Pada akhirnya, uanglah yang
akan berbicara[1].
Sebelum terlalu jauh, saya tidak ingin
pembaca mengangap saya sebagai pendukung Trump, saya juga tidak ada urusan
dengan kemenangannya sebagai presiden USA. Terlepas dari berbagai respon
tentang dirinya, yang jelas sebagai orang yang mengemban amanah itelektual, critical book report perlu
kita lakukan yang tujuan akhirnya adalah klarifikasi ilmiah lalu dapat
disampaikan dengan tujuan dakwah. Ya, itu saja.
Ungkapan diatas saya temukan di salah satu buku
terjemaha karya Donal Trump beberapa hari yang lalu. Pada satu sisi ungakapan ini bisa jadi benar,
tapi pada sisi yang lain mungkin juga salah karena memang tidak semuanya bisa
dihargai dengan uang.
Uang bisa
membeli tempat tidur, tapi uang tidak bisa membeli tidur. Saya kira untuk mendapatkan
tidur yang nyenyak dengan aneka mimpi yang indah tidak bisa kita pesan dan bayar.
Tidur di hotel berbintang lima diatas spring bed tidak lantas menjamin
tidur seseorang nyenyak, sementara itu berapa banyak orang yang tidur mendengkur
diatas tikar, atau katakanlah orang yang tidur hanya beralaskan ambal masjid tapi
mereka sangat menikmati tidurnya. Banyak ‘abang becak’ yang tertidur pulas diatas
becaknya sambil menunggu penumpang datang, atau gelandangan setengah gila yang
sering kita jumpai di teras-teras ruko yang kelihatan sangat menikmati tidurnya
mereka tidak akan bangun jika tidak diusir oleh pemilik toko. Dahulu saya ketika aktif di Pramuka, sering
kemah tidur di hutan hanya beralaskan matras beratapkan tenda parasut yang
sangat tipis, rasanya jauh lebih menyenangkan dibandingkan tidur di kamar
sendiri. Cukuplah ini menjadi bukti bahwa tidur tidak bisa dibeli.
Kita
teruskan ke contoh lain. Uang hanya bisa membeli makanan, tapi tidak bisa
membeli selera. Berapa banyak saudara
kita yang sanggup belanja makanan yang lezat tapi terhambat oleh
kolestrol atau darah tinggi yang sedang dideritanya. Banyak yang mapu membeli
durian atau kari kambing misalnya, tapi tidak semua bisa menikmati dua makanan
lezat itu karena alasan tadi ‘menjaga kesehatan’. Jika demikian adanya,
nampaknya beberapa orang yang berduit harus tahan selera. Diantara beberapa
restoran yang pernah saya singgahi ternyata cita rasa yang saya temukan tidaklah
senikmat rumah makan yang ada
dipinggir-pinggir jalan. Sushi yang di claim sebagai makanan lezat khas
dari Jepang ternyata oleh sebahagian orang tidak lah melebihi rasa nasi goreng
kampung. Sekali lagi, ini soal selera
dan rasa bukan soal kemampuan kita untuk membelinya.
Ini mungkin
contoh terakhir dalam tulisan ini. Uang, hanya bisa membeli obat, tapi tidak
bisa membeli sehat. Setahu saya tidak ada dokter yang bisa menjamin bahwa obat
x dapat menyembuhkan penyakit y, pun demikian seorang Apoteker juga tidak bisa
menjamin bahwa seseorang yang mengkonsumsi obat tertentu bisa bisa menyembuhkan penyakit yang sedang dideritanya.
Betapapun obat yang sangat mahal harganya, akan dikejar orang demi kesehatan.
Tapi tidak ada yang bisa dan berani bertransaksi dengan kesehatan.
Demikianlah
seterusnya, ternyata tidak semu hal bisa kita beli dengan materi yang kita
punya. Cinta dan iman yang dimiliki oleh setiap orang juga tidak dapat di
perdagangkan dan di transaksikan. Karenanya, dia merupkan harta yang paling
berharga yang kita punya.