MINAT
MEMBACA DAN KUALITAS BANGSA
Oleh:
Dedi Sahputra Napitupulu
Disampaikan Pada Discussion
of Education (DOE) HMJ PAI UIN
Sumatera Utara Medan Selasa, 8 Maret 2016
Jika
saudara bertanya, apa sebab Bangsa Indonesia kalah bersaing dengan Negara lain?.
“Karena malas membaca”. Sebuah jawaban yang singkat tanpa perlu diterangkan
dalilnya. Dalam salah satu kuliahnya Prof. Dr. Haidar Putra Daulay, MA
mengatakan “Di Malaysia setiap orang membaca tiga macam surat kabar yang
berbeda setiap hari, sementara di Indonesia satu Koran dibaca oleh sepuluh
orang, bahkan lebih, tergantung berapa banyak pengunjung kedai kopi yang hadir
pada hari itu”.
Memang
demikian realitanya, hasil survey dari United
Nations Educational Scientific and Culture Organization (UNESCO) bahwa
presentase minat baca Indonesia hanya sebesar 0,001 persen. Hal ini dikomentari
langsung oleh Mendikbud Anis Baswedan
pada acara pembukaan IBF (Islamic Book
Fair) di Jakarta 27/2. “Itu berarti dari 1.000 orang hanya satu orang saja yang memiliki
minat baca sungguh-sungguh”.
Produksi
buku di Indonesia masih sangat minim hanya 7.000-8.000 pertahun, masih kalah
dengan Malaysia 10.000, Jepang 44.000, Inggris 61.000 dan Amerika Serikat
100.000. Di Jerman, Prancis dan Belanda, siswa SMA wajib menamatkan 23 judul
buku sebagai syarat kelulusan. Sedangkan di Indonesia sejak dahulu tidak pernah
ada aturan semacam ini. penyair garda depan Indonesia dalam salah satu
tulisannya mengatakan orang Indonesia “Luar biasa sedikit” membaca buku. Tak heran,
industri rokok berhasil mengalahkan industri buku dengan telak karena orang
Indonesia lebih suka membeli rokok dari pada buku.
Demikian
juga kondisi Perguruan Tinggi saat ini, perpustakaan baru terlihat ramai ketika
akan ujian atau ada tugas makalah yang memerlukan referensi saja. Disekitar
lingkungan kampus hanya sedikit sekali toko buku, yang banyak adalah tempat
penjualan makanan dan aksesori perhiasan wanita. Pemandangan yang jamak
terlihat adalah demo menentang kebijakan rektorat, futsal, X- factor, fashion show, bazar
jajana dan kompetisi lainya yang tak berbau budaya membaca. Padahal untuk
standar mahasiswa, bukan hanya sekedar membaca 300 halaman per hari. Tetapi juga
harus melakukan penelitian ilmih dan mempublikasikannya di jurnal-jurnal.
Hemat
saya, penyebab malas membaca adalah karena mental kita terlalu instan, yang
menginginkan sesuatu hasilnya langsung dapat dinikmati, dalam bahasa
filsafatnya “pragmatis”. Sedangkan membaca tidak lah demikian. Kadang hasil bacaan
kita hari ini bertahun-tahun kemudian baru terasa manfaatnya. Penyebab
selanjutnya adalah karena kita menganut jiwa sosial yang terlalu tinggi. kita
lebih suka ngobrol di warung kopi/kantin, daripada membaca buku karena sarat
dengan sifat individualisme. Ingat tagline
sebuah iklan “asyiknya rame-rame”. Sebab yang terakhir adalah kita lebih
suka budaya lisan. Bicara lebih praktis, lebih cepat dan lebih mengena
ketimbang menulis. Kadang untuk berbicara tidak harus berfikir dulu. Banyaknya
acara Talkshow, diskusi, debat,
termasuk model perkuliahan dengan cara presentase makalah, sudah cukup membuktikan bahwa sebagian besar
orang Indonesia berbudaya oral.
Tidak
ada solusi lain kecuali kita harus merubah paradigma salah yang selama ini kita
budayakan. Sangat jelas sekali bahwa kualitas pribadi kita diukur dari kadar
keilmuan yang kita miliki dan itu hanya dapat diperoleh dari membaca. Lebih jauh
lagi kualitas suatu bangsa tergantung dari sejauh mana minat penduduknya
membaca. Nampaknya pemerintah juga mulai menyadari akan hal ini. Itulah mengapa
Kemendikbud mencanangkan program membaca buku diluar buku pelajaran selama 15
menit sebelum memulai pelajaran setiap harinya bagi siswa SD sampai SMA. Tapi
itu baru akan direalisasikan tahun depan.
Semoga.