia Haram, yaitu jenis manusia yang keberadaannya tidak hanya menjengkelkan tetapi sangat merugikan. Model manusia seperti ini memiliki mental benalu murni dengan simbiosis parasitisme, dalam terminologi Biologi biasanya dicontohkan seperti tikus dengan petani atau alang-alang dengan tanaman produksi.

            Tidak ada maksud menuduh siapa berada di kelas mana, tetapi mari lah kita coba menakar eksistensi diri ditengah-tengah masyarakat. Biasanya, semakin banyak manfaat yang kita berikan kepada komunitas tertentu, keberadaan kita akan selalu dinanti dan dihargai. Sebaliknya semakin banyak pula kita merugikan orang lain, kehadiran kita tidak hanya dihindari tetapi juga dijauhi.
           

            

MENYAMBUT PERMOHONAN MAAF



Kita masih berada dalam suasana lebaran, dalam beberapa hari kedepan kita akan lebih akrab dengan budaya maaf-maafan. Ratusan bahkan ribuan kata maaf telah terlontar dari bibir orang yang mengaku bersalah, ratusan pesan elektronik juga berdatangan karena ketidakberdayaan untuk bertatap muka secara langsung oleh karena jarak yang berjauhan. Anehnya, ada orang yang terlalu royal meminta maaf kepada siapa saja yang bertemu dengannya terlepas kenal atau tidak, pokoknya asal berjumpa kata maaf diobral sedemikian rupa biasanya didahului dengan ucapan minal ‘aidin wal faizin. Pada saat yang sama ada pula beberapa orang yang sebenarnya sangat layak dan berpotensi untuk meminta maaf justeru tidak diindahkan.

            Ada orang yang memang dengan gampangnya berbuat salah lalu kemudian sedemikian cepatnya meminta maaf. Ada lagi sebagian orang yang sangat susah dan terlalu gengsi untuk memulai meminta maaf, meskipun dia sepenuhnya menyadari bahwa sebenarnya telah melakukan kesalahan yang fatal. Di seberang sana ada pula orang yang gampang sekali memaafkan, seolah seperti malaikat saja. Baginya, menyimpan dendam kepada orang lain sama saja dengan menambah-nambah beban dalam hatinya, maka jangan heran sebesar dan sebanyak apapun kesalahan orang lain padanya segera dan dengan mudah ia maafkan. Ada juga sekelompok orang yang memang sama sekali tidak mau memaafkan meskipun ratusan kali kata maaf telah terucap dari orang yang mengaku bersalah padanya, sehingga tidak jarang kita dengar ungkapan “sampai mati pun tak akan ku maafkan”. Akhirnya dia mati dengan membawa beban besar yang sebenarnya tidak perlu. Di ujung sebelah sana ada pula kelompok manusia bertabiat aneh bercampur lucu, yaitu mereka yang berpura-pura tidak tahu terhadap kesalahan yang telah dilakukannya sehingga dia merasa tidak perlu meminta maaf. Ada satu lagi, kelompok terakhir ini mungkin kelompok manusia sadis yaitu orang yang dengan kepura-puraannya mau memaafkan tetapi sesungguhnya jauh didalam hatinnya masih tersimpan dan tersusun rapi bekas luka lama yang pernah tergoreskan.

Saya kira semua tipologi manusia dalam meminta maaf dan memaafkan seperti yang di kemukakan diatas adalah wajar dan manusiawi, meskipun beberapa diantaranya merupakan sifat yang sangat tidak layak. Sebagai pembaca sejarah saya melihat bahwa budaya meminta maaf dan memaafkan memang harus kita lestarikan. Betapa angkuhnya kita sebagai manusia yang sama-sama pernah bersalah jika tidak mau meminta maaf dan memaafkan.

Dahulu, ketika Nabi Musa pernah  bersalah dan lupa diri hingga menganggap dirinya paling pintar dan mulia, segera setelah itu Allah memerintahkan untuk menemui seorang hamba di tempat dua lautan bertemu (Nabi Khidir), perjumpaan ini lah yang kemudian menyadarkan Musa. Dalam beberapa riwayat disebutkan akhirnya Musa mengakui dengan segala kerendahannya bahwa tiada manusia paripurna diatas bumi Tuhan Ini, ia bahkan menyadari ada manusia lain yang lebih pintar dan ahli hikmah dari dirinya.

