Pemandangan
jamak yang terlihat pada hari-hari terkhir di penghujung Ramadan adalah
pindahnya pusat kegiatan ummat dari masjid ke pasar dan terminal. Selain sibuk
menyiapkan stok kue lebaran, ada juga yang heboh menyiapkan baju baru untuk dikenakan
pada hari kemenangan atau hari yang paling dinanti-nantikan. Ya, apa lagi kalau
bukan lebaran. Walaupun sesungguhnya perpindahan kesibukan ini berbanding
terbalik dengan apa yang telah diajarkan Rasulullah. Harusnya ketika kita
hampir mencapai garis finis pada turnamaen Ramadan ini (katakanlah seperi lomba
lari), hendaknya semakin sibuk dengan ritual ibadah. Namun itulah anehnya,
sebagian kita sering cenderung kepada hal-hal yang bertentangan dengan apa yang
semestinya.
Sebagian
besar para perantau yang mengadu nasib di negeri orang juga mulai serentak
melaksanakan agenda sakeral tahunan yaitu mudik ke kampung halaman. Mudik
seolah menjadi sebuah keharusan bagi mereka yang pergi merantau. Mudik juga
dianggap dapat membangkitkan adrenalin semangat bersilaturrahmi kepada
handaitaulan terutama kepada kedua orangtua tercinta. Tak jarang mudik juga
dijadikan ajang untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan mereka selama
diperantauan dan pada saat mudiklah moment yang tepat untuk menilai atau dengan
kata lain mudik menjadi tolak ukur kesuksesan seorang peraantau. Ekspresi itu semakin
tampak jelas dan dibungkus dalam bingkai semangat mudik lebaran.
Sebenarnya
ada hal lain yang lebih penting dari sekedar semangat pulang kampung
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Mudik mengingatkan kita pada hakikat
kehidupan yang sesungguhnya. Bahwa hidup ini sama halnya dengan seorang
perantau yang harus pulang bila tiba waktunya. Ya, sekali lagi sama halnya
dengan perantau yang harus pulang. Jika dihitung-hitung kehidupan dunia ini
terasa begitu singkat. Buktinya, serasa baru semalam kita mulai puasa, kini
kita sudah berada dipenghujung Ramadan.
Sebagai
perantau yang baik tentu kita tidak mau dianggap sebagai orang yang gagal
dinegeri orang. Tentu pada saat pulang kampung kita harus menyiapkan bekal
perjalanan yang cukup. Katakanlah dalam bentuk oleh-oleh atau THR yang akan
dibagi-bagi kepada saudara disana. Tetapi pertanyaan sederhananya, apakah kita
sudah sedemikian semangatnya menyiapkan bekal untuk pulang kekampung akhirat?.
Saya masih ragu untuk menjawab iya.
Singkat
kata, hiruk pikuk mudik atau pulangkampung ini memberikan pesan tersendiri
kepada kita bahwa hidup itu hanya sebentar, oleh karena itu bagaimana kita
harus tampil sebagai sosok yang sederhana saja dan seimbang dalam menyiapkan
bekal material dan spiritual baik untuk mudik kekampung halaman maupun mudik
kekampung akhirat.
Selamat
jalan, semoga tetap semangat menyeimbangkan ibadah dan kegiatan keduniawian.