Selasa, 21 Maret 2017

Hubungan Hadis dgn Alquran



BAB I
PENDAHULUAN

            Sebagai sumber hukum Islam yang kedua, hadis sangat berperan penting dalam kehidupan setiap Muslim. Hal ini disebabkan karena tidak semua perkara  di jelaskan secara rinci di dalam Alquran. Demikian pula dengan bahasa Alquran yang bersifat global sangat sulit dimengerti oleh kebanyakan orang Islam yang bersatus awam. Sebagai sebuah mukjizat, maka wajar saja jika bahasa Alquran dibuat rumit dan multi tafsir. Disinilah hadis memainkan peranan pentingnya melalui sabda, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. seorang Rasul utusan Allah untuk mengungkap makna lain yang terkandung di dalam Alquran.
Sangat banyak sekali perintah yang tertulis di dalam Alquran tetapi tidak menunjukkan tata cara pelaksanaan yang jelas dan tuntas. Pada kondisi yang demikian kita dituntut untuk memahami hadis sebagai penjelas dari Alquran.  Oleh karena itu eksistensi dari hadis sangat membantu mana kala kita ingin memahami Islam secara komprehensif. Rasulullah saw. telah memberikan garansi bahwa siapa saja yang berpegang teguh kepada dua warisan pusaka, yaitu Alquran dan hadis tidak akan pernah tersesat.  Sebagai muslim yang baik tentu kita tidak ingin hanya mencukupkan memahami sumber ajaran Islam sampai pada level Alquran dan hadis saja, melainkan pemahaman terhadap ijma’ dan qiyas juga menjadi sama pentingnya.
              Pada makalah ini penulis akan lebih memusatkan perhatian pada  pengertian hadis, sunnah, khabar dan as|ar, bentuk-bentuk hadis, kedudukan hadis terhadap Alquran dan fungsi hadis terhadap Alquran serta perbandingan hadis dengan Alquran. Pilihan ini murni didasari oleh tuntutan silabus perkuliahan hadis. Disamping itu yang menjadi pertimbangan lain adalah aspek ini dianggap lebih substantif untuk dikaji lebih mendalam bagi setiap orang yang mengaku sebagai ilmuan Muslim.

BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu hadis adalah kajian yang tertinggal di Indonesia jika dibandingkan dengan ilmu ke-Islaman lainya seperti ilmu tafsir, ilmu fikih, dan ilmu tasawuf. Hal ini dapat dibuktikan dengan minimnya pakar hadis di negeri ini dan sedikitnya literatur yang mengulasnya. Oleh sebab itu, ada kesan bahwa ilmu hadis merupakan kajian yang tercecer di tanah yang jumlah penduduk Muslimnya terbesar di dunia.[1] Makalah ini mencoba menyajikan dan memaparkan kepada pembaca perihal dasar-dasar hadis secara komprehensif dengan menggunakan bahasa yang sederhana disertai contoh-contoh yang mudah dipahami.
A.    Pengertian Hadis, Sunnah, Khabar dan As|ar

1.     Hadis
Kata hadis telah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia.[2] Hadis secara etimologi berarti komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama ataupun duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual. Penggunaannya dalam bentuk kata sifat atau adjektif mengandung arti al-jadi>d, yaitu yang baharu, lawan dari al-qadi>m yang lama. Dengan demikian pemakaian kata Hadis disini seolah-olah dimaksudkan untuk membedakan dengan alquran yang bersifat qadi>m.[3] mula-mula hadis mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampau ataupun yang baru saja terjadi.[4] Secara terminologi, beragam pengertian tentang hadis yang dikemukakan oleh para ahli. Misalnya menurut Mustafa Azami sebagaimana yang dikutip oleh Khadijah dalam bukunya beliau menjelaskan bahwa hadis adalah adalah
اقوال البي ص.م. وافعا له واحوا له
Segala perkataan Nabi Muhammad saw. perbuatan dan hal ihwalnya”.[5]
Ada juga ulama hadis yang merumuskan hadis dengan
كل ما اثر من النبي ص.م. من قول وفعل وتقرير وصفة
Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r maupun sifatnya.”[6]
            Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa hadis merupakan segala yang berasal dari Nabi Muhammad saw. berupa perkataan, perbuatan dan ketetapan (legitimasi) beliau yang menjadi panutan dan sumber pengambilan hukum bagi setiap muslim.

