Kamis, 30 Maret 2023

Bekerja Juga Ibadah

 


Bekerjalah kamu. Maka Allah dan Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan” (QS. At-Taubah/9: 105).

Selama bulan Ramadan ini, aktivitas beribadah umat Islam terasa sangat meningkat. Masjid-masjid selalu ramai setiap masuk waktu salat, bacaan Al-Qur'an terdengar jelas, hampir tidak pernah sepi, kecenderungan manusia juga sangat dominan pada kebaikan. Ada perubahan jam kerja di hampir semua instansi, umumnya durasi waktunya dipercepat. Tidak hanya itu menjelang penghujung Ramadan nanti, setiap instansi biasanya memberikan uang tambahan (THR) sebagai bonus. Ini semua adalah berkah dari bulan suci Ramadan.

Bagi orang-orang yang telah terikat dengan suatu pekerjaan, tentu saja intensitas beribadah seperti membaca Al-Qur'an dan itikaf di masjid tidak bisa maksimal. Jangan bersedih. Bekerja juga adalah bagian dari ibadah yang tidak kalah pentingnya.

Seorang guru ibadahnya adalah bersungguh-sungguh mencerdaskan peserta didik, seorang pegawai kerjanya adalah memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat. Demikian pula ibadah bagi seorang pedagang adalah berjualan dengan jujur dan tertib soal takaran/timbangan.

Bermalas-malasan dalam bekerja, memberikan pelayanan yang buruk, bermuka masam, atau curang dalam takaran adalah bentuk penghianatan terhadap tugas. Lebih dari sekadar itu adalah dosa. Alih-alih mendapatkan nilai pahala dalam bekerja, yang tersisa hanya dosa.

Di atas segalanya, bagi yang tidak mempunyai waktu mengisi ibadah di bulan Ramadan, maksimal lah dalam bekerja. Karna serius dalam bekerja juga merupakan bagian dari ibadah dan sekaligus merupakan perwujudan dari sikap takwa.

Rabu, 29 Maret 2023

Puasa Ibadah Rahasia

 


Ada Hadis Qudsi yang menyatakan bahwa: “Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya” (HR. Muslim). Hadis ini mengisyaratkan betapa keutamaan puasa Ramadan sangat besar. Sebab, secara langsung dan khusus dipersembahkan untuk Alla swt. dan mendapat ganjaran langsung dari-Nya.

Tidak juga berarti bahwa Allah perlu dengan puasa yang kita lakukan. Ada sekitar 2 milliar lebih kurang orang Islam di dunia ini, sekiranya satupun di antara mereka tidak melaksanakan puasa, Allah akan tetap menjadi Allah tanpa berkurang sedikitpun kekuasaannya. Andaikan di dunia ini tidak ada lagi satupun orang yang salat, Allah tetap Allah. Lebih jauh lagi, sekiranya tidak ada lagi manusia yang beriman dan mau menyembah Allah maka tidak akan mempengaruhi eksistensi dan legalitas-Nya sebagai Tuhan.

Kembali ke judul, bahwa puasa menjadi ibadah yang sangat istimewa sebab sifatnya sangat rahasia. Hanya seorang hamba dan Allah saja yang tahu. Kalau ingin bersandiwara, puasalah ibadah yang paling memungkinkan. Syahadat, jelas diucapkan dan ada ikrar yang keluar dari lisan. Salat juga demikian bagaimana mungkin berpura-pura salat, gerakannya jelas, rukun-rukunya juga jelas. Zakat pun demikian ada sejumlah harta yang disisihkan untuk didistribusikan kepada yang berhak menerimanya. Haji apalagi, jelas waktu dan tempat pelaksanaannya. Adapun puasa, rukunnya hanya dua: niat dan imsak (menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa). Niat letaknya dalam hati dan sangat tersembunyi. Sedangkan menahan, sifatnya sangat individual.

Bisa saja, atau sangatlah gampang kita diam-diam minum air saat mengambil wudhu’, apalah susahnya mengambil makanan di dalam kulkas kemudian mengunci kamar dan menghabiskannya di sana. Soal penampilan, bisa saja diatur dengan berpura-pura lemas, bibir dilap kering, bicara dengan nada pelan dan lain sebagainya. Pendeknya, gampang sekali dimanipulasi. Tetapi mengapa tidak kita lakukan?. Sekalipun peluang itu ada, tetapi iman kita menolak melakukannya. Itulah kekuatan puasa.

