Sabtu, 23 April 2016

Alokasi Produktif Kas Masjid




            Sejak awal perjuangan Nabi Muhammad Saw masjid merupakan tempat penting yang menjadi central development (pusat perkembangan) ummat. Begitu pentingnya keberadaan masjid, sehingga  yang pertama sekali dibangun Rasulullah pada awal hijrahya adalah masjid. Dari sini lah kemudian di rancang segala aspek yang berkaitan dengan masalah keummatan. Dahulu masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah saja, tetapi juga sebagai tempat  bermusyawarah terkait dengan politik tidak terkecuali masalah ekonomi, sebagai lembaga pendidikan, dan tempat melaksanakan kegiatan sosial lainnya.

            Kini pemandangan jamak yang tampak adalah mayoritas masjid hampir tidak punya kepedulian terhadap kebutuhan jamaahnya. Hari ini masjid hanya digunakan sebagai tempat beribadah saja. Masjid hanya mampu sebagai tempat menganjurkan kebaikan oleh para khatib dan ustadz yang memberikan tausiyah. Tetapi tidak mampu menjawab persoalan kehidupan secara nyata terutama masalah ekonomi yang semakin hari tersa begitu rumit.

             Dari banyak persoalan yang dialami masjid belakangan ini adalah persoalan kepengurusan, manajemen, dan persoalan laporan keuangan yang tak jelas. Sebenarnya itu semua bersumber dari mata air yang sama. Ya,  krisis kepercayaan.

            Demikian pula, orientasi dari pembangunan masjid hari ini adalah pada bagunan yang mewah nan megah saja, tetapi tidak pernah dipikirkan bagaimana cara agar masjid ramai jamaah yang datang dan mau beribadah. Hal ini bisa kita rasakan sendiri ketika tiba waktu shalat berjama’ah, berapa persen yang ikut berpartisipasi melaksanakan kewajiaban shalat lima waktu?. Sangat memprihatinkan.

            Sekiranya kas masjid dipakai untuk mensejahtrakan ummat, tentu ceritanya akan lain. Misalkan dari ratusan juta kas masjid yang ada ditangan bendahara, diberikan sebagai pinjaman modal usaha bagi mereka yang membutuhkan dengan catatan mudharabah (bagi hasil). Maka kas yang selama ini terpendam akan lebih bermanfat. Disisi lain, secara tidak langsung kita telah menyelamatkan ummat dari permainan rentenir yang kian hari makin menjamur. Dengan demikian sangat boleh jadi jama’ah masjid akan semakin bertambah, karena orang yang kita tolong biasanya akan merasa terutang budi. Bayangkan, hal sederhana ini akan membuat suasana masjid berubah drastis dan secara tidak langsung masjid telah membantu mengentaskan kemiskininan. Saya kira ini merupkan hal sederhana yang mungkin bisa kita lakukan.

Tentu banyak hal lain yang bisa dilakukan. Misalkan membuat Wifi gratis di masjid. Jadi anak-anak kita yang hari ini siang malam nongkrong di warnet dan game online akan beralih kemasjid. Untuk sementara biarlah niat awalnya bukan Lillahita’ala. Lama-kelamaan saya yakin mereka akan ikhlas melaksanakan shalat.

            Sejujurnya, walau terasa kesal kita sangat merindukan suasana bising dan gelak tawa anak-anak ketika shalat maghrib di masjid. Tapi kemana suara itu sekarang?. Menghilang bersama terbenamnya matahari. Dahulu kalau sudah terdengar azan maghrib, ramai anak-anak kita menuju masjid. Sekarang kemana?. Ketika hari jum’at, ramai mereka duduk di shaf paling belakang mendengarkan khutbah membawa catatan shalat jum’at, walau sedikit berisik. Sekarang kemana mereka?. Tv, warnet dan game online hari ini lebih menarik perhatian mereka. Kalau hal ini terus kita diamkan, maka hancurlah harapan kita.