2.    Sunnah
Menurut bahasa Sunnah berarti “Jalan yang dilalui baik atau buruk”. Arti lain ialah “jalan yang ditempuh kemudian di ikuti orang lain”.  Arti lain lagi adalah arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup.[7] Kata Sunnah menurut kamus bahasa Arab bermakna jalan, arah, peraturan, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup.[8]
Adapun dalam arti terminologi, sunnah berarti “tingkah laku Nabi Muhammad saw. yang merupakan teladan”.[9] Sedangkan para ulama hadis mendefinisikan sunnah sebagai:
كل ما اثر عن الرسول الله صل الله عليه و سلم من قول او فعل او تقرير او صفة خلقية او خلقية او سيرة سواء اكان ذالك قبل البعثة كحنثه في غا ر حراء ام بعدها
Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul saw. berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, (taqri>r) sifat fisik atau akhlak atau perikehidupan, baik itu sebelum beliau diangkat jadi Rasul, seperti tahannus yang beliau lakukan di Gua Hira’ maupun sesudah kerasulan beliau.[10]
            Dari definisi ini kita dapat menangkap informasi bahwa sunnah merupakan pelaksanaan ajaran agama yang ditempuh atau dipraktik yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw. dalam perjalanan hidupnya. Dengan demikian, antara sunnah dan hadis terdapat perbedaan yaitu hadis hanya terbatas pada perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad saw. sedangkan sunnah lebih luas.

3.    Khabar
            Khabar menurut etimologi berarti al-naba’ yaitu berita, kebalikan dari Insya’ yang berarti mengarang. Menurut terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat yaitu:
a.      Pengertian khabar identik dengan hadis
b.      Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, sedang hadis adalah sebaliknya. Sehingga terkenal dengan sebutan Muhaddis| bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadis, dan disebut dengan Ikhba>ri bagi orang yang mengeluti bidang ilmu sejarah dan sejenisnya.
c.      Pengertian hadis lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadis pasti khabar, namun tidak setiap khabar pasti hadis.[11]

4.    As|ar
              As|ar menurut bahasa berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu.[12] Sedangkan menurut istilah definisi as|ar terdapat dua pendapat, yaitu:
a.       Pengertian as|ar identik dengan hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi, bahwasanya para ahli hadis menyebutkan hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan as|ar.
b.      As|ar adalah sesuatu yang datang dari sahabat (baik perkataan maupun perbuatan). Dalam hal ini asar berarti hadis mauquf. Dan ini barangkali ditunjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau peninggalan dari Nabi saw.  dan oleh karena yang yang berasal dari Nabi saw. disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat disebut as|ar.[13]
            Dengan demikian jelaslah bahwa kata sunnah, hadis, khabar dan as|ar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. atau kepada sahabat atau kepada tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqri>r atau sifat-sifat. Sedangkan yang membedakannya adalah antara yang datang dari Rasulullah saw. atau sahabat, atau tabi’in serta keterangan-keterangan dalam periwayatannya.

B.     Bentuk-bentuk Hadis
            Berdasarkan pengertiannya secara terminologis, hadis demikian juga sunnah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: hadis Qauli, hadis Fi’li dan hadis Taqr>iri.[14]

1.      Hadis Qauli
            Menurut Syekh Wahbah Al-Zuhayli dalam kitabnya Ushul al- Fiqh al-Islam sebagaimana yang dikutip oleh Nawir Yuslem, Hadis Qauli adalah:
هي الأحادث التي قالها الرسول صلى الله عليه وسلم في مختلف الأغراض و المناسبات
seluruh hadis yang diucapkan Rasulullah saw. untuk berbagai tujuan dan dalam berbagai kesempatan”.[15]
Khusus bagi para ulama ushul fiqih, hadis qauli adalah seluruh perkataan yang dapat dijadikan dalil untuk berbagai menetapkan hukum syara’.[16]
            Contoh hadis qauli adalah seperti sabda Rasulullah saw. mengenai kehalalan bangkai hewan laut:
عن ابي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في البحر هو الطهور ماؤه و الحل ميتته
Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata, bersabda Rasulullah saw. tentang laut, airnya suci dan bangkainya adalah halal.”[17]
            Contoh lain adalah hadis mengenai keutamaan niat:
عن عمرابن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول انما الأعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى فمن كانت حجرته الى الدنيا يصيبها او الى امرأة ينكحها فحجرته الى ما هاجراليه. (رواه البخاري) 
Dari Umar ibn  al-Khattab r.a., dia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘sesungguhnya seluruh amal itu ditentukan oleh niat, dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan niatnya. Maka barang siapa yang melakukan hijrah untuk kepentingan dunia yang akan diperolehnya, atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka ia akan memperoleh sebatas apa yang ia niatkan ketika berhijrah tersebut”.[18]

