Sabtu, 18 Februari 2017

Tidak Semua Bisa Dibeli






            Pada akhirnya, uanglah yang akan  berbicara[1].  Sebelum terlalu jauh, saya tidak ingin pembaca mengangap saya sebagai pendukung Trump, saya juga tidak ada urusan dengan kemenangannya sebagai presiden USA. Terlepas dari berbagai respon tentang dirinya, yang jelas sebagai orang yang mengemban amanah  itelektual, critical book report perlu kita lakukan yang tujuan akhirnya adalah klarifikasi ilmiah lalu dapat disampaikan dengan tujuan dakwah. Ya, itu saja.
 Ungkapan diatas saya temukan di salah satu buku terjemaha karya Donal Trump beberapa hari yang lalu.  Pada satu sisi ungakapan ini bisa jadi benar, tapi pada sisi yang lain mungkin juga salah karena memang tidak semuanya bisa dihargai dengan uang.
Uang bisa membeli tempat tidur, tapi uang tidak bisa membeli tidur. Saya kira untuk mendapatkan tidur yang nyenyak dengan aneka mimpi yang indah tidak bisa kita pesan dan bayar. Tidur di hotel berbintang lima diatas spring bed tidak lantas menjamin tidur seseorang nyenyak, sementara itu berapa banyak orang yang tidur mendengkur diatas tikar, atau katakanlah orang yang tidur hanya beralaskan ambal masjid tapi mereka sangat menikmati tidurnya. Banyak  ‘abang becak’ yang tertidur pulas diatas becaknya sambil menunggu penumpang datang, atau gelandangan setengah gila yang sering kita jumpai di teras-teras ruko yang kelihatan sangat menikmati tidurnya mereka tidak akan bangun jika tidak diusir oleh pemilik toko.  Dahulu saya ketika aktif di Pramuka, sering kemah tidur di hutan hanya beralaskan matras beratapkan tenda parasut yang sangat tipis, rasanya jauh lebih menyenangkan dibandingkan tidur di kamar sendiri. Cukuplah ini menjadi bukti bahwa tidur tidak bisa dibeli.
Kita teruskan ke contoh lain. Uang hanya bisa membeli makanan, tapi tidak bisa membeli selera. Berapa banyak saudara  kita yang sanggup belanja makanan yang lezat tapi terhambat oleh kolestrol atau darah tinggi yang sedang dideritanya. Banyak yang mapu membeli durian atau kari kambing misalnya, tapi tidak semua bisa menikmati dua makanan lezat itu karena alasan tadi ‘menjaga kesehatan’. Jika demikian adanya, nampaknya beberapa orang yang berduit harus tahan selera. Diantara beberapa restoran yang pernah saya singgahi ternyata cita rasa yang saya temukan tidaklah senikmat rumah makan  yang ada dipinggir-pinggir jalan. Sushi yang di claim sebagai makanan lezat khas dari Jepang ternyata oleh sebahagian orang tidak lah melebihi rasa nasi goreng kampung.  Sekali lagi, ini soal selera dan rasa bukan soal kemampuan kita untuk membelinya.
Ini mungkin contoh terakhir dalam tulisan ini. Uang, hanya bisa membeli obat, tapi tidak bisa membeli sehat. Setahu saya tidak ada dokter yang bisa menjamin bahwa obat x dapat menyembuhkan penyakit y, pun demikian seorang Apoteker juga tidak bisa menjamin bahwa seseorang yang mengkonsumsi obat tertentu bisa  bisa menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya. Betapapun obat yang sangat mahal harganya, akan dikejar orang demi kesehatan. Tapi tidak ada yang bisa dan berani bertransaksi dengan kesehatan. 
Demikianlah seterusnya, ternyata tidak semu hal bisa kita beli dengan materi yang kita punya. Cinta dan iman yang dimiliki oleh setiap orang juga tidak dapat di perdagangkan dan di transaksikan. Karenanya, dia merupkan harta yang paling berharga yang kita punya.


[1] Doanal J. Trump, Seni Bernegosiasi, Jakarta: PT Mitra Media, 2007. h. 47