Kamis, 23 Maret 2023

Antara Hisab dan Ru'yatul Hilal

 


Di antara hal yang patut disyukuri adalah pada tahun ini awal puasa umat Islam di Indonesia dimulai pada waktu yang sama (23 Maret 2023). Meskipun sebagian kecil umat Islam (jamaah Naqsyabandiyah) telah memulai puasa sebelumnya.

Kesyukuran berikutnya adalah bahwa belakangan ini, perbedaan awal penentuan Ramadan dan Syawal sudah tidak menjadi polemik yang serius di kalangan umat Islam. Umat Islam semakin dewasa, terbiasa memahami dan menerima perbedaan. Sebagaimana perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan dan sekaligus merupakan rahmat dari Tuhan.

 Perbedaan metode (Hisab dan Ru'yah) dalam penentuan awal Ramadan dan bulan Islam lainnya secara langsung akan berdampak pada perbedaan awal pelaksanaan ibadah. Dalam konteks Fikih, hal ini tentu memiliki dampak yang serius, karna salah satu syarat sah melakukan suatu amal (salat, puasa, zakat fitrah dan haji) adalah telah sampai pada waktunya.

 Berulang kali orang-orang yang cerdik pandai menyarankan agar antara Hisab dan Ru'yah dapat dikompromikan atau dimusyawarahkan, supaya perbedaan yang berpotensi menimbulkan keresahan itu bisa dihindari. Tetapi tetap saja tidak berhasil. Dua metode tersebut mempunyai dalil masing-masing yang sama kuatnya. Sebagaimana kuatnya alasan dua ditambah delapan sama dengan sepuluh dengan tiga ditambah tujuh juga sama dengan sepuluh, dan seterusnya. Jadi kedua-duanya benar, dan rasanya tidak mungkin menyeragamkannya.

 Jika ingin membuat analogi sederhana antara Hisab dan Ru'yah, ini mungkin ini bisa menenangkan kita. “Untuk mengetahui sisa beras yang ada di dalam tempat penyimpanan, kita tidak perlu melihatnya langsung, tetapi bisa menghitungnya/”menerkanya” (Hisab). Caranya, kita tentu bisa menghitung jumlah yang setiap hari digunakan untuk dimasak, katakan lah sehari satu kilogram. Berarti untuk ukuran beras 30 Kg, dalam sebulan sebulan tentu akan habis. Kita memang tidak harus melihatnya langsung, sebab bisa dihitung. Tetapi, untuk mengkonfirmasi apakah benar-benar telah habis, kita juga perlu mengeceknya langsung (Ru'yah).  Di sini lah peran penting dari metode Ru'yah sebagaimana pentingnya peran Hisab.

 Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Agama telah berupaya mengakomodir kedua metode ini, dengan mempertimbangkan metode Hisab dan mengkonfirmasinya denga Ru'yah. Keputusannya kemudian dimufakatkan melalui Sidang Isbat.

 Bagi kita yang tidak memiliki kompetensi keilmuan di bidang ilmu Hisab atau Ilmu Falak, atau juga tidak mempunyai alat yang canggih untuk melihat bulan secara langsung, seperti teropong bintang misalnya, sikap yang paling aman adalah bersabar menunggu dan mengikuti keputusan Menteri Agama.

Ala kulli hal, umat ini juga perlu dicerdaskan, dengan terbiasa menerima perbedaan. Perbedaan terjadi karena perbedaan metode yang digunakan. Sehingga, kalaupun nanti di penghujung Ramadan atau saat penentuan 1  Syawal ada perbedaan umat ini bisa memahami, tidak gaduh dan saling menghargai. Jangan lagi ada istilah seperti yang pernah ditulis oleh Almarhum Prof. Dja'far Siddik "Gara-gara setitik hilal, rusak lontong sebelanga". Karena ketidakmampuan menerima perbedaan, akhirnya malah menguras tenaga dan menimbulkan kerugian.