2.      Hadis Fi’li
Hadis Fi’li adalah:
هي الأعمال التي قام بها الرسول صلى الله عليه وسلم
Seluruh perbuatan yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw.”[19]
            Perbuatan Rasulullah saw. tersebut adalah yang sifatnya dapat dijadikan contoh teladan, dalil untuk penetapan hukum syara’, atau pelaksanaan suatu ibadah. Umpamanya tata cara pelaksanaan ibadah shalat, haji dan lainnya. Seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah saw. berikut ini:[20]
... وصلوا كما رأيتموني أصلي... (رواه البخاري)
“…Dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihataku shalat…”
            Ada lagi contoh yang berkenaan dengan hadis Fi’li yaitu ketika Nabi Muhammad saw. mencontohkan tata cara mengangkat tangan ketika takbir dalam shalat[21] seperti berikut ini:
عن عبد الله ابن عمر قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم اذا قام في الصلاة رفع يديه حتى يكونا حذو وكان يفعل ذلك حين يكبر للركوع ويفعل ذلك اذا رفع رأسه من الركوع ويقول سمع الله لمن حمده ولايفعل ذلك في السجود. (رواه البخاري)
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata: aku melihat Rasulullah saw. apabila dia berdiri melaksanakan shalat, dia mengangkat kedua tangannya hingga setentang kedua bahunya, dan hal tersebut dilakukan beliau ketika bertakbir hendak rukuk, dan beliau juga melakukan hal itu ketika bangkit dari rukuk seraya membaca ‘sami’a Allahu liman hamidah’. Beliau tidak melakukan hal itu (yaitu mengangkat kedua tangan) ketika akan sujud”.
3.      Hadis Taqr>iri
Hadis Taqr>iri adalah:
وهي أن يسكت النبي صلى الله عليه وسلم عن انكار قول او فعل صدر أمامه او في عصره وعلم به, وذلك أما بموافقته او استبشاره او استحسانه, و اما بعدم انكاره وتقريره
 Hadis Taqr>iri adalah diamnya Rasulullah saw. dari mengingkari perkataan atau perbuatan yang dilakukan dihadapan beliau dan hal tersebut diketahuinya. Hal tersebut ada kalanya dengan pernyataan persetujuan beliau atau penilaian baik dari beliau, atau tidak adanya pengingkaran beliau dan pengakuan beliau”.[22]
            Perkataan dan perbuatan sahabat Rasulullah saw. yang mendapat persetujuan darinya, hukumnya sama dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. sendiri. Demikian juga ketetapan atau ijtihad yang dilakukan oleh sahabat sama kedudukannya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw. seperti dikisahkan ketika ijtihad para sahabat mengenai pelaksanaan shalat asar pada waktu peristiwa Bani> quraiz}ah sebagai berikut ini:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم يوم الأحزاب: لا يصلين أحد العصر الأ في بني قريظة, فأدرك بعضهم العصر في الطريق فقال بعضهم لا نصلي حتى نأتيها وقال بعضهم بل نصلي لم يرد منا ذلك فذكر ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم فلم يعنف واحدامنهم. (رواه البخاري)
Dari Ibn Umar r.a., dia berkata, ‘Nabi saw. bersabda pada hari peperangan ahzab, ‘janganlah seorang pun melakukan shalat asar kecuali diperkampungan Bani> Quraiz}ah’. Maka sebahagian sahabat melaksanakan shalat asar diperjalanan, sebahagian mereka berkata, ‘kami tidak melakukan shalat sehingga kami sampai diperkampungan tersebut’. Dan sebahagia yang lain mengatakan, ‘Justru kami melakukan shalat (pada waktunya), karena beliau tidak memaksudkan yang demikian kepada kami’. Kemudian perbedaan interpretasi tersebut disampaikan kepada Nabi saw. dan Nabi saw. tidak menyalahkan siapapun diantara mereka”.[23]
            Berdasarkan hadis diatas, ada sebahagian sahabat Nabi saw. yang memahami perintah secara tekstual. Sedangkan sebahagian sahabat yang lainnya memahami hadis tersebut secara kontekstual. Setelah Rasulullah saw. melihat perbedaan ijtihad tersebut, Rasulullah membenarkan keduanya tanpa menyalahkan satu dengan yang lainnya.
            Contoh lain dari hadis taqri>ri adalah ketika Rasulullah mempercayai dan mengutus Mu’a>z| bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا الى اليمن قال: كيف تقضي اذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فانلم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال فانلم تجد في بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: اجتحد برأيي ولا الو فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره, فقال: الحمد لله الذي وفق رسول رسول الله لما يرضي رسولالله. (رواه أبو داود و الترمذي والنسائي والدارمي)   
Bahwasanya tatkala Rasulullah saw. hendak mengutus Mu’a>z} bin Jabal ke Yaman, beliau bertanya kepada Mu’a>z}, ‘Bagaimana engkau memutuskan perkara jika diajukan kepadamu?’ Maka Mu’a>z} menjawab, ‘Aku akan memutuskan berdasarkan kepada kitab Allah (Alquran). Rasulullah saw. bertanya lagi, ‘apabila engkau tidak menemukan jawabannya di dalam kitab Allah?. Mu’a>z} berkata, ‘aku akan memutuskannya dengan sunnah’. Rasul selanjutnya bertanya, ‘bagaimana kalau engkau juga tidak menemukannya di dalam sunnah  dan tidak didalam kitab Allah?. Mu’a>z} menjawab ‘aku akan berijtihad dengan mempergunakan akalku. Rasulullah saw. menepuk dada Mu’a>z}  seraya berkata, Allhamdulillah atas taufik yang telah dianugerahkan Allah kepada utusan Rasul-Nya”.[24]
            Saya teringat pada sebuah peristiwa ketika selesai shalat sunnah Muthlaq sahabat Bilal bin Rabbah melaksanakan shalat dua rakaat setelah selesai wudu’. Rasulullah saw. kemudian bertanya: “Shalat apa yang barusan engkau laksanakan wahai Bilal?”. Kemudian bilal menjawab: “shalat Ba’diyah Wud}u’ ya Rasulullah”. Rasulullah saw. membenarkan perbuatan tersebut. Maka jadilah hukum shalat dua rakaat setelah wudhu adalah sunnah.

