Pernah guru saya
bercerita:
“suatu
ketika seorang ulama terkenal dari Mesir Syekh Muhammad Rasyid Rida, pengarang
Tafsir Al-Manar mengadakan kunjungan penelitian ke Canada, sesaat setelah
keluar dari Airport beliau duduk-duduk di halte menunggu taxi, kebetulan waktu
itu agak lama menunggu kendaraan yang hendak menghantarkan beliau ke salah satu
hotel. Sambil menunggu beliau mengambil Camera dan berfoto sebagai dokumentasi,
sedang asyik berfoto taxi yang di tunggu pun tiba. Segera beliau menaiki taxi
itu dan berangka ke tujuan berikutnya. Tapi sayangnya beliau pergi tanpa
membawa kameranya.
Begitu
hendak sampai di hotel yang dituju, beliau teringat bahwa cameranya ketinggalan
di halte dekat bandara, maka diminta kepada supir agar putar balik menjemput
cameranya yang tertinggal. Sesampainya di halte, beliau merasa heran. Ternyata cameranya
masih utuh persis seperti posisi semula, tidak bergerak sedikit pun”.
Ketika itu dia mengeluarkan
statement “ di Canada saya tidak melihat
Muslim, tapi saya melihat Islam”.
Saya kok tidak yakin kalau kondisi
cerita diatas masih bisa terjadi di Indonesia. Pasalnya, semalam kotak infaq
masjid yang sudah seharusnya di buka untuk membiayai keperluan masjid setiap
bulannya, raib di garap oleh orang yang tidak bertanggung jawab, gembok penguncinya
dibuka paksa sehingga uang yang hampir sejuta jumlahnya tidak ketahuan lagi
rimbanya.
Saya tidak menyesali jumlah nominal
yang hilang, namun kok sampai segitu teganya manusia hari ini, infaq masjid untuk
keperluan ummat pun digarap untuk kepentingan pribadi. Dan ini ternyata bukan
di tempat saya saja, ternyata hampir disetiap masjid sering kehilangan kotak
infak.
Tak
hanya kotak infak, Sandal/sepatu juga menjadi sasaran empuk bagi para maling
kelas teri ketika hari jum’at. Terlalu.
Kalau di masjid saja orang berani
mencuri, apa tah lagi ditempat lain. Maka tidak usah terlalu heran dengan
fenomena pejabat yang korupsi hari ini, yang semakin hari kian menjamur.
Mungkin benar seperti yang dikatakan
oleh Prof. Abdullah Syah ketua umum MUI Sumatera Utara, bahwa “manusia hari ini lapar. Yang lapar bukan
hanya perutnya, tapi hati dan jiwanya juga lapar, sehingga tak kenal tempat
lagi kalau hendak melakukan maksiat”.
Kalau perut lapar mungkin hanya
dengan makan dan minum dapat teratasi. Tetapi jika hati dan jiwa yang lapar
dengan apa mengobatinya???
Ya, begitulah fenomena ummat hari
ini, semakin jauh dari harapan, daerah yang mayoritas muslim, ternyata tidak
dapat menjadi contoh masyarakat yang baik. Malah terkadang situasinya sangat
kontras, bahwa di daerah yang minoritas beragamalah yang justru menerapkan
ajaran orang-orang yang beragama. Kebersihan, kedisiplinan, ketertiban, tanggung
jawab, budaya antri justru lebih diamalkan oleh Negara-negara yang tidak
terlalu fanati dalam beragama.
Sehingga boleh saja kalau saya
berspekulasi melanjutkan statement Syekh Muhammad Rasyid Rida tadi : “ Di barat
saya tidak melihat Muslim, tapi saya melihat Islam”. “Di Indonesia/(red. Medan)
saya melihat muslim tapi saya tidak melihat Islam”.
Untuk merubah situasi ini sangat
sulit, tapi bukan tidak mungkin. Dengan menamkan dan menguatkan kembali
nilai-nilai ajaran agama kepada anak-anak kita. Nilai-nilai keIslaman bukan hanya diajarkan
disekolah/Madrasah saja, atau hanya diajarkan di masjid saja. Tetapi bagaimana
mereka mampu menerapkan didalam kehidupan sehari-hari. Paling tidak generasi
berikutnya dapat lebih baik dari kita hari ini.
Semoga.