Dengan niat yang kuat, orang yang terlambat sahur, bisa tahan lebih kurang 13 jam tidak makan, tidak minum, biasa saja. Tidak ada keluhan penyakit atau sejenisnya. Beda dengan hari biasanya, orang yang sudah sarapan pagi, lalu kebetulan terlambat sedikit waktu makan siang, terasa sekali ada yang kurang bahkan bagi orang tertentu secara langsung berdampak bagi kesehatannya. Sekali lagi, itulah kekuatan puasa.

Puasa adalah ibadah rahasia yang berhasil ditahan seharian, tetapi menjadi tidak rahasia (riya) saat berbuka dengan menampakkan hidangan mewah baik secara langsung maupun melalui perantara status di media sosial. Tidak lagi menjadi rahasia, ketika menampakkan ibadah tarawih dengan maksud mendapat pujian misalnya, baik sebagai audiens ataupun sebagai ustaznya.

Selasa, 28 Maret 2023

Ramadan Bulan Panen Pahala

 


Salah satu keutamaan bulan Ramadan adalah dilipatgandakannya pahala amalan seorang Muslim. Amalan-amalan sunnah nilainya setara dengan amalan wajib, sedangkan amalan wajib dibalas dengan pahala yang tak terhingga. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw. “Barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah pada bulan Ramadan, samalah ia dengan orang yang menunaikan suatu ibadah wajib di bulan yang lain. Dan barang siapa yang menunaikan suatu amalan wajib, samalah ia dengan oraang-orang yang mengerjakan tujuh puluh amalan wajib di bulan yang lain. Ramadan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu pahalanya surga”.

Keistimewaan umat Nabi Muhammad, meskipun usianya tidak selama usia umat terdahulu, tetapi peluang untuk beramal dan nilai dari amal tersebut jauh melampaui usia umat terdahulu. Di bulan ini juga, ada satu malam yang jika dikonversi nilai ibadahnya setara dengan 83 tahun (malam lailatul qadr). Bisa dibayangkan, jika seorang sejak ia baligh berpuasa, katakanlah sejak 13 tahun, lalu ia secara konsisten beramal di bulan Ramadan selama hidupnya (katakanlah mengikuti usia Nabi Muhammad, 63 tahun), berarti ia sudah melewati 50 kali malam lailatul qadar. Anggap saja, yang setengahnya berhasil. Berarti ada 25 kali dan itu setara dengan 2075 tahun. Dahsyat, angka ini bahkan melampaui usia Nabi Adam as.

Dalam rangka memaksimalkan ibadah di bulan Ramadan ini, maka perlu pelaksanaan ibadah sunnah, terutama salat sunnah yang lebih banyak lagi, artinya kuantitasnya perlu ditambah. Untuk yang wajib sudah lah, barangkali kualitasnya perlu diperbaiki. Peluang yang dapat diambil adalah pelaksanaan salat sunnah qabliyah dan ba’diyah (2 rakaat sebelum subuh, 2 rakaat sebelum dan sesudah zuhur, 2 rakaat sebelum asar, 2 rakaat sesudah magrib, 2 rakaat sebelum dan sesudah isya), tarawih, witir, tahajjud, dan duha. Tentu tidak ada yang susah, hanya perlu pembiasaan saja. Dan ajaibnya, di bulan ini kita seperti terbiasa dengan kecenderungan ibadah yang lebih dari bulan-bulan biasanya.

Tarawih dan witir sudah satu paket kita laksanakan setiap malamnya. Adapun tahajjud menjelang sahur, sebelum makan sahur kita sempatkan minimal 2 rakaat, paginya di sela-sela kesibukan kita masing-masing, sempatkanlah dua rakat untuk duha. Kalau ini bisa dilakukan, maka tidak terhitung jumlah pahala yang akan diperoleh. Yang lebih penting dari sekadar itu adalah kita berharap di luar Ramadan, kebiasaan baik ini akan bisa terus dilaksanakan. Amin.  