            Nabi Dawud juga pernah ditegur oleh Allah karena menikahi seorang gadis belia yang sudah lama dipinang oleh orang lain, segera setelah itu dua malaikat turun sekaligus spesial untuk memperingatkan Dawud atas kesalahannya. Demikian pula Nabi Yunus yang juga tidak lepas dari kesalahan dan kemudian mendapat teguran langsung dari Allah, kesalahannya adalah meninggalkan kaumnya yang menentang dakwahnya, Nabi Yunus berdoa kepada Allah agar kaumnya di negeri Ninawa segera diazab. Hingga akhirnya Allah menegur Nabi Yunus dengan mengirimkan gelombang besar dan ikan paus yang menelannya sebagai hukuman selama beberapa hari.

            Ternyata, Nabi Muhammad sebagai manusia juga tidak luput dari salah. Dikisahkan seketika sedang duduk-duduk bersama pemuka Quraisy datang lah Abdullah bin Ummi Maktum seorang yang buta hendak belajar agama, tetapi ketika itu tidak mendapat sambutan yang baik. Maka seketika Allah segera menegur Rasulullah dengan menurunkan surat Abasa/80: 1-42.

Sebenarnya banyak lagi kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh para Nabi dan Rasul serta orang-orang saleh terdahulu, rasanya bukan disini tempatnya untuk menceritakan secara tuntas, yang jelas kesalahan demi kesalahan tersebut telah disadari dan diakui lalu dengan perasaan bersalah meminta maaf kepada Allah. Allah pun telah memaafkan mereka.

            Jika orang-orang sekaliber Nabi dan Rasul pun pernah melakukan kesalahan, lalu kemudian mereka menyadari dan mau meminta maaf, dan ternya Allah Maha pemaaf. Apakah kita tidak merasa terlalu sombong sebagai manusia biasa yang setiap hari bergelimangan degan dosa? Sampai-sampai ungkapan maaf yang tulus dari mereka kita acuhkan? Saya kira kita tidak lebih mulia dari Tuhan dan para Nabi.

              

Jumat, 02 Juni 2017

KUSANGKA


KUSANGKA

Kusangka cempaka kembang setangkai
Rupanya melur telah diseri
Hatiku remuk mengenangkan ini
Wangsangka dan was-was silih berganti

Kuharap cempaka baharu kembang
Belum tahu sinar matahari
Rupanya teratai patah kelopak
Dihiggapi kumbang berpuluh kali

Kupohonkan cempaka
Harum mulai terserak
Melati yang ada
Pandai tergelak

Mimpiku seroja terapung di paya
Teratai putih awan angkasa
Rupanya mawar mengandung lumpur
Kaca piring bunga renungan

Igauanku subuh,impianku malam
Kuntum cempaka putih bersih
Kulihat kumbang keliling berlagu
Kelopakmu terbuka menerima chembu

Kusangka hauri bertudung lingkup
Bulu mata menyangga panah asmara
Rupanya merpati jangan dipetik
Kalau dipetik menguku segera



                                    T. Amir Hamzah
                                                                                     

            Sebagai keturunan yang berasal dari kolaborasi antara Batak dan Jawa, aku tidak sepenuhnya memahami kosa kata melayu. Betapa pun sesungguhnya aku sering bergaul dan berteman dengan banyak orang melayu, tetapi adalah benar bahwa memahami bahasa melayu tidak sesederhana memahami bahasa Jawa dan Batak. Begitu juga dengan bait-bait puisi karya T. Amir Hamzah diatas yang banyak menggunakan bahasa melayu ‘klasik’ khas Tanjung Pura membuatku semakin tak paham. Tetapi aku percaya bahwa persoalan bahasa adalah persoalan kebiasaan dan adaptasi dengan lingkungan yang jika semakin sering di praktikkan maka akan semakin lancar mengucapkan.

