Sejak kemarin sampai hari ini, media massa dibanjiri atau lebih
tepatnya didominasi oleh dua topik pemberitaan yang menggemparkan sekaligus berhasil
mengerutkan dahi banyak orang.
Berita pertama datang dari Universitas Indonesia (UI), Peristiwa
tak terduga tersebut datang pada saat Presiden Jokowi memberikan pidato di
acara Dies Natalis UI ke-68. Ketua BEM UI, Zaadit Taqwa mengacungkan kartu
kuning kepada Pak Presiden. Walaupun Presiden tidak merasa tersinggung atas
insiden tersebut, tetapi yang bersangkutan kini telah diamankan oleh
Paspampres.
Adalah Ahmad Budi Cahyono, seorang Guru Seni Rupa di SMA Negeri 1
Torjun, Kabupaten Sampang, Madura meninggal dunia karena diduga telah dianiaya
oleh muridnya sendiri. Kejadian berawal ketika proses belajar mengajar di ruang
kelas XI materi seni lukis. Alih-alih fokus mengikuti pelajaran, pelaku justeru
mengganggu dan mencoret lukisan teman-temannya. melihat kejadian itu, Pak Budi
menegur pelaku namun karena tidak terima, pelaku memukul korban. Hingga akhirnya
meninggal dunia.
Menuduh kemudian menghakimi siapa yang salah merupakan bagian yang
paling tidak enak. Apalagi hanya melihat kasus ini secara parsial. Ada lebih
dari 1001 komentar yang berkeliaran. Banyak yang salut atas keberanian para
pelaku, ada yang mengkritik, tapi tidak sedikit pula yang menghujat.
Untuk kasus di UI, banyak yang memuji aksi ketua BEM tersebut. Sangking
ekstrimnya ada pula yang menganggap hal tersebut sebagai resiko dari sebuah Negara
Demokrasi. Walaupun dari sudut etika dan sopan santun tetap saja melanggar.
Adapun kasus guru Budi, kelihatannya mayoritas, untuk tidak
mengatakan semua komentar bernada membully dan menghujat HI sebagai pelaku. Bagaimana
mungkin seorang guru yang konon gajinya hanya 600 ribu harus meregang nyawa di tangan
siswanya sendiri.
Lepas dari itu semua, mari kita mencari titik temu dari dua kasus
ini. Secara personal, saya melihat kasus ini sebagai sebuah peringatan keras
bagi dunia Demokrasi dan Pendidikan kita.
Dalam dunia sepak bola, kartu kuning diberikan oleh wasit kepada
pemain yang melakukan pelanggaran. Jika pelanggaran tersebut lebih serius, atau
dilakukan dua kali dalam kadar yang sama, maka yang bersangkutan akan diberikan
kartu merah dan itu artinya pemain harus rela meninggalkan lapangan permainan.
Untuk tidak mengatakan bahwa pemerintahan kita telah melakukan
pelanggaran, kelihatannya sinyal itu mulai tertangkap. Kesenjangan ekonomi,
pemberantasan korupsi dan ketidak adilan lainnya menjadi indikasi bahwa
pemerintah sebenarya sedang mendapat peringatan keras.
Sebagai seorang guru, tentu saya juga ikut merasa sedih, bahkan
mengutuk keras peristiwa pemukulan guru yang berujung pada maut tersebut. Tetapi
untuk tidak melihat pada satu sisi saja, nampaknya tragedi ini juga harus
menjadi peringatan keras bagi para guru. Sifat arogan, merasa paling pintar dan
berkuasa dalam segala hal dan ketidakmampuannya mengelola kelas serta
merencanakan pembelajaran dengan baik perlu menjadi perhatian. “Boleh jadi” apa
yang terjadi semalam merupakan koreksi bagi guru yang kurang cakap dalam
menjalankan tugasnya.
Sama sekali tidak ada maksud untuk membela pelaku, tetapi marilah
kita berpikir jernih tanpa emosi.
Analisa sederhana ini hanyalah satu kemungkinan dari banyak
kemungkinan lainnya. Mudah-mudahan kita semua bisa lebih baik kedepannya.
Semoga.
Pemikiran yg mantap Ust,hanya sedikit koreksi saja untuk pemakaian kata mengutuk. Saya yakin Ust Dedi masih memiliki banyak kata-kata hikmah untuk menggantikan kata tersebut
BalasHapusgurunya tidak memiliki karakter, sehiungga siswa semena mena terhadap guru
BalasHapusmungkin y bg
BalasHapus