Ayat pertama yang dibawa Jibril kepada Nabi
Muhammad saw. adalah surah al-‘Alq/96: 1-5. Iqra' (membaca) merupakan
sebuah perintah penting yang menandai permulaan turunnya kitab suci umat Islam.
Ada yang aneh saat perintah membaca
diwahyukan. Sepakat para Sejarawan bahwa Muhammad saw. adalah seorang yang ummi,
tidak bisa baca tulis. Tentu hal ini harus dipahami dengan konteks dahulu,
dimana tradisi Arab pra Islam adalah tradisi lisan dan hafalan. Kecerdasan
seseorang diukur bukan berdasarkan kemampuan baca tulis, melainkan kemampuan
hafalan.
Kalau begitu, apa sebenarnya makna
terpenting dari perintah membaca itu?. Sambungan ayat itu menjelaskan bahwa
membaca dengan nama Tuhanmu (bismi rabbik). Artinya, membaca itu tidak
hanya yang tersurat, tetapi juga yang tersirat. Kalau mau pakai istilah mantan Gubernur
Sumatera Utara Syamsul Arifin, bahwa ada satu lagi, membaca yang tersuruk.
Entah apa maksudnya, tetapi yang jelas ada hal lain yang penting dibaca dari sekadar
membaca tekstual. Banyak konteks yang perlu disingkap untuk menggali makna
lebih jauh.
‘Ala kulli hal, dengan turunnya perintah membaca sejak empat belas abad yang lalu,
menandai perubahan peradaban Islam dari tradisi lisan menuju tradisi tulisan.
Apa pula yang mau dibaca kalau naskahnya (tulisannya) tidak ada?. Nampaknya,
saat ini ada pergeseran peradaban di dunia Islam, bahwa ukuran kepintaran,
katakan lah di dunia akademik, tidak lagi sekadar mengandalkan hafalan semata,
melainkan kemampuan menulis dan mempublikasikannya. Pada saat yang sama,
sekarang ini juga sedang menjamur rumah Tahfiz Al-Qur'an yang ingin
menghidupkan tradisi menghafal, begitu juga dengan pesantren-pesantren
tradisional yang masih membudayakan menghafal sebagai tanda bahwa seorang
santri mempunyai kompetensi. Dua-duanya ini baik, hafalan dan tulisan
seyogyanya harus membudaya bagi generasi muslim.