C.    Kedudukan Hadis Terhadap Alquran
            Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan salah satu dari sumber hukum Islam. Hadis menempati urutan kedua setelah Alquran, hal ini berarti antara Alquran dan hadis saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan  yang lainnya. Apa yang diucapkan, di lakukan dan di legitimasi  oleh Rasulullah saw. sejatinya merupakan kehendak atau wahyu dari Allah dan bukan merupakan keinginan atas dorongan hawa nafsu Nabi. Sebagaimana yang di firmankan Allah dalam Alquran:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى.
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[25]
Hadis Nabi Muhammad saw. diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai bentuk ajaran yang paling nyata dan merupakan realisasi dari ajaran Islam yang terkandung dalam Alquran. Dalam hubungan antara keduanya, hadis berfungsi sebagai penjelas Alquran. Interpretasi terhadap petunjuk Allah ini diwujudkan dalam bentuk nyata dalam kehidupan Nabi. Sabda, perilaku dan sikapnya terhadap segala sesuatu, terkadang menjadi hukum tersendiri yang tidak ditemukan dalam Alquran. Otoritas Nabi sebagai pembawa risalah untuk memberikan petunjuk kehidupan yang benar kepada umatnya, hal ini dibenarkan Allah. Bahkan taat kepada ajaran Nabi menjadi ciri utama ketakwaan seseorang. Sebaliknya yang menentang kenabian Muhammad atau menentang ajaran yang dibawanya, menjadi ukuran kualitas keagamaan seseorang.[26]
Secara historis, umat Islam sejak abad pertama sampai pertengahan abad kedua hijriyah memandang hadis Rasul sebagai suatu dasar hukum dan menempatkannya pada posisi setelah Alquran.[27] Hal ini dapat dilihat misalnya pada tradisi-tradisi yang telah berjalan dikalangan sahabat dan tabi’in. Baru pada abad kedua di masa Imam Syafi’i aktif mengembangkan mazhabnya, muncullah sekelompok orang yang secara terang-terangan tidak mau menerima hadis sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Sebagian ulama menerima hadis jika dibantu dengan Alquran. Dan sebagian lagi menolak hadis ahad atau hadis khas}s}ah menurut istilah Imam Syafi’i.[28]
Dengan demikian kedudukan hadis sebenarnya sama saja dengan posisi Alquran, ummat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana kewajiban mengikuti Alquran. Banyak sekali ayat Alquran yang menyatakan bahwa wajib mempercayai dan menerima segala yang diisampaikan oleh Rasulullah saw. untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah sebagai berikut:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberikan rahmat.”[29]
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ...
 Dan kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.”[30]
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”.[31]
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang Jujur dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Tuhan mereka. Bagi mereka pahala dan cahaya mereka. Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni-penghuni neraka.[32]
            Dari ayat diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa posisi Alquran sebagai sumber hukum Islam menempati urutan yang kedua dan berfungsi sebagai penjelas dari Alquran, saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya.

