Menyoal Kebijakan Trump
Donald Trump Presiden Amerika yang baru, secara resmi
menandatangani kebijakan yang bersifat diskriminatif. Betapa tidak, keputusannya
melarang tujuh Negara mayoritas muslim (Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan,
Suriah, dan Yaman) untuk masuk ke AS selama 90 hari kedepan dan penangguhan
program penerimaan pengungsi selama tiga
bulan. Selain itu dia juga melarang seluruh pengungsi dari Suriah tanpa batas
waktu.
Banyak pihak yang menduga bahwa kebijakannya itu sebagai pemenuhan
atas janji kampanye yang pernah ia sampaikan beberapa waktu yang lalu. Jika ingin
memboikot Negara-negara muslim, mengapa kebijakannya bersifat temporer?. Kepalang
tanggung mengapa tidak sekalian saja di boikot untuk selama-lamanya?. Sekiranya
larangan tersebut hanya sehari, ini tentu menjadi masalah yang sangat serius. Mengapa?
Karena ini adalah bukti bahwa eksekutor baru
di Negeri paman Sam berubah menjadi diskriminator yang sangat mengkhawatirkan
dunia.
Tak hanya dunia Internasional yang beramai-ramai mengecam kebijakan
tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri juga menyatakan
sikap penolakannya. Bahkan dari kalangan pribumi AS sendiripun banyak yang
melakukan aksi protes sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Jika kita tarik kebelakang, sebenarnya kebijakan ini dikeluarkan bertujuan untuk mengamankan AS dari gangguan teroris.
Maka cara yang dianggap paling efektif adalah dengan menutup akses kelompok
sparatis untuk masuk ke AS. Jika memang benar demikian, mengapa Negara-negara
mayoritas muslim yang menjadi sasaran?. Secara tidak langsung pemerintah AS
telah menuduh bahwa penyumbang teror terbesar selama ini adalah Negara-negara
Muslim. Lebih jauh lagi, Islam mereka samakan dengan teroris.
Saya tidak mengetahui persis mengapa Indonesia tidak masuk kedalam
daftar Negara yang di Black List oleh AS, karena sampai dengan hari ini
hubungan antara Indonesia dengan AS cukup baik. Padahal Indonesia merupakan
Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Bukan tidak mungkin suatu saat
nanti Indonesia juga akan mengalami nasib yang sama dengan Negara-negara Arab
lainnya. Semoga dugaan saya salah.
Tetapi kita patut menjadikan ini sebagai sebuah Warning
untuk tetap waspada. Faktanya ketergantungan kita terhadap AS sangat kuat. Misalnya
eksport Indonesia dalam berbagai bidang ke AS sangat banyak sekali. Jika diboikot
juga, tentu akan berdampak sangat serius. Jika demikian, maka sudah saatnya Pemerintah
perlu mandiri secara ekonomi. Saya tau ini tidak mudah, tetapi apa salahnya
kita perlu berhati-hati.
Saya khawatir, kebijakan ini justru malah menyulut api dan menambah
maraknya kelompok-kelompok radikal (red. Teroris) di Negara-negara Eropa
khususnya AS. Karena biasanya orang kalau sudah di marginalkan, di tindas, di diskriminasi,
akan bertambah berani dan semakin menjadi-jadi.