Senin, 27 Maret 2023

Ramadan Bulan Tadabbur Al-Qur’an

 


Ramadan identik dengan bulan Al-Qur’an. Karena memang Al-Qur’an diturunkan pertama kali pada tanggal 17 Ramadan dan setiap tahunnya diperingati dengan peristiwa Nuzul Qur’an. Di bulan ini, semangat orang-orang yang berpuasa untuk membaca Al-Qur’an sangat tinggi. Masjid-masjid bahkan sampai tengah malam tidak sepi dari bacaan Al-Qur’an, sebagaian masjid lainnya bahkan ada yang melanjutkan setelah subuh sampai menjelang duha. Kebiasaan ini tentu baik dan tidak salah.

Membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan sangat dianjurkan. Sebab, pahalanya akan dilipatgandakan. Karenanya, banyak orang yang mengejar kuantitas dengan berlomba-lomba mengkhatamkan Al-Qur’an. Konon, kata Imam Syafi’i bahwa hak dari Al-Qur’an untuk dikhatamkan adalah sejumlah umur dari seorang Muslim. Dengan demikian, Muslim yang baik adalah mereka yang mengkhatamkan Al-Qur’an setidaknya setahun sekali, dan momentum yang paling tepat adalah saat Ramadan seperti ini.

Selain mengkhatamkan Al-Qur’an, ada pula sebagian kecil di antara mereka yang berupaya memperbaiki kualitas bacaan Al-Qur’annya dengan cara bertadarus. Sebagian kecil lagi, berupaya membaca Al-Qur’an dengan terjemahannya bahkan sampai kepada tafsirnya. Ada pula yang secara serius melakukan penelitian Al-Qur’an kemudian menuliskannya.

Memang umat Islam perlu serius memperbaiki kualitas bacaan Al-Qur’an mereka tidak hanya dari sisi tajwid dan fasahah saja. Tetapi bagaimana umat Islam bisa memahami apa yang mereka baca untuk kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Masjid-masjid kita perlu membuat program khusus selain dari tadarus Al-Qur’an juga bagaimana membuat kajian-kajian khusus  tafsir Al-Qur’an. Para akademisi dan intelektual Muslim juga perlu melakukan kajian-kajian serius tentang bagaimana Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai inspirasi kehidupan.

Minggu, 26 Maret 2023

Kebahagiaan Orang Berpuasa

 


Di antara Hadis yang cukup populer saat Ramadan adalah: “Bagi orang yang berpuasa, ada dua kebahagiaan yang ia rasakan. Pertama, kebahagiaan ketika berbuka puasa, dan kedua, Bahagia ketika bertemu dengan Tuhan-Nya”.

Memang senang rasanya ketika sampai waktu berbuka puasa. Haus yang ditahan seharian dapat segera sirna, demikian juga dengan rasa lapar yang sejak lama terasa segera akan hilang. Kebahagian itu juga terasa bahkan menjelang berbuka. Mulai dari belanja bukaan puasa, sampai menunggu detik-detik menjelang magrib semua dilalui dengan perasaan gembira. Pendeknya, psikologi orang lapar pasti gembira menunggu waktu makan tiba.

Lebih dari itu, Hadis di atas menyatakan bahwa ada kegembiraan yang lebih besar dari sekadar menunggu waktu berbuka. Kegembiraan itu adalah ketika bertemu dengan Allah swt. Memang, hal ini abstrak/gaib dan sulit dijelaskan. Sebab hanya beberapa Nabi dan Rasul saja yang pernah bertemu langsung dengan Allah. Untuk mengkonfirmasinya pun hampir tidak mungkin. Kita hanya bisa meyakini ayat atau Hadis yang menjelaskan bagaimana rasa bahagianya saat bertemu dengan Allah.

Mungkin saja dapat diumpamakan dengan seorang anak yang sudah lama tidak bertemu dengan orang tuanya, baik karena merantau, atau karena hal lain yang harus memisahkan mereka. Meluapkan rasa rindu saat bertemu dengan anak, orang tua atau bisa juga dengan istri tentu tidak akan terlukiskan betapa bahagianya. Bagaimana pula dengan Allah swt. Yang sejak dalam kandungan kita semua telah bersaksi bahwa Ia merupakan Tuhan, selama hidup kita menyembah-Nya. Tidakkah kita penasaran bagaimana bentuk-Nya?. Ini semua akan terjawab nanti di hari kemudian, tentu bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan keikhlasan.

Soal apakah Allah dapat dilihat wujudnya ataukah hanya nur-Nya saja? Sampai hari ini masih menjadi perdebatan ahli kalam. Tetapi yang jelas, bertemu dengan orang yang kita sembah selama hidup kita, yang menjadi Tuhan sekalian alam adalah sebuah kebahagiaan yang tidak ternilai.