D.    Fungsi Hadis Terhadap Alquran
            Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa fungsi dari hadis adalah sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Alquran. Hal ini dikarenakan bahasa Alquran merupakan bahasa Allah yang sulit untuk di terjemahkan kedalam bahasa manusia. bahkan dalam beberapa kasus masih banyak ayat-ayat Alquran yang tidak ditemukan penjelasannya didalam hadis Nabi Muhammad saw. sehingga membutuhkan ta’wil, ijma’ dan qiyas.
            Imam Malik bin Anas menyebutkan lima fungsi hadis, yaitu bayan al-taqri>r, bayan al-tafsir, bayan al-tafsil, bayan al-ba’s|, bayan al-tasyri’. Imam Syafi’i menyebutkan bayan al-tafsil, bayan at-takhs}is}, bayan al-ta’yi>n, bayan al- tasyri’, bayan al-nasakh. Dalam Ar-Risalah ia menambahkan dengan bayan al- Isyarah. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan empat fungsi hadits yaitu: bayan al-ta’kid, bayan al-tafsir, bayan al-tasyri’ dan bayan al- takhs}is.[33]
            Sementara itu, Dr. Muthafa As-siba’iy menjelaskan, bahwa fungsi hadis terhadap Alquran, ada tiga macam, yakni: (1) Memperkuat hukum yang terkandung dalam Alquran, baik yang global maupun yang detail; (2) Menjelaskan hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran yakni mentaqyidkan yang mutlak Alquran, mentafsilkan yang mujmal dan mentakhsishkan yang ‘am; (3) Menetapkan hukum yang tidak disebutkan oleh Alquran.[34]
            Adapun fungsi hadis terhadap Alquran yang dikemukaan oleh Muhammad Abu Zahw antara lain: (1) hadis sebagai bayan at-tafsil; (2) hadis berfungsi sebagai bayan at-ta’kid; (3) hadis berfungsi sebagai bayan al-muthlaq atau bayan at-taqyid; (4) Hadis berfungsi sebagai bayan at-takhs}is; hadis berfungsi sebagai bayan at-tasyri; (5) hadis berfungsi sebagai bayan an-nasakh.[35]
            Menurut Hasbi Ash-Shiddiqiy ada tiga macam fungsi hadis terhadap Alquran, yaitu sebagai Bayan at-Taqri>r, Bayan at-Tafsir dan Bayan at-Tasyri.[36]
1.      Bayan at-Taqri>r      
            Bayan at- at-Taqri>r disebut juga dengan Bayan al-Ta’kid dan Bayan al-Isbat. Fungsi hadis dalam hal ini adalah memperkuat atau memperkokoh isi kandungan Alquran. Contohnya sabda Nabi Muhammad saw. mengenai perintah berpuasa ketika melihat bulan:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته...
Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan, dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”.
Hadis ini memperkuat ayat Alquran yang berbunyi:
... فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
Barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.[37]
            Begitupula tentang hadis yang menyatakan bahwa tidak diterimanya shalat seseorang yang tidak berwudu’:
لا تقبل صلاة احدكم إذا أحدث حتى يتوضّأ
Tidak diterima shalat seseorang karena berhadas sebelum ia berwudhu.”
Hadis diatas memperkuat ayat Alquran tentang keharusan berwudhu sebelum shalat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.[38]
2.       Bayan at-Tafsir
            Yang dimaksud dengan Bayan at-Tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat Alquran yang mujmal (ringkas/singkat). Memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Alquran yang masih mutlaq, dan memberikan takhs}is (penentuan khusus) ayat-ayat Alquran yang masih umum.[39]
            Contoh ayat Alquran yang masih bersifat mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ...
Dan dirikanlah shalat… [40]
Ayat diatas masih bersifat mujmal karena tidak diketahui secara jelas mengenai tata cara pelaksanaannya. Maka hadis Rasulullah saw. berfungsi menafsirkan ayat tersebut sebagaimana yang terdapat dalam hadis berikut ini:
صلّو كما رأيتموني أصلى
Shalatlah sebagaimana kamu melihat aku shalat”.
            Contoh hadis lain yang mentaqyidkan ayat Alquran yang bersifat mutlak adalah sebagai berikut:
أتي بسارق فقطع يده من مفصل الكفّ
Rasulullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadis diatas mentaqyidkan ayat Alquran:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[41]
            Adapun contoh hadis yang berfungsi sebagai mentakhsiskan keumuman ayat Alquran adalah sebagai berikut:
لا يرث القاتل من المقتول شيئا
Pembunuh tidak berhak mendapatkan harta warisan dari yang ia bunuh”.
Hadis diatas mentakhs}iskan keumuman ayat Alquran berikut ini:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ...
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.[42]
3.      Bayan al-Tasyri
            Yang dimaksud dengan Bayan al-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Alquran. Hadis Rasulullah saw. dalam segala bentuknya (baik Qauli, Fi’li dan Taqri>ri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul yang tidak terdapat didalam Alquran.[43] Seperti dalam hadis berikut ini tentang penetapan hukum zakat fitrah:
انّ رسول الله فرض زكاة الفطر من رماضان على النّاس صاعا من تمر او صاعا من شعي على كل حرّ او عبد ذكر او انثى من المسلمين    
Bahwasanya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik ia merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”.

