Jumat, 26 Mei 2017

DOA ORANG LAPAR





            Kira-kira awal atau pertengahan, mungkin juga penghujung tahun 1995 seorang penyair kenamaan WS Rendra pernah menulis puisi yang judulnya persis dengan judul tulisan diatas “Doa Orang Lapar”. Begini puisinya:

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan hitam
***

Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuh
yang dianyutkan oleh tangan orang-orang miskin
***

kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipu
adalah penghianatan kehormatan
***

seorang pemuda yang gagah akan menagis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya ditanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
***

Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
kedalam perut para miskin
***

Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perutmu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
***

Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
***

Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandanganku
ke sorga Mu

            Sebagai orang yang tidak terlalu menggeluti dunia perpuisian, aku hanya bisa menerka saja bahwa puisi diatas bercerita tentang bagaimana penderitaan yang di rasakan oleh orang-orang miskin yang lapar serta berbagai kecenderungan dan kemungkinan tindakan yang akan dilakukan oleh orang lapar. Kelaparan di anggap sebagai sebuah burung gagak yang menjadi simbol kelicikan, lapar itu menakutkan, laparan itu pemberontakan, lapar itu penghianatan kehormatan, kelaparan menawarkan ketidaknyamanan dan menuntut agar hasrat terpuaskan. Begitu seterusnya, jika kita menyelami puisi ini lebih dalam lagi kita akan tenggelam dalam perasaan religius spiritual yang mengharukan.

            Salah satu esensi dari puasa adalah ‘menahan diri’ dari lapar dan haus serta segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai tenggelam mata hari. Puasa menuntut kita untuk merasakan sekaligus mengalami langsung bagaimana susahnya berada pada kondisi lapar. Tentu puisi diatas baru dan akan lebih terhayati ketika kita membacanya dalam kondisi berpuasa dan pada saat waktu tengah hari yang terik misalnya, atau menit-menit akhir menjelang berbuka. Adalah sesuatu yang mustahil, mengharapkan kita bisa ikut merasakan penderitaan orang lapar sementara kita sendiri berada dalam kondisi perut yang kenyang, sama saja, tidak akan berhasil seminar penanggulangan kemiskinan tetapi acaranya di hotel mewah berbintang, kecuali hanya sebatas formalitas belaka.

            Agaknya puasa ingin mengajarkan kita untuk ikut terlibat langsung merasakan penderitaan orang-orang yang lapar selama lebih kurang tiga belas jam saja setiap hari selama bulan Ramadan. Setelah berbuka mungkin kita akan lupa lagi. Lebih jauh dari itu, puasa ingin mengajarkan kita betapa kesalehan individual juga harus di barengi dengan kesalehan sosial.