Rabu, 27 Desember 2017

Menakar Kualitas Khatib Jum'at

Pemerintah melalui Kementerian Agama berencana akan melakukan Standarisasi bagi para Khatib Jum'at, standarisasi adalah salah satu nama saja dari beberapa nama lain yang sempat ditawarkan seperti sertifikasi dan kode etik bagi para penyambung lidah Tuhan dimuka bumi itu. Terlepas dari apapun namanya, yang pasti wacana ini tengah menjadi  perbincangan hangat bagi banyak orang akhir-akhir ini.

Khutbah Jum'at yang seharusnya menyampaikan wasiat taqwa, mengajak kepada kebaikan sekaligus melarang orang melakukan kemaksiatan, rupanya mulai beralih menjadi sarana kampanye, menebar kebencian dan mengkritik pemerintahan. Fatalnya, hal tersebut disampaikan secara profokatif. Walaupun kondisi ini tidak bisa serta merta kita generalkan kepada semua masjid yang ada. Tapi paling tidak, pemerintah dan sebagian masyarakat nampaknya mulai resah.

Langkah sertifikasi ini dianggap sangat tepat untuk meningkatkan mutu dan kompetensi para Khatib Jum'at. Pada saat yang sama, kebijakan ini juga dianggap menjadi penghambat dan pembatasan ruang gerak bagi para Khatib Jum'at. Inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang yang belum kunjung selesai hingga hari ini.

Saya khawatir jika ini terjadi, bagaimana dengan nasib para Pendeta dan Biksu serta pemuka agama lainnya? Karena mereka juga bagian dari penduduk Negeri ini. Apakah juga akan diberlakukan hal yang sama?. Wah, nampaknya akan semakin rumit dan akan menambah pekerjaan bagi pemerintah. Bagaimana pula dengan tunjangan sertifikasi guru-guru yang selama ini sering tertunda?. Pastinya kebijakan ini akan memakan biaya yang tidak sedikit.

Hemat saya, semua kita sepakat bahwa peningkatan kompetensi dan kualifikasi Khatib Jum'at merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas ummat. Tentu tidak hanya materi khutbahnya saja, tetapi metode penyampaiannya juga harus diperhatikan.

Pemerintah perlu mengajak duduk bersama para pemeimpin ormas Islam dan MUI untuk merumuskan bersama bagaimana konsep yang akan dibuat. Pro dan kontra yang terjadi hari ini saya kira karena kurangnya komunikasi.

Disamping itu, para khatib juga hendaknya setiap saat melakukan peningkatan kualitas diri mereka melalui membaca dan menggali lebih dalam lagi mengenai ajaran Islam yang sesungguhnya. Sehingga mereka bisa menyusun kerangka fikir Khutbah yang lebih kontekstual.

Melihat Sisi Lain dari Perayaan Maulid Nabi

Melihat Sisi Lain dari Perayaan Maulid Nabi

Minggu-minggu yang lalu hingga beberapa hari ke depan, umat Islam akan sedikit lebih serius mengenang historis kelahiran Nabi Muhammad saw. Tidak hanya itu, momentum Maulid juga biasanya dijadikan sebagai sarana nostalgia bagi peradaban Islam masa lalu. Sedemikian seriusnya sehingga terkadang lupa, terhadap realitas kehidupan kontemporer yang sedang berlangsung. Suka tak suka, menyibak kembali kenangan manis merupakan naluri manusia. Tetapi jika terlalu hanyut dalam buaian arus sejarah, kita khawatir umat ini akan jadi penghayal 'level akut'.

Sebagai Ustadz, Panitia/BKM Masjid, masyarakat biasa hingga teknisi sound system dan penyedia jasa catering, akan ikut kecipratan berkah bulan maulid. Terlepas dari kapasitas dan otoritas masing-masing dalam perayaan tersebut, paling tidak Maulid mampu memberikan banyak edukasi pada semua strata.

Salah satu pelajaran yang bisa kita gali dari Maulid adalah sosok Nabi Muhammad saw. yang menjadi satu-satunya model ideal bagi umat yang sudah mulai kehilangan arah ini.

Pertama, Kita mungkin pernah, bahkan sering membaca Alquran dari pangkal hingga ke ujung secara reguler. Temuan yang cukup mengejutkan adalah nama Muhammad sebagai penerima wahyu, tidak lebih hanya empat kali disebut dalam Alquran (Ali-Imran: 144, Al-Ahzab: 40, Muhammad: 2 dan Al-Fath: 29). Anda boleh cek kembali dan kita bisa saja berdebat soal data-data ini.

