Minggu, 07 Mei 2017

Kritik Sosial ala Buya Hamka


Kritik Sosial ala Buya Hamka

Aku termasuk salah satu penggemar Buya Hamka. Beberapa karyanya juga telah habis kubaca. Bagiku yang paling berkesan adalah "Tafsir Al-Azhar" karena gaya sastranya yang luar biasa. Setahun yang lalu aku di hadiahi tafsir ini oleh bendahara mesjid dimana aku tinggal. Ada satu lagi karya yang aku suka, yaitu "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". Seingatku buku ini telah ku khatamkan ketika Aliyah dulu, film nya juga sudah lebih dari 2 kali ku saksikan.

Umumya kita yang menonton dan membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, berasumsi bahwa cerita yang di sajikan adalah drama percintaan belaka, tidak lebih dari itu. "Seorang pemuda bernama Zainudin yang jatuh cinta kepada gadis Minang (Hayati), lalu cinta mereka kandas di persimpangan jalan oleh karena Zainudin adalah pemuda kampung yang miskin dan bukan dari keturunan Minang, Hayati lebih memilih pemuda bergaya Belanda yang berlatarbelakang bangsawan (Uda Aziz). Namun, dengan semangat berkarya yang tinggi, Zainudin menjadi orang terkenal dengan buku-bukunya yang menggugah banyak pembaca. Ringkas kata, Hayati dan Aziz bangkrut dan menumpang di rumah Zainudin, hingga akhirnya Aziz menyerahkan kembali Hayati kepada Zainudin. Tapi Zainudin menolak dan menyuruh Hayati pulang kampung, dalam perjalanan pulang itulah kapal yang di tumpangi Hayati tenggelam".

Begitulah kira-kira kisah singkatnya, kebanyakan diantara kita dibawa untuk tenggelam dan hanyut dalam romantika dan dinamika percintaan saja. Tapi, apa iya Ulama se kaliber Hamka bermaksud menulis dengan pesan percintaan saja???. Rasa-rasanya tidak. Tentu ada pesan lain di balik itu.

Ketika kuliah Ulumul Quran pagi tadi bersama Dr. Akhyar Zein, M.Ag, baru lah terjawab. Bahwa pesan yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Hamka adalah kritik sosial. Karena hamka memiliki ayah berasal dari suku Padang, dan Ibu yang berasal dari Makasar. Ketika Hamka berada di Padang dia tidak diakui sebagai orang minang, karena garis keturunan menurut adat Minang adalah berasal dari Ibu. Begitu pula ketika Hamka berada di Makasar dia tidak diakui sebagai orang Makasar, karena garis keturunan menurut tradisi orang Makasar adalah berasal dari Ayah. Jadi Hamka merasa "non status".

Atas dasar itulah Hamka menulis Novel Tenggelamnya Kapal Vanderwijck, Hamka ingin menggugat pikiran picik orang kampungnya, tapi apalah daya, maksud hati memeluk gunung, tapi tangan tak sampai. Hamka pindah ke daerah lain dan berkarya melalui tulis-tulisan cemerlangnya. Barulah setelah Ia tenar, orang Padang mengaku bahwa Hamka sesungguhnya adalah "orang Padang", begitu juga orang Makasar mengaku bahwa Hamka adalah "orang Makasar".

Memang begitulah manusia, semasa hidupnya di hujat, di hina dan di caci maki, setelah meninggal barulah orang insyaf dan sadar lalu memuji.

Adapun kisah cinta yang diceritakan dalam novel diatas, hanya sekedar bumbu-bumbu belaka. Pesan yang ingin disampaikan sebenarnya adalah kritik sosial. Tapi memang begitulah kita, lebih suka dan sering lalai, melupakan hal-hal yang lebih substantif hanya karena urusan cinta.