Keran Air yang Patah

Refleksi Kehidupan
0


            Aku termasuk orang yang beruntung karena diberi kepercayaan untuk ikut terlibat mengurusi mesjid. Pagi tadi, kulihat ada dua keran air di tempat pengambilan air wudu’ yang patah. Entah mengapa belakangan ini keran air di masjid sering kali patah. Seingatku satu dari dua keran yang patah hari ini baru kuganti minggu yang lalu. Tetapi ya sudah lah, mungkin orang yang mempergunakan keran air tersebut terlalu bersemangat sehingga kurang hati-hati.

            Kira-kira pukul sepuluhan tadi aku pergi kesalah satu toko material (red. Panglong) yang tidak jauh dari mesjid, kulihat penjaga toko tidak seperti biasanya, seorang lelaki keturunan Cina yang sudah berusia senja. Sebelumnya yang biasa menjaga toko itu adalah ibu-ibu berjilbab. Langsung saja ku beli dua keran air. “Berapa?” Tanya ku, “Rp.14.000” katanya, ku tahu harganya lebih mahal dari yang biasa, karena mingu lalu aku beli hanya Rp. 5000 per buahnya. Tapi tidak mengapa, ku bayar saja sambil melangkah pulang.

            Ketika hendak memasang keran yang baru saja kubeli barulah ketahuan oleh ku bahwa satu diantaranya telah patah. Aku kembali lagi ke toko tadi dengan maksud memberi tahu bahwa dia sebenarnya telah menjual sesuatu yang tak layak, syukur-syukur dia mau menggantinya. Tetapi setelah ku jelaskan, ternyata pak tua itu membantah dengan nada marah, dia bahkan menuduh kalau akulah yang membuat patah keran itu sambil mengeluarkan semua keran yang ia jual dari dalam box dan menjelaskan kalau semua barang yang ia jual telah lulus uji. “Tapi faktanya keran yang ku beli ini patah”, ujarku. Dia tetap saja membantah dengan nada yang lebih keras. Sikapnya yang demikian membuatku harus bersikap dan bertindak dengan gaya orang Medan asli, Segera saja kulabrak meja yang ada di hadapannya dengan membanting keran yang patah tadi, “Bapak jangan marah-marah, kalau tak mau ganti gak papa”. Nampaknya, caraku ini sedikit berhasil, dia mau mengganti dengan berat hati keran yang patah tadi. “Memang kalo tak keras tak jadi”. bisikku dalam hati.

            Sebenarnya aku tak tega melakukan debat panjang dengan pak tua tadi, tetapi kebenaran tetaplah kebenaran, tidak bisa luntur karena usia, tidak pula karena harta, tidak pula dengan marah-marah, kapan dan dimana pun yang benar tetap saja benar. 

            Aku pun kembali pulang, sambil merenung dalam hati, ada kalanya bahkan sekedar mengatakan yang benar saja sudah pahit, konon pula untuk menegakkan dalam tindakan nyata. Agaknya, untuk menegakkan yang benar itu menuntut kita untuk sedikit bertengkar.

            Oh, iya satu lagi yang tidak kalah penting adalah sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada ummat Islam yang memiliki usaha toko material, sehingga kita masih sering berurusan dan terlibat praktek ekonomi yang membunuh nalar dan menyalahi prinsip-prinsip syari’ah.
           

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)