Kalau hanya makan dan minum, berapa banyak yang sanggup dimakan oleh manusia? Dua, tiga piring pasti sudah kenyang. Bahkan akan merasa muak melihat makanan itu. Demikian juga dengan minum, berapa banyak yang sanggup diminum oleh manusia? Dua, tiga gelas sudah cukup.

Ada teori kebutuhan dasar manusia, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Sigmun Freud bahwa kebutuhan pokok manusia itu adalah makan, minum, tidur dan berhubungan suami istri. Makan dan minum sudah dijelaskan di atas, seberapa banyak yang sanggup dimakan dan diminum oleh manusia, sangat terbatas. Tidur, seberapa lama manusia sanggup tidur? Tidak lama. Antara delapan hingga sepuluh jam saja. Kalau lewat, pasti badan akan terasa capai. Demikian pula dengan berhubungan biologis antara suami dan istri, waktunya juga terbatas. Artinya, kebahagiaan dan kenikmatan dunia ini hanya sebentar saja.  

Apa yang ingin disampaikan, poinnya adalah jika kebahagiaan itu hanya ada dua, dan yang satu tadi sudah dijelaskan sifatnya hanya sementara, maka kebahagiaan yang sesungguhnya adalah ketika bertemu dengan Allah swt. nanti di surga-Nya. InsyaAllah.

Sabtu, 25 Maret 2023

Waktu Imsak dan Berbuka



Persoalan waktu dalam ibadah puasa penting untuk diperhatikan. Sebab, di antara tujuan melaksanakan ibadah puasa adalah menjadi orang yang disiplin atau tepat waktu. Terasa sekali bahwa saat Ramadan tiba, orang-orang yang berpuasa akan lebih cenderung disiplin dalam pelaksanaan ibadah. Masjid-masjid ramai setiap kali masuk waktu salat, terutama saat isya dan subuh. Lebih dari itu, orang-orang yang berpuasa juga cenderung disiplin waktu makan dan minum (saat sahur dan berbuka).

Kapan sebenarnya waktu berbuka?. Jawabannya ada di dalam selebaran jadwal-jadwal imsakiyah. Di sana tertera waktu yang akurat. Jadi, kalau ingin mendapatkan waktu berbuka ideal ikuti jadwal imsakiyah. Kekeliruan yang sering dilakukan sebagian orang-orang yang berpuasa adalah menunggu waktu azan di masjid. Sementara muazzin tentulah membatalkan puasanya terlebih dahulu. Sudah pasti ada rentang waktu antara muazzin membatalkan puasanya sampai ia mengumandangkan azan.

Para muazzin sebaiknya ikhlas untuk menunda mencicipi bukaan puasa. Idealnya mereka membaca bismillah, kemudian meminum air putih dua atau tiga tegukan, selanjutnya mengumandangkan azan. Setelah azan selesai barulah ia berdoa ditambah dengan doa berbuka puasa. Setelah itu, silahkan menyantap bukaan puasa yang tersedia, lalu iqamat dan melanjutkan dengan salat magrib berjamaah. Beberapa masjid memang telah membiasakan hal baik ini.

Tetapi, masih banyak juga masjid yang muazinnya ikut berbuka puasa mencicipi hidangan yang ada, waktu yang dibutuhkan lebih kurang lima sampai tujuh menit. Setelah itu, barulah muazzin mengumandangkan azan dan langsung iqamat. Tentu ini tidak salah. Tetapi, jika ada orang yang menunggu waktu azan baru mulai berbuka puasa, maka pasti waktunya akan kelewatan dan ini makruh hukumnya sampai ada yang mengatakan haram. Indikasinya bisa kita saksikan, mengapa saat azan magrib hampir tidak ada masjid yang sama waktunya.

Ada cara yang dilakukan oleh beberapa masjid untuk mengakomodir masalah di atas, di kampung-kampung untuk menandakan masuk waktu magrib atau berbuka puasa adalah dengan memukul beduk. Di kota-kota besar, sebagian kecil menggunakan alaram atau sirine sebagai penanda waktu. Setelah beduk ditabuh atau sirine dibunyikan, masuklah waktu. Ada yang langsung azan ada juga yang menyantap hidangan lebih dulu.

