Jumat, 14 Juli 2017

Manusia Puak Labu





            Secara tidak sengaja semalam terbaca oleh ku buku “Jejak Tinju Pak Kyai”  karangan Emha Ainun Najib, seorang Budayawan kelas berat di negeri ini. Menariknya, beliau menulis bahawa manusia itu beragam berdasarkan apa yang diucapkannya. “Ada orang yang mengucapkan sesuatu dan melakukannya, ada orang mengucapkan tapi tak melakukan. Ada yang melakukan tapi tak mengucapkan, ada yang yang tak mengucapkan dan tak melakukan…, dengan berbagai variabelnya”. Sambungan dari tulisan ini masih terlalu panjang, banyak varian manusia selanjutnya yang beliau jelaskan, lain waktu akan saya coba mengurainya satu demi satu.

            Paling tidak ada empat kelompok manusia menurut apa yang mereka ucapkan. Ucapan tersebut kemudian diikuti oleh tindakan nyata sesuai apa yang mereka lakukan. Untuk tidak berpura-pura sebagai seorang Antropolog, saya coba melihatnya berdasarkan perspektif dan analisa kecil-kecilan saja.

            Kelompok manusia pertama adalah, orang yang mengucapkan sesuatu dan melakukannya. Kualitas seseorang selalu dinilai dari ucapannya, ia akan dicap sebagai manusia yang memiliki komitmen tinggi manakala apa yang telah ia ucapkan diikuti oleh perbuatan yang selaras dengan ucapannya. Agaknya manusia tipe ini adalah manusia terbaik, tapi untuk ukuran saat ini sangat langka dan susah ditemukan.

            Kelompok kedua adalah kelompok orang yang mengucapkan tapi tak melakukan. Orang-orang dengan tipe ini adalah orang yang tercela. Rasa-rasanya tidak satu pun diantara kita yang suka dengan tabiat orang semacam ini. Jangankan kita sebagai manusia biasa, Tuhan pun benci kepada orang yang hanya mengatakan tapi tidak mau mewujudkan apa yang ia katakan. Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. (Q.S. Ash-Shaff/61:2-3). Ayat ini selalu menjadi tamparan telak bagi para Da’i, Ustadz, Guru dan profesi sejenisnya. Kadang, karena terlalu seriusnya menyampaikan nasehat kepada orang lain, ia sampai lupa diri. Lupa bahwa dirinya juga manusia biasa yang hidup dan terhimpit di ketiak zaman gila ini. namun pada saat yang bersamaan nasehat yang disampaikan sudah kadung memakai bahasa langit yang sebenarnya hanya cocok di sampaikan buat para penghuni langit saja (malaikat).

            Kelompok selanjutnya adalah orang yang melakukan tapi tak mengucapkan. Ingat tag line sebuah iklan di tv? “Talk less do more” sedikit bicara banyak berbuat. Orang dengan tipe seperti ini memiliki prinsip “Sebuah karya lebih berharga daripada sejuta kata”. Anehnya, kadang orang sampai tidak memperhitungkannya, tidak dianggap dan tidak dipedulikan sama-sekali. Malangnya jadi manusia tipe ini adalah eksistensinya sering tidak diakui apalagi dihargai padahal dia punya karya. Berkarkarya memang perlu tetapi bersuara juga penting, karena sebuah karya betapapun hebatnya jika tidak terpublikasi akan hilang ditelan masa.

            Kelompok manusia terakhir adalah orang yang tak mengucapkan, tak pula melakukan. Pasif, kaku dan stagnan. Jika kelompok pertama adalah kelompok yang terbaik, maka kelompok terakhir ini adalah kelompok terbalik dan terburuk dalam strata sosial. Berkarya tidak, bersuara pun tidak, sama sekali tidak memiliki kontribusi apa-apa. Celakanya, keberadaannya malah menjadi sumber masalah dan beban bagi orang lain.

            Suka tak suka, salah satu dari empat jenis manusia diatas kita mungkin termasuk didalamnya. Namun kadang kala kita juga berpindah dari patron yang ada menyesuaikan dengan kondisi. Bukan karena tidak konsisten, tetapi keadaan lah yang memaksa kita untuk tidak konsisten. Boleh jadi kita harus mengatakan yang kita sendiri pun belum tentu sanggup mengerjakannya. Pada saat yang sama kita harus terus berupaya dan berkarya atau jika sampai masanya kita juga harus diam dan tak bisa berbuat apa-apa.