            Paling tidak yang kupahami dari puisi diatas adalah kekecewaan seseorang terhadap kehampaan yang di perolehnya setelah terlalu serius mengharapkan sesuatu yang tak juga kunjung datang. Memang begitu lah, jika kita terlalu berharap maka konsekwensi logisnya adalah kecewa. Berharap sih boleh-boleh saja, tetapi tidak boleh terlalu mengharap. Pada saat-saat Ramadhan seperti ini biasanya banyak orang-orang yang berpuasa mengharap agar pahala puasanya di terima Allah, tetapi yang ada justru kebalikannya. Pahala yang di harap lapar dan dahaga yang di terima. Lebih celaka lagi banyak yang berpuasa tetapi tega melakukan dosa.  

            Dalam konteks ini, sebenarnya jauh-jauh hari Rasulullah Saw telah mengingatkan kita semua. “Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus saja”. kita tidak ingin menguraikan siapa-siapa saja yang masuk kedalam golongan hadis tersebut. Tetapi paling tidak bagi orang-orang yang berpuasa dan tidak bisa mengendalikan dirinya, termasuk lah ia. Sekali lagi yang perlu kita pahami bahwa esensi dari puasa adalah pengendalian diri. Yaitu kesadaran sepenuhnya bahwa dirinya tengah berpuasa. Dengan begitu, hal-hal yang dapat membatalkan puasa atau mengurangi pahala puasa tidak akan ia kerjakan.


              

Rabu, 31 Mei 2017

KEMBALIKAN MAKNA PANCASILA






Selama ini di depan kami
Terus kalian singkat-singkat pancasila
Karena kalian takut ketauan

Sila-sila yang kalian maksud
Sila-sila yang kalian anut
Tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
Kepentiangan-kepentingan sempit sesaat
Telah terlalu jauh menyeret kalian

Makna pancasila kalian pun selama ini adalah:
KESESATAN YANG MAHA PERKASA
KEBINATANGAN YANG DEGIL DAN BERADAB
PERSETERUAN INDONESIA
KEKUASAAN YANG DIPIMPIN OLEH NIKMAT KEPENTINGAN
DALAM KEKERABATAN/PERKAWANAN
KELALIMAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Dan sorga kamipun menjadi neraka

Di depan dunia
Ibu pertiwi menangis memilukan
Merah putihnya di cabik-cabik
Anak-anaknya sendiri bagai serigala
Menjarah dan memperkosanya

O, Gusti kebiadaban apa ini?
O, azab apa ini?

Gusti,
Sampai memohon ampun kepada Mu pun kami tak berani lagi

(K.H.A. Mustofa Bisri, 1998)


            Adalah sangat disayangkan bahwa belakangan ini banyak kelompok-kelompok yang tidak bertanggugjawab ingin mengganti ideologi pancasila dengan konsep lain. Mereka berdalih bahwa selama tujuh puluh tahun lebih Indonesia merdeka, dan sudah setua itu pula pancasila dijadikan dasar Negara belum mampu menyahuti keadilan bagi seluruh masyarakat, bahkan keadilan itu sendiri di injak-injak. Kalau kita kembali kepada sejarah, ini bukanlah hal yang aneh dan sesuatu yang baru, sehari setelah pancasila selesai di konsep, maka dari sekelompok orang memprotes kesepakatan tersebut agar di rubah menjadi lebih pluralis dan bisa mewakili semua suku bangsa yang ada di tanah air. Akhirnya dengan kearifan para founding fathers Bangsa ini bisa mengakomodir berbagai perbedaan-perbedaan tersebut.

            Pancasila sebenarnya merupakan konsep yang ideal sesuai dengan tipologi orang Indonesia dan telah pula menjadi dasar Negara yang baku, karenanya tidak pantas jika ada yang berkenan merubahnya. Tetapi kita harus akui juga bahwa masih banyak sila yang dikangkangi secara terang-terangan, masalah keadilan misalnya, yang hanya tajam kebawah tapi tumpul keatas, lengkapnya masalah-masalah yang dimaksud ada pada bait-bait puisi diatas. Jadi bukan pancasilanya yang salah dan harus di rubah, tetapi orang yang berwenag menerapkan pancasila itu yang harus di rubah dan berubah.