E.    Perbandingan Hadis dengan Alquran
            Sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka, bahwa hadis dan Alquran adalah sama-sama sumber ajaran Islam, dan bahkan hakikatnya keduanya adalah sama-sama wahyu dari Allah swt.[44] Meskipun Hadis dan Alquran adalah sama-sama sumber ajaran Islam dan dipandang sebagai wahyu yang berasal dari Allah swt. keduanya tidaklah persis sama, melainkan terdapat beberapa perbedaan sebagai berikut:
1.      Alquran adalah kalam Allah yang bersifat mukjizat sementara hadis tidak demikian.
2.      Membaca Alquran mengandung ibadah karenanya juga dibaca dalam shalat, sementara hadis tidak demikian
3.      Alquran diriwayatkan oleh Rasulullah saw. secara Mutawatir karenanya bersifat qat}’i. sedangkan hadis tidak semua diriwayatkan secara mutawatir. Oleh karena itu sifat hadis yang demikian adalah z}anni.






















BAB III
KESEMPULAN


            Berdasarkan paparan diatas, maka dapat diambil kesimpulan beberapa hal berikut ini:
1.      Hadis merupakan segala perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Muhammad saw. sedangkan sunnah adalah pelaksanaan ajaran agama yang ditempuh atau dipraktik yang dilaksanakan oleh Rasulullah saw. dalam perjalanan hidupnya. Adapun khabar adalah berita atau warta yang diperoleh dari Nabi Muhammad saw. sahabat dan tabi’in. Sedangkan as|ar adalah sesuatu yang datang dari sahabat Rasulullah (baik perkataan maupun perbuatan).
2.      Hadis terbagi kedalam tiga yaitu: hadis Qauli (perkataan), hadis Fi’li (perbuatan) dan hadis Taqri>ri (ketetapan).
3.      Hadis berfungsi sebagai Bayan at-Taqri>r (memperkuat isi kandungan Alquran), Bayan at-Tafsir (memberikan rincian penjelasan dan tafsir terhadap ayat-ayat Alquran) dan Bayan at-Tasyri (mewujudkan hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati didalam Alquran).
4.      Kedudukan hadis terhadap Alquran merupakan sumber hukum kedua yang pada dasarnya adalah sama saja dengan Alquran. Akan tetapi terdapat perbedaan yaitu Alquran adalah kalamullah yang bersifat mukjizat, membacanya bernilai ibadah dan diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan hadis tidaklah demikian.








