Minggu, 28 Mei 2017

SAJAK RAMADHAN II: "AKU"



            Sekali lagi ku katakan, aku adalah tipe lelaki yang tidak terlalu suka dengan puisi. Tapi entah mengapa sejak kemarin aku menjadi tertarik, apalagi ketika mengungkap makna yang ada di balik bait-bait puisi dan mencoba mencari relevansinya dengan bulan Ramadhan saat ini sedang kita lalui. Dalam kapasitas ku yang bukan ahli syair, tentu aku hanya mencoba menafsirkannya secara bebas dengan menggunakan pendekatan  sosio-religius.

            Salah satu puisi Chairil Anwar yang terkenal dan berhasil membuat namanya melambung adalah “Aku”, puisi ini di buat sekitar tahun 1943 dua tahun sebelum Indonesia merdeka.Sebagai orang yang sama-sama pernah tinggal dari Medan, aku merasa gaya penulisan puisi ini mirip-mirip dengan karakter orang Medan asli yaitustraightto the point, tegas, lugas, berwibawa dan cenderung kasar. Apa pun itu, namanya sastra tentu mempunyai maksud tertentu. Begini kira-kira bunyi puisinya:

Aku

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi



Paling tidak ada tiga catatan yang perlu kita garis bawahi dari rangkaian bait-bait puisi diatas. Pertama, kematian bukan lah sesuatu yang menakutkan, dan memang sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Mengapa? Semua juga akan mati kok, dahulupun kita tidak ada, kemudian Allah menghadirkan kita di bumi ini dan suatu saat kita harus meninggalkannya. Ku duga seseorang takut mati merupakan indikasi dari tidak adanya persiapan, pada sisi lain bekal amal juga tidak terhimpun dengan baik, pada saat yang sama dosa-dosa semakin hari semakin bertambah. Anda mungkin bisa saja berkata “ah itu kan teori saja, siapa pulak yang mau mati sekarang”. Itu lah sebabnya mengapa batas akhir usia itu di rahasiakan agar kita bisa bersiap-siap. Ramadhan ini merupakan moment yang sangat tepat untuk mempersiapkan bekal kematian.

Makna Kedua yang bisa kita ambil dari puisi diatas adalah bahwa sesungguhnya manusia ini merupakan makhluk yang sangat hina (Binatang Jalang). Karenanya keangkuhan adalah sebuah sifat yang tidak pantas untuk di lakukan. Puasa sejatinya mengajarkan kita utuk senantiasa bersifat rendah hati dan jauh dari keangkuhan. Lagian, siapa pula yang sanggup menampakkan sifat angkuhnya dalam kondisi perut lapar dan badan lemas?. Jika demikian, maka puasa secara otomatis meredam sikap angkuh. Tetapi apakah situasi ini masih bertahan pasca berbuka?. Wallahu A’lam.

Terakhir, namun tak kalah penting adalah puasa mengajarkan kita untuk berterus terang terhadap kemungkinan kondisi yang sedang kita rasakan. “Biar peluru menembus kulitku, Aku tetap meradang menerjang”. Kebenaran memang pahit, bahkan untuk sekedar mengatakan nya saja sudah pahit konon lagi melakukan dalam tindakan nyata. Ketika sedang berpuasa kita berada pada kondisi alamiah yang selalu berhati-hati dalam berkata apalagi bertindak. Kesadaran kita terhadap pengawasan malaikat sedemikian sadarnya, sehingga kita kadang lupa diri dan merasa seolah-olah menjadi malaikat.