Aku termasuk orang
yang beruntung karena diberi kepercayaan untuk ikut terlibat mengurusi mesjid. Pagi
tadi, kulihat ada dua keran air di tempat pengambilan air wudu’ yang patah.
Entah mengapa belakangan ini keran air di masjid sering kali patah. Seingatku
satu dari dua keran yang patah hari ini baru kuganti minggu yang lalu. Tetapi
ya sudah lah, mungkin orang yang mempergunakan keran air tersebut terlalu
bersemangat sehingga kurang hati-hati.
Kira-kira pukul
sepuluhan tadi aku pergi kesalah satu toko material (red. Panglong) yang tidak
jauh dari mesjid, kulihat penjaga toko tidak seperti biasanya, seorang lelaki keturunan
Cina yang sudah berusia senja. Sebelumnya yang biasa menjaga toko itu adalah
ibu-ibu berjilbab. Langsung saja ku beli dua keran air. “Berapa?” Tanya ku,
“Rp.14.000” katanya, ku tahu harganya lebih mahal dari yang biasa, karena mingu
lalu aku beli hanya Rp. 5000 per buahnya. Tapi tidak mengapa, ku bayar saja
sambil melangkah pulang.
Ketika hendak
memasang keran yang baru saja kubeli barulah ketahuan oleh ku bahwa satu
diantaranya telah patah. Aku kembali lagi ke toko tadi dengan maksud memberi
tahu bahwa dia sebenarnya telah menjual sesuatu yang tak layak, syukur-syukur dia
mau menggantinya. Tetapi setelah ku jelaskan, ternyata pak tua itu membantah
dengan nada marah, dia bahkan menuduh kalau akulah yang membuat patah keran itu
sambil mengeluarkan semua keran yang ia jual dari dalam box dan menjelaskan
kalau semua barang yang ia jual telah lulus uji. “Tapi faktanya
keran yang ku beli ini patah”, ujarku. Dia tetap saja membantah dengan nada
yang lebih keras. Sikapnya yang demikian membuatku harus bersikap dan bertindak
dengan gaya orang Medan asli, Segera saja kulabrak meja yang ada di hadapannya
dengan membanting keran yang patah tadi, “Bapak jangan marah-marah, kalau tak
mau ganti gak papa”. Nampaknya, caraku ini sedikit berhasil, dia mau
mengganti dengan berat hati keran yang patah tadi. “Memang kalo tak keras tak
jadi”. bisikku dalam hati.
Sebenarnya aku tak
tega melakukan debat panjang dengan pak tua tadi, tetapi kebenaran tetaplah
kebenaran, tidak bisa luntur karena usia, tidak pula karena harta, tidak pula
dengan marah-marah, kapan dan dimana pun yang benar tetap saja benar.
Aku pun kembali
pulang, sambil merenung dalam hati, ada kalanya bahkan sekedar mengatakan yang
benar saja sudah pahit, konon pula untuk menegakkan dalam tindakan nyata.
Agaknya, untuk menegakkan yang benar itu menuntut kita untuk sedikit
bertengkar.
Oh, iya satu lagi
yang tidak kalah penting adalah sangat sedikit, bahkan hampir tidak ada ummat
Islam yang memiliki usaha toko material, sehingga kita masih sering berurusan
dan terlibat praktek ekonomi yang membunuh nalar dan menyalahi prinsip-prinsip
syari’ah.