Sebagai orang yang memiliki rasa kepingin tahu yang lebih, tentu hal ini bisa menjadi sebuah pertanyaan yang cukup besar dan berkelas.
Mengapa? Sebagai orang yang dipercaya menerima wahyu justru namanya tidak banyak disebut?. Tidak sebanyak Nabi Adam apalagi Nabi Isa misalnya.

Jika kita berada pada posisi Nabi Muhammad, mungkin sudah sejak lama kita akan menggugat Tuhan dengan berbagai tuduhan yang bukan-bukan dengan harapan kiranya Tuhan mau menyelipkan nama kita lebih banyak lagi dalam kitab kumpulan KalamNya itu.

Di sinilah letak istimewanya Muhammad sebagai model ideal bagi manusia seru sekalian alam. Bahwa orang hebat sesungguhnya, tidak perlu dan tidak harus mendapat pengakuan dari orang lain. Orang hebat juga tidak berkurang kehebatannya hanya karena tidak disebut jasa-jasanya oleh orang lain.

Inilah yang saya kira cukup  menjadi perhatian serius bagi kita yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad. Sekali lagi, orang hebat yang sesungguhnya tudak membutuhkan pengakuan dari orang apatah lagi menepuk dada sendiri dan dengan lantang mengatakan "Aku lah yang paling hebat".

Kedua, yang saya kira juga cukup menjadi perhatian adalah Nabi Muhammad saw. Sepertinya terkesan dibiarkan oleh Allah hidup dan dibesarkan dalam kondisi yatim piyatu tiada ayah dan ibu.

Adalah manusiawi jika kita menganggap bahwa tidak layak jika seorang pemimpin besar, sebagai Nabi dan Rasul pula dibiarkan hidup tanpa bimbingan dan kasih sayang orang tua.

Justru di sini lah letak hikmah muta'aliyah, mengapa Muhammad saw. Dibesarkan tanpa bimbingan ayah dan ibu. Alasan rasionalnya adalah agar yang mendidik beliau langsung Allah swt. dan para Malaikat. Dan terbukti benar bahwa, tidak ada akhlak manusia yang paling mulia selain akhlak Muhammad saw. karena dalam proses pembentukan akhlaknya dicampuri langsung oleh yang Maha Mulia lagi Maha Bijaksana.

Sebagai manusia biasa, tentu kita juga berharap bisa meniru Muhammad saw. dalam percaturan hidup di bumi yang semakin tak jelas ini. Paling tidak dua hal yang patut kita contoh adalah ke tawadu'-an serta Kegigihan Nabi dalam proses pembentukan akhlaknya. Beliau telah berhasil ditempa dengan berbagai macam persoalan sampai benar-benar layak mendapat gelar manusia terbaik.

Semoga

Jejak Awal Masuknya Islam di Nusantara

Jejak Awal Masuknya Islam di Nusantara

Banyak pihak yang menggugat dengan sedikit nada marah ketika Presiden Jokowi meresmikan Barus sebagai titik nol Islam Nusantara. Keputusan sepihak tersebut mengundang sejumlah asumsi negatif, bahkan sampai ada yang beranggapan bahwa penetapan Barus sebagai tempat awal masuknya Islam bukanlah berdasarkan fakta sejarah, melainkan karena kuatnya hasutan dari para pembisik istana.

Untuk tidak bermaksud ikut-ikutan menggugat persoalan yang sebenarnya sudah sejak lama di perdebatkan, hari ini (27/12/2017) aku berkesempatan mengunjungi, menyaksikan dan mengklarifikasi langsung ke makam Sultan Malik As-Saleh di Gampong Bringin, Kecamatan Samudra, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh.

Berdasarkan keterangan dari Juru kunci sekaligus penjaga makam ditambah dengan beberapa literatur primer, kusimpulkan bahwa kerajaan Samudara Pasai telah dimulai sejak paruh pertama abad ke-7 H/13 M. Hal ini diperkuat dengan penemuan tiga buah batu nisan yang menunjukkan data yang sama.

Singkat kata, diam-diam kuberanikan untuk menanya bagaimana respon masyarakat soal penetapan Barus sebagai tempat awal masuknya Islam di Nusantara, dari enam orang informan, masing-masing merasa tidak setuju dan protes dengan nada agak marah.

Aceh sebenarnya kalah cepat meloby pemerintah untuk segera menetapkan Pasai sebagai tempat awal masuknya Islam. Selain kalah cepat, Aceh nampaknya kurang peduli terhadap situs-situs sejarah Islam. Alih-alih melakukan penelitian, untuk merawat peninggalan sejarah saja susah. Begitu kesanku ketika mengunjungi Pasai Sore tadi.

Begitulah sejarah, sering kali dimanipulasi oleh pengusa, sehingga hal yang sesungguhnya fakta menjadi kabur, bahkan binasa tanpa sisa.