            Sama halnya dengan puasa, pada tataran ideal puasa seharusnya mampu menjadi benteng, menahan diri dari berbagai tindakan-tindakan yang tidak dan kurang terpuji, tetapi pada tataran faktual banyak juga kita saksikan bahwa puasanya tersebut tidak berdampak apa-apa, justru malah menjadikannya modus untuk melakukan kejahatan. Hadir kemesjid dengan tujuan mencuri misalnya. Jadi sekali lagi, bukan puasanya yang salah, tetapi orang yang melaksanakannya yang kurang memahami esensi dari puasa itu.



Selasa, 30 Mei 2017

Kau Ini Bagaimana Atau Aku Yang Harus Bagaimana





             
Silahkan baca salah satu puisi terbaik karya KH. Mustofa Bisri di bawah ini dengan seksama. Hayati, pahami kemudian renungkan.


Kau ini bagaimana
Kau bilang aku merdeka, kau memilihku untuk segalanya
Kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kapir

Aku harus bagaimana
Kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai
Kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku
Kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aku plin-plan

Aku harus bagaimana
Kau suruh aku maju, aku maju kau selimpung kakiku
Kau suruh aku bekerja, aku bekerja, kau ganggu aku

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku taqwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa
Kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh menghormati hukum,kebijaksanaanmu menyepelekannya
Aku kau suruh berdisiplin, kau menyontohkan yang lain

Kau ini bagaimana
Kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memangil-manggilnya dengan pengeras suara setiap saat
Kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

Aku harus bagaimana
Aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusaknya
Aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

Kau ini bagaimana
Kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah
Kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

Aku harus bagaimana
Kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku
Kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

Aku harus bagaimana
Kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis
Kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

Aku harus bagaimana
Kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah
Kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternaatif kau bilang aku mendikte saja

Kau ini bagaimana
Aku bilang terserah kau, kau tidak mau
Aku bilang terserah kita, kau tak suka
Aku bilang terserah aku, kau memakiku

Kau ini bagaimana
Atau aku harus bagaiman



                                                                        Gus Mus
                                                                        -1987-



            Saya jadi teringat dengan ungkapan Abdullah Quilliam, beliau sering disebut sebagai Muslim pertama di Inggris dan Dialah yang sangat getol menyebarkan Islam di markas Liverpool, kira-kira begini ungkapannya: “sebagian orang terlalu banyak omong. Apa yang diceramahkannya satu jam jauh lebih banyak dari apa yang ia telah amalkan sepanjang hidupnya”. Sebagai seorang Da’i, jujur saja saya ikut tersinggung. Tetapi bila di renungkan lebih jauh, maka ungkapan diatas ada benarnya juga. Bahwa budaya oral selama ini jauh lebih di minati dan kita nikmati daripada budaya tulis-menulis apalagi untuk sampai kepada budaya kerja nyata. Puisi diatas ingin mengingatkan kepada kita bahwa, apa yang kita katakan idealnya sesuai dengan apa yang kita lakukan. Alquran juga telah mengecam kepada siapa saja yang hanya pandai mengatakan tapi tidak mau melakukan (QS. 61:2).

            Bulan Ramadhan merupakan bulan tausiyah, hampir semua stasiun televisi menyiarkan ceramah dan siraman rohani. Di berbagai masjid juga hampir setiap malam menyuguhkan acara yang sama. Agaknya profesi Ustadz menjadi sedikit populer selama sebulan ini. Terlepas dari berbagai gaya penyampaian masing-masing, saya kira tujuan dari tausiyah adalah agar ummat Islam bisa menjalankan puasa dengan baik dan meraih predikat taqwa. Tetapi sangat disayangkan bilamana ceramah-ceramah tersebut disampaikan hanya sebatas pengulangan-pengulangan kajian yang stagnan. Lebih parah lagi, jika ceramah hanya disampaikan untuk mengundang tawa para jama’ah semata. Para ustadz seharusnya mampu memberikan nuansa baru, dengan memodifikasi sedikit materi ceramah mereka yang sesuai dengan konteks zaman hari ini.