Dalam hal berbuka, mana yang dilakukan lebih dulu, membaca doa atau membatalkan puasa?. Sebaiknya ucapkan bismillah, kemudian batalkan puasa dengan cara meminun air atau makan kurma, lalu membaca alhamdulillah dan berdoa. Jadi, puasanya dibatalkan dulu baru berdoa. Tidak seperti iklan yang ada di televisi yang menampilkan berdoa terlebih dahulu kemudian membatalkan puasa, terbalik. Alasannya sederhana, lihatlah terjemahan doa berbuka puasa (Allahumma laka sumtu… atau dzahaba zama’u…) semuanya dalam bentuk past tense atau menggunakan kata kerja lampau. Artinya, berdoa dilakukan setelah berbuka puasa, bukan sebelum puasa.

Adapun waktu imsak, atau mengakhirkan waktu sahur, waktu yang tertera di dalam jadwal imsakiyah merupakan waktu ideal, tetapi tidak mutlak diikuti. Sebab antara azan subuh dengan waktu imsak selisih sepuluh menit. Waktu ini dipergunakan Nabi Muhammad saw. untuk membaca Al-Qur’an sekitar 50 ayat. Jadi Nabi saw. mengakhirkan waktu sahurnya dengan membaca Al-Qur’an 50 ayat dan jika dikonversi waktunya sekitar 10 menit. Waktu imsak merupakan waktu hati-hati, dalam kondisi normal. Tetapi, jika kebetulan bangunnya telat, sudah lewat waktu imsak, maka batas akhirnya adalah sampai azan subuh. 

Dengan demikian, waktu berbuka sebaiknya mengikuti waktu magrib bukan menunggu waktu azan. Sedangkan waktu sahur idealnya mengikuti waktu imsak, jika tidak memungkinkan maka batas akhirnya adalah sampai pada azan subuh. Wallahu’alam.


Jumat, 24 Maret 2023

Puasa Bukan Memindahkan Waktu Makan

 


Banyak literatur Fikih yang menjelaskan bahwa definisi puasa adalah “imsak”, atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia artinya “menahan”. Menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang membatalkan puasa sejak dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Dari definisi ini, dapat dipahami bahwa esensi dari puasa sebenarnya adalah menahan. Jadi, yang hasil yang diinginkan dari puasa yang sesuangguhnya adalah kemampuan seorang Muslim menahan diri dari sikap yang berlebih-lebihan. Karena jujur saja, di luar bulan Ramadan sering kali manusia tidak bisa menahan dirinya, baik itu dari makan dan minum secara berlebihan, menahan pembicaraan untuk sekadar berbicara yang penting, atau menahan ambisi yang meluap-luap untuk mendapatkan sesuatu.

Ramadan ini sesungguhnya mengajari kita untuk mampu menahan diri, terutama dari makan dan minum yang tidak sesuai pada porsinya. Sehingga, lebih kurang 13 jam kita ditahan oleh puasa untuk bisa berhenti dari makan dan minum. Tetapi sayangnya, satu detik setelah waktu magrib tiba, banyak yang balas dendam, melampiaskan semua keinginan untuk menyantap hidangan apa saja yang ada dihadapannya. Kalau sudah demikian, maka puasa yang dilakukan sesungguhnya hanya sekadar memindahkan jam makan saja.

Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa pengeluaran rumah tangga justru naik drastis saat Ramadan tiba. Padahal secara kuantitas, waktu makan lebih sedikit dari hari-hari biasa. Tentu saja, biasanya makan itu normalnya dilakukan tiga kali sehari, sementara di bulan Ramadan hanya dua kali saja (waktu berbuka dan sahur). Tetapi jangan salah, porsi yang disiapkan untuk hidangan berbuka mungkin jauh lebih banyak baik kuantitas, maupun kualitas makanan yang disajikan. Jadi, memang benar bahwa meskipun waktu makannya hanya dua kali, tetapi cost yang dikeluarkan di atas tiga kali, mungkin saja lebih.

Betapapun demikian, Ramadan tetap dinanti dan hampir tidak ada keluhan yang berarti. Meskipun uang keluar semakin banyak, orang-orang teta saja gembira. Semua orang senang dengan hadirnya Ramadan, tidak hanya orang Islam, akan tetapi agama lain juga merasa gembira. Betapa tidak, para penyedia bahan mentah untuk diolah menjadi makanan adalah kebanyakan dari mereka yang tidak beragama Islam. Tentu saja mereka kebanjiran orderan saat Ramadan tiba.