DAFTAR PUSTAKA

Al-Kahlani, Muhammad ibn Ismail. Subul al-Salam, juz I. Bandung: Dahlan, t.t.

Al-Maliki, Muhammad Alwi. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,        2009.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum      Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1964.
__________________.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan             Bintang, 1980.
Azami, Muhammad Mustofa. Metodologi Kritik Hadis. Terj. Drs. A.Yamin.            Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.

Az-Zubaidi, Zainuddin Ahmad. Terjemah Hadis Sahih Bukhari, juz I. Semarang:
            Toha Putra, 1986.

Ismail, Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis. Jakarta: Bulan Bintang,                         1988.
__________________. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Angkasa, 1987.

Khadijah dkk. Ulumul Hadits. Medan: Perdana Publishing, 2011.
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis, Studi Kritis Atas Kajian Hadis           Kontemporer. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.

Kholis, Nur. Pengantar Al-Qur’an dan Al-Hadits. Yogyakarta: Teras, 2008.

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modren dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis.     Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.

Mas’adi, Ghufron A. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodolog Pembaharuan            Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Muhammad, Abu Bakar. Terjemah Subul al-Salam. Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.
Poerwadarminta, W.J.S.  Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,             1985.

Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press, 2010.

Wahid, Ramli Abdul. Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia. Medan: IAIN          Press, 2010.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001.

Zuhri,  Muhammad. Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta:      PT Tiara Wacana, 2003.


[1] Ramli Abdul Wahid, Sejarah Pengkajian Hadis di Indonesia (Medan:  IAIN Press, 2010), h. v.
[2] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), cet. VIII, h. 829.
[3] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 106-108.
        [4] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h.7.

[5] Khadijah dkk, Ulumul Hadits (Medan: Perdana Publishing, 2011), h. 2.
[6] Ibid.
[7] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan Metodologis (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), h. 5.
[8] Muhammad Mustofa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Terj. Drs. A.Yamin. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 20.
[9] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 89.
[10] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modren dalam Sunnah Pendekatan Ilmu Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), h. 8-9.
[11] Muhammad Alwi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 46.
[12] Hasbi Ash-Shiddiqey, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), h. 33.
[13] Al-Maliki, Ilmu Ushul…, h. 47.
[14] Yuslem, Ulumul Hadis …., h. 46.
[15] Ibid., h. 47.
[16] Ibid., h. 47.
[17] Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subul al-Salam (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t), h. 22.
[18] Zainuddin Ahmad Az-Zubaidi, Terjemah Hadis Sahih Bukhari, juz I (Semarang: Toha Putra, 1986), h. 11.
[19] Yuslem, Ulumul Hadis, h. 48.
[20] Ibid., h. 49.
[21] Ibid.
[22] Ibid., h. 50.
[23] Ibid., h. 51.
[24] Ibid., h. 52-53.
[25] Q. S, An-Najm [53]: 2-3.
                [26] Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis, Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), h. 27-28.
                [27] Hasbi ash-Shiddieqy, Problematika Hadis Sebagai Dasar Pembinaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), h.7.
[28] Ibid., h. 9.
          [29] Q.S, Ali Imran [3]: 132.
          [30] Q.S, An-Nisa’ [4]: 64.
[31] Q.S, Al-Ahzab [33]: 36.
[32] Q.S, Al-Hadid [57]:19.
[33] Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist (Bandung: Angkasa, 1987), h. 55.
[34] Nur Kholis, Pengantar Al-Qur’an dan Al-Hadits (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 223-224.
[35] Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 26-32.

[36] Shiddiqey, Sejarah dan…, h. 197.
[37] Q.S, Al-Baqarah [2]:185.
[38] Q.S, Al-Maidah [5]: 6.
[39] Khadijah dkk, Ulumul Hadits, h. 19.
[40] Q.S, Al-Baqarah [2]: 110.
[41] Q.S, Al-Maidah [5]: 38.
[42] Q.S, An-Nisa’ [4]: 11.
[43] Khadijah, Ulumul..., h. 21.
[44]  Yuslem, Ulumul Hadis. h. 78.