Rabu, 09 Maret 2016

MINAT MEMBACA DAN KUALITAS BANGSA


MINAT MEMBACA DAN KUALITAS BANGSA
Oleh: Dedi Sahputra Napitupulu
Disampaikan Pada Discussion of Education (DOE)  HMJ PAI UIN Sumatera Utara Medan Selasa, 8 Maret 2016


Jika saudara bertanya, apa sebab Bangsa Indonesia kalah bersaing dengan Negara lain?. “Karena malas membaca”. Sebuah jawaban yang singkat tanpa perlu diterangkan dalilnya. Dalam salah satu kuliahnya Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, MA mengatakan “Di Malaysia setiap orang membaca tiga macam surat kabar yang berbeda setiap hari, sementara di Indonesia satu Koran dibaca oleh sepuluh orang, bahkan lebih, tergantung berapa banyak pengunjung kedai kopi yang hadir pada hari itu”.

Memang demikian realitanya, hasil survey dari United Nations Educational Scientific and Culture Organization (UNESCO) bahwa presentase minat baca Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Hal ini dikomentari langsung oleh Mendikbud  Anis Baswedan pada acara pembukaan IBF (Islamic Book Fair) di Jakarta 27/2. “Itu berarti dari 1.000  orang hanya satu orang saja yang memiliki minat baca sungguh-sungguh”.

Produksi buku di Indonesia masih sangat minim hanya 7.000-8.000 pertahun, masih kalah dengan Malaysia 10.000, Jepang 44.000, Inggris 61.000 dan Amerika Serikat 100.000. Di Jerman, Prancis dan Belanda, siswa SMA wajib menamatkan 23 judul buku sebagai syarat kelulusan. Sedangkan di Indonesia sejak dahulu tidak pernah ada aturan semacam ini. penyair garda depan Indonesia dalam salah satu tulisannya mengatakan orang Indonesia “Luar biasa sedikit” membaca buku. Tak heran, industri rokok berhasil mengalahkan industri buku dengan telak karena orang Indonesia lebih suka membeli rokok dari pada buku.

Demikian juga kondisi Perguruan Tinggi saat ini, perpustakaan baru terlihat ramai ketika akan ujian atau ada tugas makalah yang memerlukan referensi saja. Disekitar lingkungan kampus hanya sedikit sekali toko buku, yang banyak adalah tempat penjualan makanan dan aksesori perhiasan wanita. Pemandangan yang jamak terlihat adalah demo menentang kebijakan rektorat, futsal, X- factor, fashion show, bazar jajana dan kompetisi lainya yang tak berbau budaya membaca. Padahal untuk standar mahasiswa, bukan hanya sekedar membaca 300 halaman per hari. Tetapi juga harus melakukan penelitian ilmih dan mempublikasikannya di jurnal-jurnal. 

Hemat saya, penyebab malas membaca adalah karena mental kita terlalu instan, yang menginginkan sesuatu hasilnya langsung dapat dinikmati, dalam bahasa filsafatnya “pragmatis”. Sedangkan membaca tidak lah demikian. Kadang hasil bacaan kita hari ini bertahun-tahun kemudian baru terasa manfaatnya. Penyebab selanjutnya adalah karena kita menganut jiwa sosial yang terlalu tinggi. kita lebih suka ngobrol di warung kopi/kantin, daripada membaca buku karena sarat dengan sifat individualisme. Ingat tagline sebuah iklan “asyiknya rame-rame”. Sebab yang terakhir adalah kita lebih suka budaya lisan. Bicara lebih praktis, lebih cepat dan lebih mengena ketimbang menulis. Kadang untuk berbicara tidak harus berfikir dulu. Banyaknya acara Talkshow, diskusi, debat, termasuk model perkuliahan dengan cara presentase makalah,  sudah cukup membuktikan bahwa sebagian besar orang Indonesia berbudaya oral.

Tidak ada solusi lain kecuali kita harus merubah paradigma salah yang selama ini kita budayakan. Sangat jelas sekali bahwa kualitas pribadi kita diukur dari kadar keilmuan yang kita miliki dan itu hanya dapat diperoleh dari membaca. Lebih jauh lagi kualitas suatu bangsa tergantung dari sejauh mana minat penduduknya membaca. Nampaknya pemerintah juga mulai menyadari akan hal ini. Itulah mengapa Kemendikbud mencanangkan program membaca buku diluar buku pelajaran selama 15 menit sebelum memulai pelajaran setiap harinya bagi siswa SD sampai SMA. Tapi itu baru akan direalisasikan tahun depan.
Semoga.