Kita masih berada dalam suasana lebaran, dalam beberapa hari
kedepan kita akan lebih akrab dengan budaya maaf-maafan. Ratusan bahkan ribuan
kata maaf telah terlontar dari bibir orang yang mengaku bersalah, ratusan pesan
elektronik juga berdatangan karena ketidakberdayaan untuk bertatap muka secara
langsung oleh karena jarak yang berjauhan. Anehnya, ada orang yang terlalu
royal meminta maaf kepada siapa saja yang bertemu dengannya terlepas kenal atau
tidak, pokoknya asal berjumpa kata maaf diobral sedemikian rupa biasanya
didahului dengan ucapan minal ‘aidin wal faizin. Pada saat yang sama ada
pula beberapa orang yang sebenarnya sangat layak dan berpotensi untuk meminta
maaf justeru tidak diindahkan.
Ada orang yang
memang dengan gampangnya berbuat salah lalu kemudian sedemikian cepatnya meminta
maaf. Ada lagi sebagian orang yang sangat susah dan terlalu gengsi untuk
memulai meminta maaf, meskipun dia sepenuhnya menyadari bahwa sebenarnya telah melakukan
kesalahan yang fatal. Di seberang sana ada pula orang yang gampang sekali
memaafkan, seolah seperti malaikat saja. Baginya, menyimpan dendam kepada orang
lain sama saja dengan menambah-nambah beban dalam hatinya, maka jangan heran
sebesar dan sebanyak apapun kesalahan orang lain padanya segera dan dengan
mudah ia maafkan. Ada juga sekelompok orang yang memang sama sekali tidak mau
memaafkan meskipun ratusan kali kata maaf telah terucap dari orang yang mengaku
bersalah padanya, sehingga tidak jarang kita dengar ungkapan “sampai mati pun
tak akan ku maafkan”. Akhirnya dia mati dengan membawa beban besar yang
sebenarnya tidak perlu. Di ujung sebelah sana ada pula kelompok manusia bertabiat
aneh bercampur lucu, yaitu mereka yang berpura-pura tidak tahu terhadap
kesalahan yang telah dilakukannya sehingga dia merasa tidak perlu meminta maaf.
Ada satu lagi, kelompok terakhir ini mungkin kelompok manusia sadis yaitu orang
yang dengan kepura-puraannya mau memaafkan tetapi sesungguhnya jauh didalam hatinnya
masih tersimpan dan tersusun rapi bekas luka lama yang pernah tergoreskan.
Saya kira semua tipologi manusia dalam meminta maaf dan memaafkan
seperti yang di kemukakan diatas adalah wajar dan manusiawi, meskipun beberapa
diantaranya merupakan sifat yang sangat tidak layak. Sebagai pembaca sejarah
saya melihat bahwa budaya meminta maaf dan memaafkan memang harus kita
lestarikan. Betapa angkuhnya kita sebagai manusia yang sama-sama pernah
bersalah jika tidak mau meminta maaf dan memaafkan.
Dahulu, ketika Nabi Musa pernah
bersalah dan lupa diri hingga menganggap dirinya paling pintar dan
mulia, segera setelah itu Allah memerintahkan untuk menemui seorang hamba di
tempat dua lautan bertemu (Nabi Khidir), perjumpaan ini lah yang kemudian menyadarkan
Musa. Dalam beberapa riwayat disebutkan akhirnya Musa mengakui dengan segala
kerendahannya bahwa tiada manusia paripurna diatas bumi Tuhan Ini, ia bahkan
menyadari ada manusia lain yang lebih pintar dan ahli hikmah dari dirinya.
Nabi Dawud juga
pernah ditegur oleh Allah karena menikahi seorang gadis belia yang sudah lama
dipinang oleh orang lain, segera setelah itu dua malaikat turun sekaligus spesial
untuk memperingatkan Dawud atas kesalahannya. Demikian pula Nabi Yunus yang
juga tidak lepas dari kesalahan dan kemudian mendapat teguran langsung dari
Allah, kesalahannya adalah meninggalkan kaumnya yang menentang dakwahnya, Nabi
Yunus berdoa kepada Allah agar kaumnya di negeri Ninawa segera diazab. Hingga
akhirnya Allah menegur Nabi Yunus dengan mengirimkan gelombang besar dan ikan
paus yang menelannya sebagai hukuman selama beberapa hari.
Ternyata, Nabi
Muhammad sebagai manusia juga tidak luput dari salah. Dikisahkan seketika
sedang duduk-duduk bersama pemuka Quraisy datang lah Abdullah bin Ummi Maktum
seorang yang buta hendak belajar agama, tetapi ketika itu tidak mendapat
sambutan yang baik. Maka seketika Allah segera menegur Rasulullah dengan
menurunkan surat Abasa/80: 1-42.
Jika orang-orang
sekaliber Nabi dan Rasul pun pernah melakukan kesalahan, lalu kemudian mereka
menyadari dan mau meminta maaf, dan ternya Allah Maha pemaaf. Apakah kita tidak
merasa terlalu sombong sebagai manusia biasa yang setiap hari bergelimangan
degan dosa? Sampai-sampai ungkapan maaf yang tulus dari mereka kita acuhkan?
Saya kira kita tidak lebih mulia dari Tuhan dan para Nabi.