NEGERI FORMALITAS

Refleksi Kehidupan
3
 
Didalam kamus bahasa Indonesia formalitas diartikan sebagai 1. bentuk (peraturan, tata cara, prosedur, kebiasaan) yang berlaku. 2. sekedar mengikuti tatacara; basa-basi. Pengertian formalitas mengacu kepada sesuatu yang berbau formal (aturan wajib) sering dikaitkan dengan suatu peraturan yang berlaku disuatu tempat. Kadang orang mengikuti peraturan tersebut hanya sekedar mematuhinya sekalipun mereka malas melakukannya. Formalitas sifatnya wajib tapi hanyalah basa-basi saja untuk mematuhi tatacara yang sudah ada sejak dulu.
Apa jadinya kalau semua dijadikan sebagai formalitas belaka? Tapi itulah realita yang ada. Mestinya peraturan dibuat untuk kemaslahatan bersama. Tapi justru banyak orang berkata “peraturan dibuat untuk dilanggar”.
 Jika kita membaca teori-teori yang ada dibuku, atau saat mendengarkan mahaguru berbicara dibangku perkuliahan dengan didunia nyata. Akan kita temukan rumus yang berbanding terbalik. Sehingga banyak sekali kesenjangan antara harapan dan kenyataan, ketidak sesuaian antara teori dengan fakta dilapangan. Sehingga muncul masalah.
Kita sering melihat dalam praktek hablum minallah misalnya, peraturan hanya sekedar ditempel tapi tidak dilaksanakan. Contoh nyata misalnya di salah satu kampus dilarang berpakaian menggunakan kaos, celana lea/jeans, berambut gondrong, duduk berdua-duaan dengan lawan jenis. Tapi masih banyak yang melanggar tanpa ada sanksi yang tegas dari si pembuat peraturan. “Dilarang menggunakan handphone dimasjid”. Nyatanya hampir setiap kali sholat ada saja handphone yang berdering. Smoking area yang dibuat khusus untuk para perokok, tapi masih saja banyak yang merokok disembarang tempat. Ungkapan “ buanglah sampah pada tempatnya” hampir sering kita temui di tempat-tempat umum. Tapi banyak juga sampah yang berserakan. Saya kok tidak yakin kalau mereka tidak pandai membaca. 

Syarat untuk menjadi dosen wajib mencapai kualifikasi S2. Tapi masih banyak juga dosen yang berani masuk kelas padahal belum S2 dengan berbagai dalih ia sampaikan untuk mengapologi diri. Satu sks dosen wajib hadir dikelas tatap muka selama 50 menit, tapi banyak juga dosen yang keluar kelas sebelum waktunya. Atau merapel jam yang seharusnya dua sks tapi tertulis didaftar kegiatan empat sks.
 Sering kali ucapan selamat ulang tahun, selamat menempuh hidup baru, selamat dan sukses atas di wisudanya.... diucapkan sekedar basa-basi dalam bentuk papan bunga atau spanduk.  tidak berasal dari lubuk hati. Maka tak heran budaya ini terus berkembang.
 Masih terlalu banyak contoh yang hendak dituliskan. Yasudah lah, itu sudah mewakili betapa banyaknya kebijakan yang dibuat sekedar formalitas belaka.
Itu sih belum seberapa, apa jadinya jika habluminallah juga dijadikan formalitas. Syahadat, sholat, puasa, zakat, haji hanya dikerjakan sekedar melepaskan kewajiban. Maka tentu ibadah tersebut tidak akan berdampak bagi kita. Maka tidak heran jika, banyak orang yang bersaksi tiada Tuhan selain Allah, tetapi dalam prakteknya ia sering melupakan keberadaan Allah. banyak orang yang rajin shalat, tetapi masih melakukan kemaksiatan dan kezaliman. Banyak orang yang berpuasa tertapi tidaak mendapatkan makna substansi dari puasa itu sendiri. Banyak orang yang rajin bersedekah tapi masih mau korupsi. Banyak yang telah melaksanakan ibadah haji tetapi semangat berjuang untuk menegakkan syari’at masih setengah hati. Karena ibadah yang ia kerjakan hanya sekedar melepaskan kewajiban bukan menjadi kebutuhan. Sehingga tidak berdampak apa-apa dalam dirinya. Jadi terkesan sia-sia.
Logikanya, jika  urusan dengan Tuhan saja kita berani melaksanakannya sebagai formalitas, apalagi urusan dengan  sesama manusia?.
Carut marut negeri ini terjadi karena terlalu banyak formalitas, dan kebanyakan kita masih saja memakluminya. Solusinya, tentu kita harus merubah mindset peraturan itu dari sekedar formalitas menjadi aturan yang baku dan kaku. Tidak ada fleksibel dalam aturan. Siapa saja yang melanggar tindak tegas.
Semoga

Ya, begitulah formalitas. Semuanya terlihat serba formal, dan suci. Tetapi tidak ada aksi ideal yang terrealisasi.

Posting Komentar

3Komentar

  1. Nah itu lah pak dedi
    Itu lah yg diajarkan orang tua kita di negeri ini, yang terus hidup dengan kebohongan belaka
    Tidak sadar kita pun melakukan demikian, semua itu terpaut sistem yg sudah terbentuk dengan matang ..
    Kita diajarkan, mengajarkan dan melakukan

    Entah bagaimana harus menghindar ?
    Mungkin merubah diri sendiri dlu

    Saling memanfaatkan peluang dg kepicikan
    Itu yg diajarkan negeri ku

    BalasHapus
  2. Entah lah pak Rahmat Asri Sufa . Merubah diri pun susah.. karna kita berada dilingkungan yg formal jg.

    BalasHapus
  3. Entah lah pak Rahmat Asri Sufa . Merubah diri pun susah.. karna kita berada dilingkungan yg formal jg.

    BalasHapus
Posting Komentar