PROBLEMATIKA DAKWAH DI
DAERAH MINORITAS
Harusnya dakwah Islam tersebar merata bagi seluruh
ummat. Tanpa memandang kuantitas apakah daerah itu mayoritas atau minoritas
muslim. Mengapa? Agar syari’at Allah dapat juga terlaksana secara menyeluruh.
Tetapi tidak selalu harapan itu berbanding lurus dengan kenyataan yang ada,
jika demikian inilah yang menurut ilmu filsafat menjadi sumber sebuah permasalahan.
Sebagai seorang putra daerah yang beraaal dari
daerah muslim minoritas, tulisan ini akan menguraikan beberapa permasalahan
dakwah didaerah minoritas berdasarkan pengalaman dan sebagai pelaku dakwah yang
terlibat secara langsung:
Yang pertama adalah Kurangnya pembinaan. Untuk mengajak orang masuk kedalam agama Allah
tidak sesulit dengan melakukan pembinaan pacsa mereka masuk Islam. Tidak adanya
pembinaan secara kontiniu merupakan
penyebab mengapa dakwah didaerah minoritas tidak berjalan sesuai harapan. Bisa
saja di suatu daerah menerima dan mau memeluk agama Islam tetapi jika tidak
dibina dengan rutin, maka bisa dipastikan akan berbalik kembali (murtad) ke
agama mereka sebelumnya.
Inilah pemandangan yang jamak terlihat di daerah
minoritas, pembinaan kepada masyarakat muslim hanya dilakukan dalam rangkaian
acara hari besar Islam saja atau paling lama hanya satu bulan ketika acara
safari ramadhan, setelah itu mereka dibiarkan meraba bak orang buta yang ingin
mencari sesuatu.
Yang kedua adalah sangat sulit merubah paradigma konservatif masyarakat di daerah minoritas.
Biasanya daerah minoritas itu berada di daerah yang sangat menjunjung tinggi
adat istiadat. Sehingga terkadang hukum syara’ dikalahkan oleh hukum ‘pantang’ produksi adat. Jadi
walaupun mereka telah memeluk agama Islam, kebiasaan-kebiasan lama tetap di
pertahankan dan sangat sulita dilepaskan terutama yang bertentangan dengan
syariat. Contoh adalah ketika hendak melakukan prosesi pernikahan pada salah
satu adat mereka terlebih dahulu meminta berkat pada orang tua dikampung, bukan
kepada Allah. Termasuk berbagai macam jenis tarian yang menggunakan jasa berbau
mistik. Dan masih banyak contoh lainnya. Oleh karena itu butuh kearifan tingkat
tinggi dari seorang Da’i manakala berdakwah di daerah minoritas.
Masalah selanjutnya adalah, minat belajar agama masyarakat masih sangat rendah. Putra daerah
tidak banyak yang berminat masuk pesantren atau sedikit yang mau melanjutkan
studi ke jenjang perguruan tinggi, terutama lembaga pendidikan tinggi Islam.
Demikian juga setelah menyelesaikan pendidikan mereka jarang sekali atau hampir
tidak ada yang mau kembali pulang kampung membangun daerahnya. Termasuk yang
mendalami ilmu agama juga demikian,
mereka yang semula diharapkan untuk membangun daerah, lebih memilih
mengembangkan karir di perantauan. Akhirnya dari tahun ke tahun daerah
minoritas semakin tidak tersentuh dakwah.
Anehnya justru yang mulai berkembag di kampung-kampung
daerah minoritas adalah teknologi informasi, kejahatan dan pengaruh narkoba
juga sudaah mulai kelihatan kecambahnya. Saya khawatir jangan-jangan daerah
minoritas muslim akan menjadi jahiliyah modern bila ini tidak segera kita
carikan solusinya.
Pemerintah dan seluruh ormas Islam sebaiknya rutin
membina ummat di daerahminoritas dan menerjunkan Da’i yang berkualitas kesetiap
desa-desa minoritas muslim. Mereka
ditugaskan secara khusus untuk membina ummat secara konsisten. Berikan mereka
insentif (honor) yang cukup. Saya kira kalau kita menunggu orang yang ‘ikhlas’
berdakwah kedaerah-daerah terpencil sangat sulit dan langka. Apalagi zaman
sekarang. Solusi ini memang terkesan pragmatis. Tapi perlu kita coba. Kalau
selama ini kita mengharapkan keikhlasan dari para Da’i untuk berdakwah, apa
salahnya kali ini pemerintah yang harus ikhlas.
Solusi ini tentunya tidak perlu dibantah, karena ini
merupakan salah satu dari beberapa solusi lain yang saya harapkan setelah
saudara membaca blog ini.