Kembali lagi ke awal, bahwa puasa yang sebenarnya adalah kemampuan seorang Muslim menahan diri saat dan ketika selesai puasa. Tentu tidak hanya soal makanan, tetapi juga soal perilaku. Kalau ini dapat dilakukan, dapatlah dikatakan bahwa puasa yang dilakukan berhasil meraih predikat takwa. Lebih jauh lagi, bahwa nilai-nilai ketakwaan itu terlaksana pasca Ramadhan.

Kamis, 23 Maret 2023

Antara Hisab dan Ru'yatul Hilal

 


Di antara hal yang patut disyukuri adalah pada tahun ini awal puasa umat Islam di Indonesia dimulai pada waktu yang sama (23 Maret 2023). Meskipun sebagian kecil umat Islam (jamaah Naqsyabandiyah) telah memulai puasa sebelumnya.

Kesyukuran berikutnya adalah bahwa belakangan ini, perbedaan awal penentuan Ramadan dan Syawal sudah tidak menjadi polemik yang serius di kalangan umat Islam. Umat Islam semakin dewasa, terbiasa memahami dan menerima perbedaan. Sebagaimana perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan dan sekaligus merupakan rahmat dari Tuhan.

 Perbedaan metode (Hisab dan Ru'yah) dalam penentuan awal Ramadan dan bulan Islam lainnya secara langsung akan berdampak pada perbedaan awal pelaksanaan ibadah. Dalam konteks Fikih, hal ini tentu memiliki dampak yang serius, karna salah satu syarat sah melakukan suatu amal (salat, puasa, zakat fitrah dan haji) adalah telah sampai pada waktunya.

 Berulang kali orang-orang yang cerdik pandai menyarankan agar antara Hisab dan Ru'yah dapat dikompromikan atau dimusyawarahkan, supaya perbedaan yang berpotensi menimbulkan keresahan itu bisa dihindari. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Dua metode tersebut mempunyai dalil masing-masing yang sama kuatnya. Sebagaimana kuatnya alasan dua ditambah delapan sama dengan sepuluh dengan tiga ditambah tujuh juga sama dengan sepuluh, dan seterusnya. Jadi kedua-duanya benar, dan rasanya tidak mungkin menyeragamkannya.

 Jika ingin membuat analogi sederhana antara Hisab dan Ru'yah, ini mungkin ini bisa menenangkan kita. “Untuk mengetahui sisa beras yang ada di dalam tempat penyimpanan, kita tidak perlu melihatnya langsung, tetapi bisa menghitungnya/”menerkanya” (Hisab). Caranya, kita tentu bisa menghitung jumlah yang setiap hari digunakan untuk dimasak, katakan lah sehari satu kilogram. Berarti untuk ukuran beras 30 Kg, dalam sebulan sebulan tentu akan habis. Kita memang tidak harus melihatnya langsung, sebab bisa dihitung. Tetapi, untuk mengkonfirmasi apakah benar-benar telah habis, kita juga perlu mengeceknya langsung (Ru'yah).  Di sini lah peran penting dari metode Ru'yah sebagaimana pentingnya peran Hisab.

 Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama telah berupaya mengakomodir kedua metode ini, dengan mempertimbangkan metode Hisab dan mengkonfirmasinya denga Ru'yah. Keputusannya kemudian dimufakatkan melalui Sidang Isbat.

 Bagi kita yang tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang ilmu Hisab atau Ilmu Falak, atau juga tidak mempunyai alat yang canggih untuk melihat bulan secara langsung, seperti teropong bintang misalnya, sikap yang paling aman adalah bersabar menunggu dan mengikuti keputusan Menteri Agama.

Ala kulli hal, umat ini juga perlu dicerdaskan, dengan terbiasa menerima perbedaan. Perbedaan terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Sehingga, kalaupun nanti di penghujung Ramadan atau saat penentuan 1  Syawal ada perbedaan umat ini bisa memahami, tidak gaduh dan saling menghargai. Jangan lagi ada istilah seperti yang pernah ditulis oleh Almarhum Prof. Dja'far Siddik "Gara-gara setitik hilal, rusak lontong sebelanga". Karena ketidakmampuan menerima perbedaan, akhirnya malah menguras tenaga dan menimbulkan kerugian.