Banyak literatur Fikih yang menjelaskan
bahwa definisi puasa adalah “imsak”, atau jika diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia artinya “menahan”. Menahan dari makan dan minum serta hal-hal yang
membatalkan puasa sejak dari terbit fajar sampai tenggelamnya matahari. Dari definisi
ini, dapat dipahami bahwa esensi dari puasa sebenarnya adalah menahan. Jadi,
yang hasil yang diinginkan dari puasa yang sesuangguhnya adalah kemampuan seorang
Muslim menahan diri dari sikap yang berlebih-lebihan. Karena jujur saja, di
luar bulan Ramadan sering kali manusia tidak bisa menahan dirinya, baik itu dari
makan dan minum secara berlebihan, menahan pembicaraan untuk sekadar berbicara
yang penting, atau menahan ambisi yang meluap-luap untuk mendapatkan sesuatu.
Ramadan ini sesungguhnya mengajari kita
untuk mampu menahan diri, terutama dari makan dan minum yang tidak sesuai pada
porsinya. Sehingga, lebih kurang 13 jam kita ditahan oleh puasa untuk bisa
berhenti dari makan dan minum. Tetapi sayangnya, satu detik setelah waktu
magrib tiba, banyak yang balas dendam, melampiaskan semua keinginan untuk
menyantap hidangan apa saja yang ada dihadapannya. Kalau sudah demikian, maka
puasa yang dilakukan sesungguhnya hanya sekadar memindahkan jam makan saja.
Banyak pakar ekonomi menyatakan bahwa
pengeluaran rumah tangga justru naik drastis saat Ramadan tiba. Padahal secara
kuantitas, waktu makan lebih sedikit dari hari-hari biasa. Tentu saja, biasanya
makan itu normalnya dilakukan tiga kali sehari, sementara di bulan Ramadan
hanya dua kali saja (waktu berbuka dan sahur). Tetapi jangan salah, porsi yang
disiapkan untuk hidangan berbuka mungkin jauh lebih banyak baik kuantitas,
maupun kualitas makanan yang disajikan. Jadi, memang benar bahwa meskipun waktu
makannya hanya dua kali, tetapi cost yang dikeluarkan di atas tiga kali,
mungkin saja lebih.
Betapapun demikian, Ramadan tetap dinanti
dan hampir tidak ada keluhan yang berarti. Meskipun uang keluar semakin banyak, orang-orang teta saja gembira. Semua orang senang dengan hadirnya Ramadan, tidak
hanya orang Islam, akan tetapi agama lain juga merasa gembira. Betapa tidak,
para penyedia bahan mentah untuk diolah menjadi makanan adalah kebanyakan dari
mereka yang tidak beragama Islam. Tentu saja mereka kebanjiran orderan saat
Ramadan tiba.
Kembali lagi ke awal, bahwa puasa yang
sebenarnya adalah kemampuan seorang Muslim menahan diri saat dan ketika selesai
puasa. Tentu tidak hanya soal makanan, tetapi juga soal perilaku. Kalau ini dapat
dilakukan, dapatlah dikatakan bahwa puasa yang dilakukan berhasil meraih
predikat takwa. Lebih jauh lagi, bahwa nilai-nilai ketakwaan itu terlaksana pasca
Ramadhan.