            Oleh karena itu masjidlah satu-satunya tempat efektif yang diharapkan untuk mengumpulkan anak-anak, remaja dan orang tua yang mulai kehilangan arah. Kita cukup memanajemen dengan baik dan saling percaya. Maka hal ini akan lebih mudah diwujudkan. Daripada membangun menara masjid yang menghabiskan anggaran ratusan juta hanya sebagai “cantolan mic saja”. Akan lebih produktif jika kita pergunakan untuk menyelamatkan ummat dari kemiskinan.

            ..………*
           


*Tulisan ini sengaja di gantung dengan harapan pembaca dapat memberikan kontribusi berupa solusi jitu terhadap pemanfaatan kas masjid yang lebih produktif.
           

           

Buku ku Sayang, Buku ku Malang




Tak banyak yang tau kalau hari ini  adalah Wolrd book day and copyright day (hari buku dan hari hak cipta internasional). Buktinya hari ini tak seheboh dua hari yang lalu ketika hari Kartini. Secara pribadi jujur saya katakan bahwa saya baru tahu kalau hari ini hari buku dari TV tadi pagi sekitar pukul 06.00 Wib. Memang 3 hari berturut-turut  sejak 21 April sampai hari ini adalah momen peringatan penting. (21, Hari Kartini, 22, hari Bumi, 23, hari Buku).  Betapun sesungguhnya esensi dari sebuah peringatan itu lebih penting dari pada eforia perayaannya, tapi ini dapat menjadi indikator bahwa minat membaca  kebanyakan  orang belakangan ini kelihatan semakin memprihatinkan.

Berkaca dari historis, hari buku pertama kali di buat tanggal 23 April 1923 oleh seorang penjual buku di Spanyol sebagai cara untuk menghormati penulis Miguel de Carvantes yang meninggal dunia hari itu. Kemudian pada tahun 1995 UNESCO menetapkan bahwa setiap tanggal 23 April diperingati hari buku dan hak cipta Internasional. Demikian sejarah singkatnya.

Saya tidak akan bercerita terlalu jauh, mengingat ini adalah hari buku, saya mencoba melirik dan menata ulang buku yang ada di rak kamar, tadi pagi.  Sudah lebih setengah hari ini saya lakukan. Ternyata banyak buku yang hilang tak tau dimana rimbanya. Saya coba cek di daftar buku yang dipinjam, hampir 50-an yang dipinjam sampai hari ini tak kunjung dikembalikan. Memang kebiasaan ku, suka dan selalu mencatat hal-hal penting. Terutama masalah buku yang dipinjam.  Nama dan alamat peminjam itu lengkap dicatatanku walau tak pernah kutanya saat ia datang meminjam buku.

Dalam salah satu seminar saya pernah mendengar ungkapan “jangan pernah meminjamkan buku anda karena hampir pasti tidak dikembalikan”. Kalu teman anda ngotot, silahkan fotokopi lalu minta pengganti ongkos fotokopi.

Pesan ini sebenarnya telah lama  saya dengar, tetapi selalu terlupakan. Sebab yang meminjam itu adalah sahabat dekat dan kenalan akrab. Pastilah susah untuk menolaknya. Belakangan, gara-gara ungkapan ini saya terpaksa harus berbohong kepada siapa saja yang datang meminjam buku. Prinsipnya sederhana saja, kalau orang terdekat saja sulit mengembalikan buku yang telah dipinjam, konon lagi orang yang tidak terlalu dekat, atau orang lain yang tidak begitu kenal.

Di Indonesia soal amanah dan tanggung jawab memang sangat mudah diucapkan, tetapi sulit ketika dilaksanakan. Hal ini bahkan diperparah ketika satatusnya meminjam tapi merasa memiliki. Ya, dalam bahasa yang agak ekstrim, terlalu banyak di negeri ini orang yang meminjam tetapi merasa memiliki.

Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan siapapun yang membaca tulisan ini, tetapi ini hanya nasihat ulangan bagi saya dan kita semua, bahwa setiap baik buruk perbuatan yang kita lakukan akan kembali kepada kita juga.

Soal buku saya yang terlanjur dipinjam tetapi tidak ada harapan dikembalikan, sebenarnya diam-diam sudah saya relakan.