Minggu, 30 April 2017

Gagal Move on



Secara tidak sengaja kemarin aku membaca di salah satu media online yang memberitakan bahwa karangan bunga untuk pak Ahok telah menjamur di Medan. Aku tidak terlalu percaya akan berita itu, dan memang tidak melacak kebenarannya. Tetapi kira-kira pukul lima tiga puluh pagi tadi aku berada di stasiun kreta api Medan, aku terkejut dengan deretan papan bunga yg memberikan support untuk pak Ahok yang tidak berhasil memenangkan Kontes Pilkada di Jakarta.

Bagi orang yang tidak terlalu melek politik seperti aku hanya bisa menduga-duga bahwa ternyata penggemar Pak Ahok sangat banyak di Medan atau boleh jadi orang Medan sangat merindukan gaya kepemimpinan pak Ahok. Lebih dari sekedar itu, jangan-jangan ada yang berharap agar pak Ahok mau ikut bertarung di Sumatera Utara menjadi gubernur pada 2018 mendatang.

Apapun itu, bagi ku ini terlalu berlebihan. Pilkada Jakarta dengan segala dinamikanya telah selesai. Pemenangnya pun secara resmi telah kita ketahui bersama. Aku hanya bisa menerka bahwa 'banjir papan bunga' ini hanyalah luapan emosi para simpatisan yang gagal move on dan tak siap menerima kekalahan.

Jumat, 28 April 2017

Religiositas Kaum Narapidana





            Ada yang berbeda dengan Jum’at kali ini, aku mendapat kesempatan menyampaikan khutbah di Lembaga Pemasyarakatan Bhayangkara Polres Tanah Karo. Sebenarnya ini merupan kali kedua aku berdakwah dihadapan kawanan narapidana tersebut, tetapi kisahnya tidak sedramatis hari ini.

            Khutbah kusampaikan dengan bahasa yang agak santai bergaya khas Medan dengan materi yang cukup sederhana, yaitu tidak ada satu mahluk pun yang bernama manusia bersih dari perbuatan salah dan dosa, dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah yang segera sadar dan kembali kepada jalan TuhanNya dengan cara bertaaubat. “Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, dan mensucikan dirinya”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 222). Tidak lupa kusampaikan pula, syarat-syarat taubat yang maqbul adalah dengan menyesal, berjanji tidak mengulangi dan meninggalkan secara total kesalahan yang pernah kita lakukan. Kuperhatikan wajah audience secara random, tampak bahwa sebahagian diantara mereka sedang larut dalam penyesalan, beberapa diantara mereka ada yang menganguk-angguk karena mengkin mereka merasa cocok dengan yang kusampaikan. Beberapa diantara mereka juga kulihat sedang serius berlabuh ke alam mimpi. 

Kira-kira tiga puluh menit ritual khutbah dan shalat Jum’at selesai, seorang jama’ah dari pojok kiri masjid mendatangiku, kutaksir umurnya tak jauh berbeda dengan ku, sambil bersalaman dia menyapa, “masih ingat?”, agak lama aku berpikir, kutanya kembali, “dimana kita pernah ketemu?”. “Kawanmu lah waktu MTs”. Aku tidak kenal dan ingat persis siapa namanya, tapi wajahnya memang sangat familiar, teryata dulu dia adalah abangan kelas ku ketika Tsanawiyah. Setelah bernostalgia agak lama, aku pun pamit pulang sambil menyelipkan amplop yang baru saja kuterima ketangannya. Perpisahan kuakhiri dengan menepuk pundaknya. Dengan mata yang agak berkaca-kaca dia menyesal dan berjanji akan berubah menjadi orang yang lebih baik, dia juga mengatakan akan menemuiku setelah menyelesaikan hukumannya. 

Tidak jelas apa perkaranya hingga dia ikut mendekam di dalam penjara bersama para tahanan lainnya. Tapi kuduga keras karena narkoba. Kesimpulanku ini ternyata tidak salah setelah kutanya langsung kepada ka Lapas. Yang membuatku lebih merinding adalah ternyata tiga per empat dari penghuni lapas karena kasus yang sama, ya, narkoba. Aku pun berlalau pulang dengan mendapatkan pengawalan dari petugas menyusuri rangkaian jerejak besi. Sambil berpikir-pikir dalam hati, betapa dalam hidup ini pergulatan antara kejahatan dan kebaikan tidak pernah berhenti juga tidak mengenal almamater.