Sekali lagi ku
katakan, aku adalah tipe lelaki yang tidak terlalu suka dengan puisi. Tapi
entah mengapa sejak kemarin aku menjadi tertarik, apalagi ketika mengungkap
makna yang ada di balik bait-bait puisi dan mencoba mencari relevansinya dengan
bulan Ramadhan saat ini sedang kita lalui. Dalam kapasitas ku yang bukan ahli
syair, tentu aku hanya mencoba menafsirkannya secara bebas dengan menggunakan
pendekatan sosio-religius.
Salah satu puisi Chairil Anwar yang
terkenal dan berhasil membuat namanya melambung adalah “Aku”, puisi ini di buat
sekitar tahun 1943 dua tahun sebelum Indonesia merdeka.Sebagai orang yang
sama-sama pernah tinggal dari Medan, aku merasa gaya penulisan puisi ini
mirip-mirip dengan karakter orang Medan asli yaitustraightto the point, tegas,
lugas, berwibawa dan cenderung kasar. Apa pun itu, namanya sastra tentu
mempunyai maksud tertentu. Begini kira-kira bunyi puisinya:
Aku
Kalau sampai
waktuku
Ku mau tak
seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu
sedan itu
Aku ini binatang
jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar peluru
menembus kulitku
Aku tetap
meradang menerjang
Luka bisa
kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang
pedih perih
Dan aku akan
lebih tidak perduli
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
Paling
tidak ada tiga catatan yang perlu kita garis bawahi dari rangkaian bait-bait
puisi diatas. Pertama, kematian bukan lah sesuatu yang menakutkan, dan
memang sama sekali tidak perlu dikhawatirkan. Mengapa? Semua juga akan mati
kok, dahulupun kita tidak ada, kemudian Allah menghadirkan kita di bumi ini dan
suatu saat kita harus meninggalkannya. Ku duga seseorang takut mati merupakan
indikasi dari tidak adanya persiapan, pada sisi lain bekal amal juga tidak
terhimpun dengan baik, pada saat yang sama dosa-dosa semakin hari semakin
bertambah. Anda mungkin bisa saja berkata “ah itu kan teori saja, siapa
pulak yang mau mati sekarang”. Itu lah sebabnya mengapa batas akhir usia
itu di rahasiakan agar kita bisa bersiap-siap. Ramadhan ini merupakan moment
yang sangat tepat untuk mempersiapkan bekal kematian.
Makna
Kedua yang bisa kita ambil dari puisi diatas adalah bahwa sesungguhnya
manusia ini merupakan makhluk yang sangat hina (Binatang Jalang). Karenanya
keangkuhan adalah sebuah sifat yang tidak pantas untuk di lakukan. Puasa
sejatinya mengajarkan kita utuk senantiasa bersifat rendah hati dan jauh dari
keangkuhan. Lagian, siapa pula yang sanggup menampakkan sifat angkuhnya dalam
kondisi perut lapar dan badan lemas?. Jika demikian, maka puasa secara otomatis
meredam sikap angkuh. Tetapi apakah situasi ini masih bertahan pasca berbuka?. Wallahu
A’lam.
Terakhir,
namun tak kalah penting adalah puasa mengajarkan kita untuk berterus terang
terhadap kemungkinan kondisi yang sedang kita rasakan. “Biar peluru menembus
kulitku, Aku tetap meradang menerjang”. Kebenaran memang pahit, bahkan
untuk sekedar mengatakan nya saja sudah pahit konon lagi melakukan dalam
tindakan nyata. Ketika sedang berpuasa kita berada pada kondisi alamiah yang
selalu berhati-hati dalam berkata apalagi bertindak. Kesadaran kita terhadap
pengawasan malaikat sedemikian sadarnya, sehingga kita kadang lupa diri dan
merasa seolah-olah menjadi malaikat.